MINGGU tanggal 5 Juli 2025 lalu, umat Paroki Cannobio yang masuk wilayah pastoral Keuskupan Novara di wilayah administratif Regio Piedmont, Italia, dibuat terkejut sekaligus syok. Lantaran, Pastor Matteo Balzano -imam diosesan lokal berumur 35 tahun- kedapatan telah meninggal di kamarnya.
Temuan jenazahnya terjadi, saat umat paroki lokal dihinggapi rasa cemas manakala Pastor Balzano yang sedianya harus datang memimpin perayaan ekaristi tidak kunjung muncul di sankristi dan keluar masuk altar. Karena tidak muncul-muncul dalam agenda misa, maka umat lalu menyambangi pastor lain agar segera “mencari” keberadaan Pastor Balzano.
Alamak. Ternyata, Pastor Balzano ditemukan sudah dalam kondisi meninggal dunia. Besar kemungkinan, almarhum mati atas keinginannya sendiri alias bunuh diri. Tetapi motivasi dan latar belakang macam apa yang menyebabkan pastor muda berbakat ini nekad sampai menghabisi nyawanya sendiri hingga berita ini dirilis belum mendapatkan jawabannya.
Saat memberikan pesan sungkawanya dan dalam kapasitasnya sebagai Vikep Keuskupan Novara untuk Urusan Hidup Bakti, Pastor Franco Giudice mengungkapkan bahwa “Hanya Tuhan sendirilah yang tahu akan hidup batin manusia yang tidak bisa kita selami.”
“Mari kita berdoa mohonkan pengampunan dari Tuhan atas diri rekan imamat kami: almarhum Pastor Don Matteo, sekaligus ikut bersungkawa kepada keluarga almarhum dan segenap umat Paroki Cannobio,” ungkap Pastor Giudice.
Obituari almarhum
Balzano lahir tanggal 3 Januari 1990 di Borgomanero, Piedmont. Ia berasal dari Paroki Grignasco; menerima Sakramen Imamat dan ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Novarra tanggal 10 Juli 2017.
Berdasarkan latar belakang pendidikannya, almarhum Pastor Matteo Balzano adalah seorang insinyur aeronautika. Ia masuk seminari tahun 2010. Usai tahbisan imamat, Pastor Balzano mengampu tugas pastoral sebagai pastor paroki untuk wilayah Castelletto sopra Ticino (2017-2023).
Usai menjalani semacam retret pribadi di pusat kerohanian Maria di Re di kawasan wilayah Italia Utara, ia kembali mengampu tugas pastoral di kalangan kaum muda di Paroki Cannobio, selain juga melayani umat di Cannobia Valley.
Dalam perjalanan imamatnya yang singkat namun penuh makna, almarhum Pastor Balzano dikenal karena kedekatannya dengan kaum muda dan kemampuannya mengorganisir berbagai kegiatan komunitas; khususnya kegiatan perkemahan musim panas (Grest) yang berhasil dia hidupkan kembali dengan penuh semangat.
Tak menduga sedramatis itu
Kepada koran berbahasa Italia Il Secolo d’Italia, seorang umat Paroki Cannobio berujar demikian. Sebelum pastor tersebut bunuh diri, almarhum Pastor Balzano sempat mencurahkan ungkapan keprihatinan pribadi kepada dia. Antara lain pastor malang ini mengatakan dirinya amat menyayangkan kematian seorang warga umat parokinya dengan ungkapan keprihatinan – -katanya- “Tak seorang pun tahu mengapa bisa ada kekuatan jahat di dalam diri orang sehingga yang bersangkutan berani melalukan tindakan seekstrim itu (baca: mati bunuh diri).”
Namun, ternyata kata-kata itu malah juga dia lakukan juga. Ia juga mati karena tindakan bunuh diri.
Tanggal 7 Juli 2025, Uskup Keuskupan Novarra Mgr. Franco Giulio Brambilla memimpin ibadat di Gereja St. Victor, Cannobio. Jenazah Pastor Balzano dimakamkan di Grignasco – sekitar 55 mil jauhnya dari Cannobio.

Doa dan perhatian untuk para imam
Kematian Pastor Balzano karena tindakan nekad bunuh diri itu segera memunculkan keprihatian mendalam atas “kesehatan mental” para religius – termasuk para imam. Mereka bisa saja sangat sibuk, namun di lubuk hati mereka yang terdalam bisa saja mengalami kesepian. Dan apalagi semua “perkara” tak jarang harus mereka urus sendiri.
Hal ini diakui oleh Pastor Omar Buenaventura, seorang imam dari Peru, yang dikenal luas sebagai pastor pembimbing rohani bagi mereka yang membutuhkan “bantuan” pendampingan dan pertemanan yang sehat – karena bagaimana pun seorang imam juga sangat rentan terhadap godaan dan rapuh menghadapi tantangan.
“Sama seperti manusia kebanyakan, saya juga merasakan hal itu. Saya pernah alami menderita batin, sekaligus bisa tertawa dan berteriak, merasa cemas, sedih dan sering kali malahan saya merasa beban hidup ini sudah tak bisa saya tanggung sendiri karena sudah sangat mengancam dan membebani,” tulisnya di sebuah medsos.
“Di dalam setiap imam, ada sebuah hati manusia – penuh dengan perasaan, sukacita, luka, trauma, dan kisah-kisah yang jarang diketahui orang. Dan ketika saya menyaksikan peristiwa seperti ini, saya tak bisa tidak berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri tentang hidup saya,” tulisnya lagi.
“Memang benar – Tuhan adalah kekuatan kita. Tetapi kita ini terbuat dari daging dan darah. Di hadapan penderitaan sedalam ini, tak ada kata-kata yang cukup – hanya iman yang bisa bicara,” lanjutnya.
Setelah menegaskan bahwa kekuatannya berasal dari Tuhan, Pastor Omar Buenaventura berani jujur mengakui, “Saya pun butuh untuk dipeluk, didengarkan, didukung, dicintai, diampuni, dan dirawat. Kami perlu diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai mesin. Sungguh, kadang beban ini terasa begitu berat -dan tanpa Tuhan- saya pun bisa hancur.”
Butuh dukungan
Sejalan dengan itu, Pastor Francisco Javier Bronchalo, seorang imam dari Keuskupan Getafe di Spanyol, menegaskan bahwa para imam bukanlah seorang “pahlawan super” dan bahwa panggilan hidup imamat tidak membebaskan seseorang dari penderitaan.
Ia menjelaskan bahwa “kesepian para imam bukan terutama kesepian fisik, melainkan kesepian emosional,” tambahnya seraya katakan, para imam juga butuh dukungan. “Ketidakpedulian lebih mematikan daripada kebencian,” jelasnya lagi.
Ia sangat menyayangkan bahwa banyak imam hidup “dalam iklim yang dipenuhi ketidakpedulian, penghakiman, dan tuntutan yang berlebihan. Jika kami melakukan kesalahan, orang cepat menunjukkannya. Tapi jika kami melakukan sesuatu yang baik, biasanya tidak ada yang berkata apa pun.”
PS: Diolah dari CNA