
LANGIT di atas Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, di pagi itu tampak cerah. Udara sejuk pegunungan khas Manggarai menyambut langkah-langkah peserta Festival Golo Curu yang mulai memadati area sekitar Gereja Katedral Baru Ruteng.
Di antara deretan peserta dengan pakaian adat penuh warna, tampak sekelompok mahasiswa muda membawa semangat berbeda – semangat melestarikan budaya lewat ritual tarian Roko Molas Poco.
Ritual adat Roko Molas Poco memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Manggarai. Dalam bahasa lokal,
- Roko berarti membawa atau memikul.
- Molas berarti perempuan cantik.
- Poco berarti gunung” atau hutan.
Secara simbolik, ritual ini menggambarkan kerjasama, tanggungjawab, dan penghormatan terhadap kehidupan, terutama dalam konteks pembangunan Mbaru Gendang – rumah adat sebagai pusat kehidupan sosial dan spiritual orang Manggarai.

Mahasiswa Prodi Teologi Unika St. Paulus Ruteng
Tahun 2025 ini, Festival Golo Curu menjadi momen istimewa bagi segenap mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng. Karena sebanyak 44 mahasiswa semester I Program Studi Teologi Unika St. Paulus Ruteng turut ambil bagian dalam perayaan tersebut.
Mereka membawa dan menampilkan tarian Roko Molas Poco dalam perarakan patung Bunda Maria dari Natas Labar menuju Gereja Katedral Baru Ruteng. Perpaduan antara iman dan budaya lokal terasa begitu kuat, menghadirkan suasana yang sakral sekaligus menggetarkan hati.
“Melalui kegiatan ini, kami belajar bahwa iman dan budaya tidak bertentangan, tetapi bisa saling memperkaya,” ujar salah satu mahasiswa peserta dengan penuh antusias.
Gerak langkah yang ritmis, hentakan kaki yang serempak, dan iringan gong serta gendang menjadi wujud nyata kebersamaan dan penghargaan terhadap warisan leluhur.

Bagi para mahasiswa, keterlibatan dalam festival ini bukan sekadar tampil di hadapan publik. Lebih dari itu, mereka belajar tentang makna Roko Molas Poco sebagai simbol keindahan, kekompakan, dan solidaritas.
Tradisi ini bukan sekadar “tontonan”, melainkan ungkapan identitas dan kebanggaan masyarakat Manggarai.
Partisipasi generasi muda seperti mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng menunjukkan bahwa budaya lokal tetap hidup dan relevan. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, semangat menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai adat menjadi semakin penting.
“Harapannya, Roko Molas Poco tidak hanya dikenal di Manggarai, tetapi juga mendapat tempat di hati masyarakat luas,” ujar seorang dosen pendamping.
“Budaya ini adalah warisan, dan tugas kita adalah menjaganya agar terus hidup,” lanjutnya.
Festival Golo Curu tahun ini pun berakhir dengan sukacita. Namun gema langkah dan irama Roko Molas Poco masih terasa di hati para peserta muda – sebagai tanda bahwa cinta pada budaya sendiri bisa tumbuh dari pengalaman yang sederhana namun bermakna.









































