Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara Nglurug tanpa Bala (11)

3
4,147 views

ADA  yang bertanya, apakah saya akan merekrut pengikut atau akan mendirikan suatu tarekat baru. Saya selalu menjawab, tidak. Seperti Anda lihat dari kisah saya ini, memimpin atau membimbing diri sendiri saja sulit sekali bagi saya sehingga baru setelah 40 tahun mengembara ke sana ke sini akhirnya saya sampai ke kaki Lawu untuk mengembara lagi dalam peziarahan batin. Saya tidak merasa terpanggil memiliki pengikut atau anggota. (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)

Kepada orang yang datang dan menyatakan minat hidup sebagai kontemplatif, saya suruh mereka, atau bergabung dengan Ordo Trappist: di Rawaseneng atau Lamanabi Flores (bila pria) dan di Gedono (bila wanita), atau bergabung dengan adik saya sebagai rubiah Klaris di Pacet Sindanglaya, atau bergabung dengan para suster Karmelites (entah di Lembang, Batu, atau Flores), atau menghubungi tarekat pria CSE di Cikanyere dan tarekat Putri Karmel di Tumpang Ngadireso, atau mencoba di Pertapaan Cardoner (pria) dan Pertapaan Awam OSK (pria dan wanita) di Keuskupan Purwokerto.

Bila mana masih saja ditolak atau tidak cocok dengan tempat-tempat itu, saya persilahkan orang menjadi eremit di rumah masing-masing. Gitu aja kok repot lho ya!

Dalam tradisi Gereja, banyak sekali eremit yang tidak bergabung dengan suatu lembaga/tarekat mana pun, sudah sejak awal dulu, seperti dilakukan oleh St. Maria Magdalena. Prior Karthusian, Father John, menulis demikian di awal hidup saya di Triniji:

“I believe that you have some acquaintance with Mary Magdalene. She is your best friend in your spiritual adventure. I hold as true History the legend of Mary Magdalene spending her last 30 years in a cave at the Sainte Baume, in the South of France. She was in such love with her Lord Jesus that she could live alone with him and for him. May you live too in Him with the same love.”

Father John menulis begitu karena pernah membaca buku tulisan Lie Chung Yen (nama asli saya), Pengakuan Maria Magdalena: Saat-saat Intim bersama Sang Guru, dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, Rabboni and Me: Mary Magdalene’s Story.

Legenda yang disebutkan Father John tadi berkisah tentang Maria Magdalena yang bertapa di sebuah gua di dekat kota Marseilles dengan tubuh telanjang hanya bertutupkan rambutnya yang memanjang sampai ke lutut. Saya tak mengira bahwa setelah menulis tentang Maria Magdalena berdasarkan pesanan dari Penpres Kanisius di tahun 2005, gerakan ke arah pertapaan kembali menguasai saya lagi. Tentu saja, kalau pun mau bertapa telanjang seperti itu, mustahil saya lakukan karena tak satu rambut pun tersisa di kepala saya sekarang ini.

Sewaktu Triniji Suci masih dibangun, pernah saya seminggu tinggal di situ karena para tukang sedang libur Lebaran. Saya kaget ketika menyadari bahwa malam pertama saya menginap di pondok yang belum jadi itu bertepatan dengan pesta wafat St. Yohanes Pembaptis (29 Agustus 2011) yang bersama St. Maria Magdalena, dipandang sebagai pelindung para pertapa.

Semoga kebetulan-kebetulan ini merupakan tanda bahwa kedua pelindung agung hidup pertapa itu menyertai saya sepanjang hidup saya sebagai eremit. Amin.

Mengembara penuh ucapan syukur dan terima kasih
Ketika menjadi dosen KS dengan tehnik narasi, saya menyukai tehnik inclusio, seperti juga para penulis KS, saat sesuatu kisah itu diawali dan ditutup dengan suatu hal yang sama atau sebanding atau pararel. Tuhan telah membimbing saya untuk mengawali perjalanan hidup rohani saya dengan kaul privat sebagai pertapa, 1976, dan kini hampir 40 tahun berselang, dengan kaul publik sebagai eremit diosesan.

Selain eremit, Kanon 603 KHK menyebut pula istilah lain untuk pertapa, yaitu anakoret.

Anakoret ini berasal dari kata bahasa Yunani anachorein, artinya “menarik diri sendiri” untuk “tinggal di daerah pedesaan”. Saya tidak ingin menyebut diri anakoret, karena istilah itu tak disebut lagi dalam Kanon 603 §2, dan juga karena nanti di dukuh bisa-bisa saya dipanggil sebagai “anak koretan mencrat mencret”.

Tuhan berbaik hati bahwa sementara menunggu saat yang tepat untuk menjadi eremit diosesan, saya boleh hidup sebagai seorang Yesuit, seseorang yang menyadari dirinya pendosa tapi menyadari diri juga dipanggil sebagai Sahabat Yesus. Para Yesuit menemani Yesus di dunia, sedangkan eremit menemani Yesus di padang gurun. Para Yesuit mencari untuk menemukan Tuhan di dalam segala, sedangkan eremit mencari untuk menemukan segala di dalam Tuhan. Para Yesuit musti siap di utus ke seluruh dunia, sedangkan seluruh dunia hadir dalam kesendirian eremit.

Terima kasih saya yang tak terhingga kepada para saudara dan sahabat saya, serta para Yesuit, yang menyempatkan hadir dari mana-mana di Sendangsono ini untuk mendukung saya.

