Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara dalam Simbolisme Padang Gurun (10)

1
2,758 views

BANYAK  orang juga bertanya, apa pakaian resmi saya sebagai eremit diosesan. Karena bukan termasuk tarekat religius, sebenarnya tak perlu juga saya merancang pakaian religius tertentu. Yesuit pun tak memiliki pakaian seragam religius, melainkan hanya mengikuti cara berpakaian para imam diosesan setempat. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)

Hanya saja, secara praktis untuk hidup di daerah pegunungan yang dingin, saya terilhami oleh foto Sri Paus Fransiskus yang memakai jas hujan poncho warna kuning di Manila. Nah, jubah ala jas hujan poncho itulah yang saya pakai pada acara kaul kekal ini.

Tak usah repot-repot. Cukup kain putih dibentuk menjadi seperti jas hujan poncho; dengan kerudung kepala meruncing ke atas seperti para rahib/pertapa pada umumnya untuk melambangkan jeritan doa yang melambung tinggi ingin menggapai Yang Transenden; dengan seluruh pinggir kain dijahit dan hanya ada lubang untuk kedua tangan di samping dan kaki di bagian bawah.

Kalau tengah malam saya berjubah poncho ini berkeliling pondok sambil berdoa rosario, orang dukuh yang melihat akan ketakutan karena mengira pocongan jalan.

Kebetulan saja ada teman yang membawakan batu pinggir jalan dari Gunung Karmel di Israel, tempat para pertapa bermukim sejak zaman Nabi Elia, dan kemudian digosok halus seperti akik. Batu itulah yang menghiasi salib perak yang saya pakai sebagai bandul kalung untuk melambangkan kehidupan eremit, yang sebenarnya seperti umat kristiani lainnya juga diundang untuk memanggul salib Kristus. Dilihat sepintas, batu oval ini dengan pola lukisannya seperti menggambarkan hati Yesus yang terbakar oleh kasih-Nya.

Ada juga cincin swasa bermata batu bergambar seorang reshi botak memegang tongkat, yang sudah sejak 1990an diberikan gratis oleh seseorang penjual akik di pinggir jalan Malioboro dengan pesan tegas hanya untuk saya pakai sendiri. Batu ini pernah menyertai saya juga di biara Karthusian di Inggris, bukan sebagai mascot apalagi amulet, tapi sekedar icon hidup pertapa.

Terima kasih saya kepada mereka semua yang telah menyediakan jubah poncho, kalung dan bandul salib, serta cincin reshi ini sehingga saya kelihatan angker sebagai eremit komat kamit ngusir dhemit.

Mengembara dalam Penyelenggaraan Ilahi
Ada yang bertanya, eremit diosesan mencukupi kebutuhan hidup dari mana? Apakah ditanggung oleh keuskupan? Di balik pertanyaan itu tentu sudah ada pengandaian bahwa hidup eremit tidak menghasilkan pendapatan finansial apa-apa.

Memang benar demikian. Hanya saja, seturut kebiasaan umum para eremit diosesan dimana-mana (Guidebook to Eremitic Life), Uskup/keuskupan tidak bertanggung jawab secara finansial atas penghidupan seorang eremit diosesan.

Ada juga yang bertanya, apakah saya masih boleh “mimpin misa”? Tentu saja masih boleh, bukan karena saya eremit diosesan, tetapi karena saya pun seorang imam yang diterima Uskup. Bila seorang eremit diosesan juga seorang imam, biasanya dia bisa hidup mengandalkan stipendium misa.

Namun di Eropa, Australia, USA, kebanyakan eremit diosesan bukanlah imam, melainkan awam wanita dan pria yang sudah cukup umur, kadang pernah menikah dan pasangannya meninggal dunia; mereka hidup dari pensiun mereka atau dari sokongan anak-anak mereka yang sudah dewasa.

Para eremit di abad-abad pertapa kekristenan biasanya hidup dari menganyam keranjang atau kerja tangan sederhana lainnya. Selain karena prinsip “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan!” (2 Tes 3:10), kerja tangan juga berfungsi sebagai jangkar batin di tengah ombak pasang surut pikiran sehingga hati tinggal damai menetap dalam Tuhan tanpa kelelahan mental.

Eremit diosesan di tengah lokalisasi pelacuran di sebuah kota di Inggris yang saya sebut tadi mencari nafkah dari merancang website sesuai dengan pekerjaannya sebelum menjadi eremit. Tentu saja ia bekerja secara paruh waktu, sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa berlebih, sehingga ada banyak waktu untuk keheningan doa.

Ada juga eremit yang total bergantung pada kemurahan Tuhan lewat kebaikan sesama, hidup dari sedekah pengunjung pertapaan, lebih-lebih bila kondisi fisiknya sudah tak memungkinkan lagi baginya untuk bekerja tangan.

Apa pun yang dikerjakan eremit, entah belajar entah kerja tangan, harus dilakukan dengan “liberty of spirit”, tanpa kegelisahan untuk mendapatkan laba, tanpa kecemasan untuk memenuhi suatu target atau pun dead-line tertentu. Perhatian total diarahkan bukan pada kerja itu sendiri, namun pada tujuan terakhir segala sesuatu ini. Eremit senantiasa hidup berjaga-jaga. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara Nglurug tanpa Bala (11)

Kredit foto: Ilustrasi (Para imam mengikuti perayaan ekaristi menandai syukur atas Tahun Hidup Bakti sekaligus mengikuti prosesi pengucapkan ikrar kaul publik Romo Martin sebagai eremit diosesan KAS di Sendangsono, 8 September 2015/Romo Antonius Dadang Hermawan)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here