Renungan – Tahu Diri, Bersyukur, dan Kemudian Berbagi

0
216 views
Ilustrasi: Suster sampai harus panjat tangga untuk berbagi bingkisan kasih di tengah pandemi Covid-19 by ist

Renungan Jumat, 21 Mei 2021

  • Kis 25: 13-21.
  • Yoh. 21: 15-19.

PENGENDAPAN menumbuhkan kesadaran.

Kesadaran bisa mengembangkan kehidupan yang lebih mendalam, lebih jernih, lebih tulus, dan lebih berserah. Bukankah ini yang dicari itu disebut bahagia?

Apa arti bahagia dalam hidupmu?

Dalam dunia yang dinamis dan gerak manusia tanpa henti, kita membutuhkan saat-saat teduh. Untuk dapat menjumpai Allah dalam keheningan.

Sejenak, abaikan suara-suara lain. Biarkan suara Tuhan lembut menggema dalam kelembutan sabda-Nya.

Yesus menyadarkan dan mengutus Petrus. Lewat tiga kali pertanyaan dan pengutusan yang sama, Yesus menyadarkan Petrus sampai pada kesadaran hakiki dan kerendahan hati yang mutlak.

Bahwa belas kasih pengembalaan itu hendaknya menjadi tiang utama pengutusan. Belas kasih mesti menjadi jantung penggembalaan Petrus.

Bagi kita pun berlaku hal yang sama.

Percaya akan warta murid tentang Yesus; dan kita tidak pernah melihat Yesus, maka menjadi murid berarti belajar berani memandang-Nya sesuai dengan kesaksian para rasul dalam wajah-wajah sesama di mana Yesus ditemukan; pada mereka di mana Yesus menyamakan diri-Nya. 

Menemukan Tuhan dalam segalanya. Temukanlah wajah-Nya.

Tindakan hati

“Romo, apakah mau saya ajak pergi ke sebuah panti yatim piatu?,” demikian ajakan seorang umat.

“Kapan? Kenapa?,” tanyaku.

“Kasihan romo. Bukankah hidup itu harus berbagi. Kendati tidak banyak. Hidup saya sudah diberkati. Anak-anak sudah berkeluarga dan cukup,” jawabnya.

“Juga saya pun tak kekurangan. Sejak dulu, saya selalu menyisakan sedikit untuk mereka yang nasibnya kurang baik. Saya bersyukur. Saya diberi anugerah keluarga yang baik, kendati tidak sempurna. Anak mantu cucu juga baik. Saya merasa Tuhan mencintai saya; menyayangi keluargaku. Kendati saya berjuang sendiri, membesarkan anak-anak anak sepeninggal suami. Saya takut akan Tuhan. Itulah prinsip saya. Nggak neko-neko dalam hidup,” jelasnya.

“Saat kecil, saya dekat dengan mama. Saya selalu membantu mama. Tanpa sadar hati saya terbentuk dan saya gampang merasa kasihan.

Saya bekerja banting tulang dengan motif membantu saudara-saudari sekandung. Saya tetap akan berbuat baik kendati kadang-kadang dijahili oleh mereka,” terang ibu sepuh ini.

“Sejak kapan gerak berbagi itu tumbuh?,” kubertanya lagi.

“Ya sejak muda. Saya bekerja keras meringankan beban orangtua. Kalau ada rezeki, saya selalu ingat dengan saudara-saudari sekandung. Di situlah kebiasaan berbagi muncul. Saya bahagia dan senang bila saudara-saudariku tersenyum,” ungkapnya.

“Oh baiklah,” kataku memberi konfirmasi mau ikut.

Mengunjungi panti asuhan itu, saya merasa Tuhan baik. Saya tidak sampai mengalami  apa yang mereka alami.

Tuhan menciptakan fisik saya dengan baik. Ia memberikan saya keluarga yang tidak begitu banyak persoalan. Orangtua sungguh bertanggung jawab dan memelihara hidup kami dengan pengorbanan yang luar biasa

Hubungan dengan saudara sekandung juga tidak begitu rumit, kendati ada gesekan kecil sana-sini.

Donatur itu pun bersyukur. Mereka tidak sampai seperti itu.

Ibu sepuh itu sudah selalu rajin berbuat baik dan berbagi. Ia percaya dan bersyukur.

Ia mengalami bahwa hidupnya “dimudahkan” dalam segala hal.

Yesus menghendaki Gereja-Nya di bawah pimpinan Petrus adalah Gereja yang mengenali Dia dalam diri orang-orang yang miskin dan menderita.

Petrus dan para murid melakukannya. Kita lalu meneruskannya. Bdk Kis 6: 1-7: “Tujuh orang dipilih untuk melayani orang miskin”.

Dengan demikian kita belajar berani mengenal hati-Nya, perasaan-Nya dan pilihan-pilihan-Nya yang terdalam.

Kita disadarkan bahwa hidup keagamaan bahkan hidup iman kita selalu terkait oleh belas kasih.

Belas kasihlah yang menjadi jantung penggembalaan Petrus dan pelayanan Gereja kita saat ini.

Di mana pilihanmu?

Tuhan, teguhkanlah untuk berani menapaki jalan Jeriko.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here