RIP: Romo Rudolphus Kurris SJ Meninggal di Nabire

20
13,449 views

SELALU berapi-api dan cenderung terlalu bersemangat adalah cirikhas yang melekat pada almarhum Romo Rudolphus Kurris SJ setiap kali Yesuit berdarah Belanda ini berbicara. Belum lagi kalau menatap lawan bicaranya… Romo Kurris adalah pribadi yang hangat, simpati dan enerjik.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, mendiang Romo Kurris sudah memasuki masa purnakarya dan menjalani kesehariannya hanya dengan berdoa di Wisma Emmaus Santo Stanislaus Girisonta.

Selain tugasnya resminya sebagai Yesuit purnakarya yakni mendoakan Ordo dan Gereja, Romo Kurris juga menyempatkan diri memberikan waktunya untuk bimbingan rohani bagi para retretan pengikut program retret pribadi di Rumah Retret Girisonta.

“Saya hampir buta”
Bersama puluhan anggota keluarga Sesawi (Paguyuban para mantan Yesuit Indonesia), kami berkesempatan mengunjungi para Yesuit purnakarya di Wisma Emmaus Girisonta. Salah satu bintang pertemuan singkat Juni 2010 lalu itu adalah cerita Romo Kurris yang dengan gegap gempita mengisahkan catatan perjalanan cutinya ke Nederland beberapa bulan sebelumnya.

Di Negeri Belanda, demikian isi kisah Romo Kurris, “Saya menyempatkan diri periksa ke dokter spesialis mata karena ada gangguan pengliatan. Dan saya tak terlalu terkejut ketika dokter itu menyatakan, kemungkinan besar sebelah mata saya dalam waktu dekat akan menjadi buta.”

Memanglah, di usianya yang senja Romo Kurris masih tetap enerjik berkisah, meskipun pada akhirnya memang salah satu matanya mengalami daya penglihatan sangat merosot dan bahkan hampir buta seluruhnya.  “Saya jadi pendekar satu mata….,” katanya terbahak yang membuat para Sesawier ikut terbahak-bahak.

Berkarya di Jakarta

Sebelum pindah selamanya ke Wisma Emmaus di Girisonta menikmati masa purnakarya, mendiang Romo Kurris SJ berkarya di Gereja Paroki Kampung Sawah, Jatiasih, Bekasi. Boleh dibilang, Romo Kurrislah yang merintis berdirinya gereja paroki yang di tahun-tahun 1990-an masih layak disebut “wilayah pinggiran” ini.

Hubungan Romo Kurris dengan umat setempat yang mayoritas Betawi sangatlah akrab dan harmonis.

Supelnya pergaulan Romo Kurris juga pernah diutarakan mendiang Romo Wisnumurti Murtrisunu SJ yang pernah menjadi pastor pembantu di Gereja Paroki Yohanes Penginjil Blok B, Kebayoran Baru. “Wah, tiada tanding sudah kalau Romo Rudi bicara,” tutur mendiang Romo Murti mengenai seniornya di SJ yang pernah saya dengar tahun 1990-an.

Selain di Gereja Paroki  Blok B, Romo Kurris menjadi pastor kepala di Gereja Santa Blok Q Kebayoran Baru dan Gereja Katedral Jakarta.

Meninggal di Nabire

Romo Kurris meninggal hari Kamis (24/11) pagi WIT di Residensi Komunitas SJ di Nabire, Papua. Kedatangan mendiang Romo Kurris ke Nabire terjadi setelah sebelumnya sempat mengunjungi beberapa lokasi di Papua.

Semalam, tutur Romo Mardi Santosa SJ di Nabire, Romo Kurris seperti biasa masih enerjik bercerita tentang perjalanannya blusukan ke daerah terpencil di Papua. Meski lelah dan kelihatan capai fisik, namun semangat bercerita tetap menjadi rohnya ketika melakukan syering bersama teman-teman SJ di Kolese le Coq d’Armandville Nabire.

Kamis pagi ini, mendiang Romo Kurris berencana ikut misa pagi di kapel asrama Kolese le Coq d’Armandville. Namun tunggu punya tunggu, kok beliau tidak muncul-muncul di kapel mengikuti misa pagi bersama para Yesuit dan anak-anak asrama Kolese le Coq d’Armandville.

Usai misa, Bruder Norbert SJ mencoba mengetok pintu kamar Romo Kurris namun tak ada respon. Ketika diintip dari kaca jendela, ternyata Romo Kurris sudah jatuh ke lantai dengan posisi tidur telungkup. Ketika dibangunkan, ternyata beliau sudah meninggal.

Padahal menurut rencana, hari  Kamis ini pula  Romo Kurris akan terbang pulang ke Wisma Emmaus Girisonta, setelah beberapa hari lamanya melalang buana ke Papua.

Requiescat in pace.

