ANCAMAN kekerasan dan tindak kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah tidak hanya terjadi pada zaman dulu, ketika Yesus yang tidak bersalah, dijatuhi hukuman mati disalib. Pada zaman kita peristiwa-peristiwa kekerasan begitu mudah terjadi, dan menjadi berita dukacita yang sampai kepada kita setiap hari melalui berbagai media komunikasi. Tak terhitung peristiwa kekerasan dalam keluarga, yang tidak diberitakan melalui media publik.
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan keprihatinannya atas peristiwa kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan, Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang terjadi pada Sabtu dinihari, 23 Maret 2013, yang lalu katanya, “Saya prihatinkan penyerangan lapas. Tapi juga mengapa kekerasan selalu muncul di Daerah Istimewa Yogyakarta,” Ngersa Dalem, kekerasan tidak hanya di Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi di mana-mana.
Saya juga sangat prihatin mendengar berita tentang kekerasan yang dialami oleh jemaat-jemaat Kristiani karena kekerasan dijadikan ancaman dan dilakukan untuk menangani masalah-masalah pembangunan tempat-tempat ibadat dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh jemat-jemaat Kristiani tersebut.
Dua bulan terakhir selama tahun 2013 telah tercatat 15 kasus, melanjutkan kasus-kasus tahun 2012 yang berjumlah 75. Kasus-kasus itu merupakan bagian dari total tempat-tempat ibadat yang diganggu atau dirusak, sejak rezim Soekarno sampai rezim Susilo Bambang Yudhoyono, sebanyak 1.250 buah.
Yang lebih memrihatinkan lagi ialah bahwa pelaku kekerasan itu adalah warga masyarakat sendiri, yang bahkan didukung oleh pihak-pihak tertentu yang seharusnya menjamin keamanan di negeri ini. Sikap intoleran yang disertai dengan perilaku kekerasan yang dibiarkan itu telah mengantar kita pada situasi kacau balau, khaotic, karena premanisme.
Kita telah berada dalam arus spiral kekerasan yang akan membuahkan kematian.
Orang benar tetap hidup meskipun dibunuh
Pada peristiwa Yesus arus spiral kekerasan dipersonifikasi dalam diri -Nya yang mati karena menjadi korban kekerasan, yang dilakukan oleh penguasa agama yang bersekongkol dengan penguasa politik pada waktu itu. Oleh-Nya tuduhan-tuduhan palsu dijawab dengan diam, karena dialog tidak bisa dilakukan kalau ada kekerasan.
Ketika kekerasan tidak tahan mendengarkan suara kebenaran dalam diam itu, kekerasan akan berbuah kematian, kematian kebenaran, yang seakan-akan membuat lega para pelaku kekerasan. Ya lega untuk sementara! Karena kebenaran adalah kebenaran.
Pada peristiwa kematian Yesus kebenaran sejati yang berasal dari Allah diakui oleh kepala pasukan yang menyaksikan peristiwa kematian Yesus disalib. Oleh Lukas dituturkan, bahwa kematian Yesus menjadi kesempatan bagi kepala pasukan itu untuk memuliakan Allah, katanya: “Sungguh orang ini adalah orang benar!” (Luk. 23:47) Orang benar tetap hidup meskipun dibunuh.
Itulah kehidupan baru yang dimiliki oleh Yesus, yang melalui kematian –Nya dilantik menjadi Tuhan dan Kristus, karena Allah telah membangkitkanNya dari orang mati.
Kekerasan bukan solusi menyelesaikan masalah
Dalam ruang publik yang tuna adab karena kekerasan, tidak dibenarkan kita,yang adalah anak-anak kebangkitan, melakukan kekerasan untuk melawan kekarasan. Kekerasan bukan solusi menyelesaikan masalah.
Paska Kristus mengamanatkan kepada kita untuk mengubah hati kita yang keras membatu menjadi hati yang manusiawi, yang mampu mendengarkan suara kebenaran, dan bahkan memperjuangkan kebenaran dengan semangat martyria.
Semoga daya kebangkitan Tuhan menjadi kekuatan bagi kita mengubah budaya kekerasan menjadi budaya kelembutan yang berdasar pada kebenaran, keadilan dan kasih. Selamat Paska!
Salam, doa ‘n Berkah Dalem,
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Agung Semarang
Photo credit: Spiral kekerasan by Kardinal Dom Helder Camara (Ilustrasi/Ist)