KABAR duka. Telah meninggal dunia dr. Lo Siauw Ging (1934-2024).
Almarhum meninggal dunia dalam usia 90 tahun. Ia adalah dokter yang selalu tidak minta bayaran untuk jasa periksa medis terhadap pasien-pasien yang kurang mampu. Almarhum meninggal dunia di RS Kasih Ibu Solo, hari Selasa tanggal 9 Januari 2024. Jenazahnya kini disemayamkan di Rumah Duka Thiong Ting.
Berikut ini tulisan dari ghost writer yang kami kutip dari paparan di sebuah grup WA Katolik. Dikirim di jalur WA oleh Romo Cahyo MSF.
Dokter itu untuk melayani, bukan jual obat
“Aku datang untuk melayani, bukan dilayani.”
Itulah semangat almarhum dr. Lo Siaw Ging yang sangat populer di Solo. Bukan hanya karena diagnosanya, tapi juga karena almarhum tidak pernah minta bayaran ke pasien. Bahkan biaya beli obat pun terkadang dibayari oleh almarhum sendiri.
Dokter Lo lahir di Magelang, 16 Agustus 1934 di keluarga pengusaha tembakau moderat. Anak pasutri Bapak Lo Ban Tjiang dan Ny. Liem Hwat Nio. Setamat SMA di Semarang, Lo ingin kuliah kedokteran.
Ayahnya berpesan: “Jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter.”
Pemaknaan pesan sang ayah bagi dr. Lo. “Seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata. Karena tugas dokter adalah membantu orang. Kalo hanya ingin cari untung, lebih baik jadi pedagang. Jadi siapa pun pasien yang datang, miskin atau kaya, harus dilayani dengan baik. Ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit. Bukan menjual obat.”
Menebus resep dan cari donatur untuk biayai operasi pasien tak mampu
Lo menjadi dokter sejak 1963 di Poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr. Oen Boen Ing (1903-1982). Di zaman Orde Baru, poliklinik ini menjadi RS Panti Kosala dan sekarang bernama RS Dr Oen. Selain dari ayahnya, Lo juga belajar banyak dari Dr Oen: Ia tidak hanya pintar mengobati, tapi hidupnya sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa.
Selain tidak minta bayaran, almarhum dr. Lo juga membantu pasien yang tidak mampu untuk menebus resep; juga pasien rawat inap di tempatnya bekerja: RS Kasih Ibu. Ia akan menulis resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotik tanpa harus bayar. Pada akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih uang kpd dr. Lo.
Alhasil, Lo harus membayari resep antara Rp 8-10 juta per-bulan. Jika biaya rawat besar, misalnya harus operasi, maka dr. Lo turun sendiri cari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo: “Beruntung, masih banyak yang percaya saya,” demikian ucap almarhum.
“Saya tahu pasien mana yang mampu bayar dan tidak. Untuk apa mereka bayar ongkos dokter dan obat, kalau setelah itu tidak bisa beli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan,” kata dr. Lo, alumnus Fakiltas Kedokteran Universitas Airlangga dan Manajemen Administrasi Rumah Sakit dari UI.
Kalau sakit, ya harus berobat
Gaya bicaranya tegas. Kadang, ia memarahi pasien yang menganggap enteng penyakit. “Sampai sekarang masih banyak yang bersikap seperti itu. Memangnya penyakit itu bisa sembuh sendiri? Kalau sakit ya harus segera dibawa ke dokter. Jangan suka bikin diagnosis sendiri,” ujar anak ketiga dari lima bersaudara.
Saat kerusuhan Mei 1998, dr. Lo tetap buka praktik dan menerima pasien di rumahnya di Kampung Jagalan, Jebres, Solo. Orang banyak khawatir akan keselamatan keluarga almarhum dan akhirnya mereka beramai-ramai menjaga rumah dr. Lo. “Banyak yang butuh pertolongan; termasuk korban kerusuhan, masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup, siapa yang nolong mereka?”
Bahagia kalau bisa menolong
Meski usianya sudah 89 tahun dan jalan bertongkat, dr. Lo tetap tidak banyak mengurangi waktunya untuk melayani pasien dari pagi sampai malam. “Selama saya kuat, saya belum mau pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun, kalau sudah tdk bisa apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu orang dan itu tidak bisa dibayar dengan uang.”
Puluhan tahun menjadi dokter -bahkan direktur rumah sakit- gaya hidup dr. Lo tetap sederhana. Bersama isterinya, Ny. Maria Gandi, ia tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun. Kecuali hanya diperbarui catnya. Bukan rumah megah dan bertingkat seperti umumnya rumah dokter.
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan yan lebih, biarlah untuk mereka yang lebih membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan untuk membantu orang lain.”
Menurut almarhum dr. Lo, isterinya memiliki peran besar terhadap apa yang dia lakukan selama ini. Tanpa perempuan itu, demikian kata dr. Lo, ia tidak akan bisa melakukan semuanya. “Maria itu perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya,” ujar dr. Lo tentang Maria Gan May Kwee alias Ny. Maria Gandi, perempuan yang dia nikahi tahun 1968.
Tahun 2020, dr. Lo mendapat penghargaan MURI. ”Sebenarnya, banyak dokter bisa melakukannya. Untuk semua, apalagi dokter muda, bagaimana pun di sini jika menjadi dokter tidak akan kelaparan. Tidak ada salahnya sedikit berbuat sosial untuk orang lain.”
Di usia tuanya ini, almarhum dr. Lo jatuh sakit lagi dan kini dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu di Solo. Beberapa tahun lalu juga dirawat karena gejala stroke. Konon, sampai sebelum jatuh sakit, dokter Lo masih praktik melayani banyak pasien.
Akhirnya hari ini, Selasa 9 tanggal 2024, dr. Lo Siauw meninggal di RS Kasih Ibu Solo.
Tuhan yang memberi – Tuhan yang mengambil – Terpujilah nama Tuhan.
GBU. God bless u, dok.
Ada malaikat dari Solo.
Jadilah berkat, seperti dr. Lo.
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
PS: Penulis anonim, sumber WAG Katolik