20 COMMENTS

  1. Untuk kami yang tinggal di Kampung Sawah, sosok Rm.Kurris dengan segala kelebihan dan kekurangannya,pastilah akan selalu dikenang sebagai bapak Gereja Betawi. Karena di tangan Rm.Kurrislah keberadaan Paroki St.Antonius Padua ( kemudian oleh Rm.Kurris diubah menjadi St.Servatius -uskup Asia pertama- ) ditabalkan dengan tagline yang sangat populer kemana-mana sebagai “Gereja Betawi”. Dengan mengusung identitas Betawi inilah, Paroki Kampung Sawah dikenal kemana-mana, bahkan sampai ke Masstricht di Belanda sana, tempat Romo Kurris berasal,dan relikwi St.Servatius didatangkan. Semangatnya ( khas Romo-romo missionaris angkatan beliau ) untuk selalu memelihara ‘ideologi’ Katolik di tengah ragam model Gereja partisipatif yang ditawarkan, dan tidak lagi bertumpu pada keberadaan para klerus ( beberapa tahun silam sempat cukup lama berpolemik di mingguan Hidup dengan Rm.Mangun alm ), akan selalu kami pelihara sebagai kenangan yang hidup, dan terus mendorong untuk memelihara warisan Romo Kurris yaitu mewujudkan impiannya agar Gereja ( dan gedung gerejanya ) Stasi St.Stanislaus Kranggan dapat segera berdiri. Beliau yang mengawali, kami yang harus melanjutkan. Di tengah segala plus minus, adu pendapat, kritik dan bahkan konflik…Romo Kurris pasti akan selalu dikenang sebagai gembala yang misioner dan visioner. Sebagai gajah, gadingnya yang besar tertancap erat di lubuk hati umat Kampung Sawah..
    Sugeng Tindak Romo Kurris….jadilah pendoa bagi kami di Surga, agar kami sanggup melanjutkan karyamu di dunia…

    Teriring doa.
    C.Binarsunu – umat paroki St.Servatius Kampung Sawah.

  2. Pater yang terkasih.
    Mengenalmu beberapa tahun di St. Yohannes Penginjil, Kebayoran Baru, memberikan bayangan padaku ketika berita perpisahan pagi ini tiba: aku ‘melihat’ Pater tertawa penuh semangat ketika Allah Bapa memintamu pulang ke rumah, karena dengan optimisme dan semangatmu yang selalu membara, engkau membayangkan dapat lahan garapan lagi, salah satu lahan itu adalah doamu untuk gereja yang masih berkelana di dunia ini.
    Pater, terima kasih karena telah menyentuh hidup mudaku awal tahun 90-an itu, terima kasih atas pengabdianmu yang tidak kenal lelah pada gereja, terima kasih karena hidup, karya dan kesetiaanmu yang menyentuh begitu banyak orang…
    Selamat jalan Pater Kurris …

  3. Paroki St. Servatius terletak di Kampung Sawah, Kec. Pondok Melati. Jadi bukan di Kecamatan Jati Asih. Lalu dalam bincang-bincang dengan beliau nama samaran Kaslan itu kata beliau dari singkan Bekas Londo…

    Selamat jalan Romo Kurris. Maaf saya pernah membuat dikau berang karena menerbitkan buku HITAM PUTIH ROMO KURRIS .

    Eddy Pepe – Umat Paroki St. Servatius

  4. Kami sangat berduka cita. Romo kami tercinta ini dulu sering mengunjungi rumah kami sewaktu kami tinggal di Paroki Blok B Jakarta… Beliau sering mengunjungi umatnya datang dari rumah ke rumah… dan aku masih ingat kalau datang ke rumahku beliau selalu menggunakan bahasa Jawa untuk obrolan dengan Alm Bapakku…. tetapi beliau selalu hadir dan mengunjungi kami sekeluarga… Romo, kami sekeluarga sangat kehilangan… tapi kami percaya Tuhan memberikan yang terbaik untukmu… Romo Kurris yang kami cintai SELAMAT JALAN… Doakan kami yang masih berziarah di dunia ini…

  5. Selamat jalan romo…
    Terima Kasih atas semua jasa-jasamu bagiku…
    semoga karya & perjuanganmu tetap berlanjut di bumi ini…
    Beristirahatlah dengan tenang bersama Allah Bapa dan Putra dan Roh Kudus…
    Amin

  6. Selamat Jalan, Romo Kurris ….
    Karya2 Pelayananmu akan selalu kami kenang …
    Karya2 Pelayananmu akan kami lanjutkan ….

  7. Yang pernah saya dengar dari Romo Kurris, Kaslan itu artinya Bekas Belanda…waktu itu beliau sudah dinaturalisasi sebagai WNI. Semoga beliau tenang dalam damaiNya di rumah Bapa.