Terima kasih saya kepada Vikjen KAS, Rm FX Sukendar W, dan Sekretaris KAS, Rm Ig Triatmoko MSF, yang telah menyiapkan segala dokumen perpindahan saya dan menjadi saksi kaul. Terima kasih kepada Rm. P. Tri Margono dari pihak Panitia UNIO yang sudah menyiapkan segalanya bagi saya di Sendangsono ini.

Dan tentu saja terima kasih sebesar-besarnya kepada Mgr. Johannes Pujasumarta yang telah berkenan menerima kaul saya, para Uskup dan Imam serta para saudara saudari sekalian yang merayakan Misa Syukur Tahun Hidup Bakti di Sendangsono ini dan dengan sabar ikut mengikuti ritus kaul kekal saya serta turut mendoakan saya.

Permohonan saya pada saudari-saudara sekalian ytk adalah: doakanlah agar saya tidak resah lagi, tidak kombak kambek lagi, tidak ngalor-ngidul lagi, tapi diperkenankan untuk hidup damai penuh keikhlasan dan kemurnian hati sebagai eremit dan kelak mati juga sebagai eremit, yang hidup terpisah dari semua orang dalam kesatuan dengan semua orang; atas nama semua oranglah eremit berdiri sendirian di hadirat Allah.

Seorang saudara sepupu saya meminta saya menuliskan pembelaan atas pilihan hidup saya “keluar masuk SJ” dan sekarang menjadi eremit diosesan yang tak jelas pula artinya. Saya menjawab bahwa saya tak perlu menulis pembelaan, karena saya bukan siapa-siapa (nobody) dan tentang bukan siapa-siapa memang tak ada apa pun yang perlu dibela.

Ia pun lalu mengoreksi diri sendiri, bukan pembelaan, tapi suatu penjelasan bagi orang yang tidak tahu dan ingin tahu, terutama bagi mereka semua yang mengasihi saya dan amat dibingungkan oleh pilihan hidup saya ini. Terutama untuk mereka itulah uraian panjang lebar ini saya persembahkan.

Ibu dan Ayah saya di Atas Sana dan para saudara/i kandung saya tentunya tak memerlukan penjelasan apa pun tentang perjalanan panggilan saya yang membingungkan banyak orang; bukankah cinta itu “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu” (1 Kor 13:7)?

Dan sebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah memanggil saya dan terima kasih kepada Bunda Maria yang selama ini mendampingi peziarahan saya, saya ingin mengakhiri sambutan saya ini dengan melantunkan kidung Salve Regina (Salam ya Ratu) dalam melodi yang biasa dinyanyikan oleh para rahib dan rubiah Karthusian.

Sebetulnya akan saya sambung juga dengan Te Deum, tapi nanti menjadi terlalu panjang, sebagai gantinya silahkan search saja di Youtube “Triniji Hermitage”, dan anda akan mendengar dan melihat saya menyanyikan Te Deum di situ.

Kedua kidung Latin ini sebisa mungkin saya lantunkan di keheningan malam tiap kali saya terbangun untuk berdoa tengah malam. Bila saya sedikit ogah-ogahan bangun, ada saja, entah siapa tak kelihatan wujudnya, yang mengetuk pintu kamar atau jendela untuk memperingatkan saya!

Setiap hari, begitu bangun pagi, saya bersujud mencium tanah tiga kali.

  • Pertama, untuk bersyukur kepada Tuhan karena telah menciptakan saya menjadi manusia serta memanggil saya menjadi pertapa dan menjadi imam.
  • Kedua untuk memohon ampun atas dosa saya sebagai manusia, sebagai pertapa, dan sebagai imam.
  • Ketiga untuk mohon berkat bagi Gereja dan dunia serta seluruh alam semesta; bagi segala makhluk ciptaan, yang kelihatan maupun yang tak kelihatan.

Ada Doa Bagi Yang Hidup Sendirian, yang entah ditulis oleh siapa dan dicetak sebagai pembatas buku, yang saya peroleh selagi hidup sebagai rahib Karthusian. Doa inilah yang saya nyanyikan di depan Sakramen Maha Kudus setiap malam sebelum tidur:

A PRAYER FOR THOSE WHO LIVE ALONE
I live alone dear Lord, stay by my side.
In all my daily needs, be thou my guide.
Grant me good health, for that indeed I pray.
To carry on my work, from day to day.
Keep pure my mind, my thoughts, my every deed.
Let me be kind, unselfish in my neighbours needs.
Spare me from fire, from flood, malicious tongues.
From thieves, from fear, from evil ones.
If sickness or an accident befall,
Then humbly Lord, I pray, be thou my call
And when I’m feeling low or in despair
Lift up my head, and help me in my prayer.
I live alone dear Lord, yet have no fear
because I feel your presence ever near.

Terima kasih sekali Anda telah bersabar membaca uraian saya sampai di sini. (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Mengembara dalam Simbolisme Padang Gurun (10)

“Semoga Tuhan memberkati Anda dan melindungi Anda; semoga Tuhan menyinari Anda dengan wajah-Nya dan memberi Anda kasih karunia; semoga Tuhan menghadapkan wajah-Nya kepada Anda dan memberi Anda damai sejahtera!” (Bilangan 6:24-26) (Baca:  Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)

 

Ma®tin d’hermit.

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

3 COMMENTS

  1. mksh krn pater kerso menulis semuanya ini. entah saya sudah berapa kali membacanya, tapi justru makin menarik. Puji Tuhan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here