  8. SeLamat jalan romo Rudolphus Kurris SJ.meskipun kita belum saling bertemu maupun saling kenal tapi hati ini merasakan kehilangan yang amat sangat dalam. Selamat Jalan romo

  9. Awal tahun 1960-an Pastor R.Kurris, SJ muda ketika datang pertama kali utk berkarya di Indonesia mendapat tugas mengembangkan Paroki St.Fransiskus Xaverius Tanjung Priok yg merupakan paroki muda (berdiri 1952). Beliau ditugaskan sebagai Pastor Paroki di Tanjung Priok pd tahun 1963 ketika umat Tg.Priok masih menggunakan gereja darurat di areal Pelabuhan Tanjung Priok. Kemudian sekitar thn.1968 beliau merintis ijin dan pencarian dana untuk pembangunan Gereja yang berlokasi cukup strategis di Jln.By pass (Yos Sudarso), salah satu cara pencarian dana adalah dengan mengundang Dubes Vatican bersama Mgr perwakilan Paus utk pengembangan gereja di Asia yg tengah datang ke Indonesia, untuk mengunjungi umat di Tg.Priok yang sedang berkembang namun belum mempunyai gedung Gereja yg layak. Maka pada awal thn.1970 dimulailah pembangunan Gereja dimana umat bersama gembalanya (P.Kurris,SJ) bahu-membahu didalam pembangunannya, dan pada tgl. 3 Desember 1972 bertepatan dgn peringatan pesta nama St.Fransiskus Xaverius pelindung Paroki Tg.Priok maka diresmikanlah gedung Gereja Paroki St.Fransiskus Xaverius oleh Uskup Agung Jakarta Mgr.Leo Soekoto, SJ. Dan bangunan gedung Gereja ini pada saat itu adalah bangunan termegah yang ada di kawasan Jakarta Utara….sungguh memang peninggalan yang berarti dari apa yang pernah dirintis dan dilakukan oleh Pastor R.Kurris,SJ sebagai seorang gembala sekaligus perintis pengembangan gereja khususnya bagi umat katolik di Tanjung Priok dan beliau berkarya sampai dengan thn. 1972 setelah hampir 10 tahun melayani umat di Tanjung Priok.

  10. secara pribadi aku mrasa kehilangan krn alm.pstr kurris-lah yg memberkati orang tua aku mjadi katolik, dan sekarang kakak aku mengukuti jejak alm menjadi imam krn wkt itu dibilang bpk & ibu suhara ke 3 anak ini akan mencicipi biara tp hanya 1 yg menjadi imam, alm klo ketemu sll bilang Tuhan Memberkati Kalian ber 3, Slmt Jln Pstr tercinta,

  11. Salah satu karya Romo Kurris untuk menyelamatkan kaum muda katolik dari kawin campur adalah dengan membuat kegiatan mudika “Sanggar Remaja” setiap malam minggu setelah misa sore di aula Pastoran Blok B sekitar tahun 80 an. Selamat Jalan Romo.

  12. Catatan singkat seorang pelayan Ziarah Spoor.

    Minggu sore awal Maret lalu, usai mengikuti workshop Managemen Pengembangan Museum Kereta Api Ambarawa untuk Destinasi Wisata Internasional yang diselenggarakan PT Kereta Api Indonesia- Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan Bersejarah di Lawang Sewu – Semarang, saya menyempatkan diri mengunjungi beliau di Giri Sonta. Cuaca hujan mengiringi keteduhan Girisonta saat itu.

    Tak ada ceramah ritual, hanya obrolan santai seputar sejarah kereta api bumi pertiwi ini. Beliau antusias menanyakan bagaimana kabar eks jalur Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij antara Setjang-Temanggoeng-Parakan. Entah, apakah beliau sudah pernah melintasi jalur legendaris tersebut atau belum. Beliau terperanjat kagum, mengetahui jembatan-jembatan kereta api peninggalan Staatsspoorwegen awal abad 20 di bumi Priangan Barat antara Jakarta – Bandung masih tegak berdiri hingga detik ini. Beliau sangka jembatan-jembatan tinggi dan menurutnya menakutkan itu, akan runtuh ditelan jaman. He he he, antusiasme beliau terhadap nilai sejarah tidak diragukan lagi.

    Ia menyarankan generasi muda bangsa Indonesia mampu berkaca dari kearifan sejarah masa lalu bangsanya. Wajahnya berseri, saat saya tunjukkan kalimat ilustrasi perjalanan pater Jesuit dengan kereta api dari Batavia-Djokja-Moentilan sekitar tahun 1930an, dalam buku Sejarah Katedral Jakarta, buah karyanya.

    Ia kembali ingatkan lagi, generasi muda Katolik jangan tenggelam dan berkegiatan di seputar ritual altar saja, namun hendaknya melangkah ke luar, aksi nyata dalam keseharian hidup, menggarami serta mencerahkan masyarakat Indonesia.

    Meski saya belum mengenal banyak diri Pater R. Kurris, SJ. Terima kasih atas baptisan yang diberikan kepada saya lebih 33 tahun lalu, petualangan iman serta peziarahan sejati seorang Jesuit, yang memberikan inspirasi bagi kami semua. Ad Maiorem Dei Gloriam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here