BAIK tarekat aktif maupun kontemplatif punya tempat dan fungsi masing-masing dalam Gereja sebagai satu kesatuan Tubuh Kristus sebagaimana diuraikan St. Paulus (1 Korintus 12; Efesus 4; Roma 12). (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Lie Cha Lie Chu Lie Chung Yen (1)
Konsili Vatikan II dalam dekrit mengenai tarekat hidup bakti (Perfectae Caritatis) mengatakan:
“Betapa pun mendesak kebutuhan kerasulan aktif, Tarekat-tarekat yang dibaktikan secara penuh pada kontemplasi haruslah terus memainkan peranan menakjubkan mereka dalam Tubuh Mistik Kristus yang memiliki anggota dengan tugas berbeda-beda; anggota-anggota mereka menyerahkan seluruh waktu mereka kepada Allah semata-mata dalam keheningan dan kesendirian, berdoa terus menerus dan secara sukarela melaksanakan laku-tapa. Mereka mempersembahkan kepada Allah kurban pujian yang istimewa, sehingga membuat Umat Allah bersinar cemerlang dengan buah-buah kekudusan yang melimpah ruah; mereka menggerakkan Umat Allah dengan teladan mereka dan memberi Umat Allah pertumbuhan berkat kesuburan kerasulan mereka yang tersembunyi.”
Paus Benediktus XVI dalam salah satu homili mengibaratkan tarekat kontemplatif sebagai paru-paru dalam Gereja, tersembunyi namun memungkinkan tubuh memproses daya kehidupan.
Dalam Statuta Ordo Karthusian dikatakan:
“Bila kita sungguh-sungguh hidup dalam persatuan dengan Allah, maka budi dan hati kita sama sekali tak akan tertutup dalam diri sendiri, melainkan terbuka penuh merangkul seluruh alam semesta dan misteri Kristus yang telah menyelamatkan alam semesta. Terpisah dari semua, kita bersatu dengan semua, sehingga atas nama semualah kita berdiri di hadirat Allah yang hidup.”
Di antara biara-biara Karthusian, Parkminster yang paling internasional, selain karena berbahasa Inggris, juga karena multi-nasional. Biara Karthusian di USA meski berbahasa Inggris namun tak sepopuler Parkminster, selain karena bangunan biara Parkminster dipandang lebih indah bisa juga karena Parkminster sering menjadi bahan buku, mis. Hear Our Silence (oleh John Skinner), Halfway to Heaven (R.B. Lockhart, diterjemahkan juga dalam banyak bahasa, a.l. Jerman, Botschaft des Schweigens), dan Infinity of Little Hours (Nancy Maguire).
Saat ini (tahun 2007—red) di Parkminster ada 28 penghuni dari 18 negara: Inggris (7), Irlandia (3), Polandia (2), USA (2), Belanda (1), Cekoslowakia (1), Hongaria (1), Perancis (1), Portugal (1), Spanyol (1), Swiss (1), Australia (1), Brasilia (1), Zimbabwe (1), India (1), Indonesia (1), Jepang (1), Vietnam (1). Di Italia ada juga seorang suster/rubiah Karthusian dari Indonesia (usia 58, kaul kekal tahun 1988); sedangkan rahib Karthusian, sedunia baru saya saja dari Indonesia saat ini. Ada yang mau menyusul?
Ordo Karthusian punya ritus Perayaan Ekaristi yang jauh lebih sederhana daripada yang umum kita kenal karena amat hemat kata. Rahib Karthusian yang imam merayakan Misa Kudus dua kali sehari: ikut Misa komunitas di gereja dan mempersembahkan Misa sendirian di kapel pribadi.
Dalam Misa komunitas khas Karthusian, Doa Syukur Agung diucapkan dalam batin dan tanpa kotbah. Doa Damai yang lazim kita kenal amat panjang, “Tuhan Yesus Kristus, Engkau pernah bersabda kepada para rasul-Mu dsb.”, dalam ritus Karthusian hanya singkat, “Tuhan Yesus Kristus anugerahkanlah damai; damai yang tak dapat diberikan oleh dunia” (Yoh 14:27). Itu saja.
Damai Kristus itulah yang saya lihat dihayati oleh para rahib Karthusian di sekeliling saya. St. Bruno menulis demikian, “Apakah anugerah-anugerah ilahi yang disediakan oleh keheningan dan kesendirian padang gurun bagi mereka yang mencintai padang gurun, hanya mereka yang telah mengalamilah yang tahu.”
Dari Italia Selatan St. Bruno menulis demikian kepada para bruder Karthusian di Perancis, “Bersukacitalah karena sempat menyelamatkan diri dari gejolak samudera dunia ini, yang menimbulkan banyak bahaya dan kapal tenggelam. Bersukacitalah karena Anda sekalian telah mencapai lekukan pantai yang terlindung, tenang aman dan damai. Banyak orang ingin sampai ke situ, bahkan banyak orang yang mencoba mencapai tempat itu, namun tak sampai ke sana. Banyak juga yang tidak tinggal menetap di sana meskipun telah mengalami tempat itu karena mereka tak menerima panggilan Tuhan. ”
Pertapaan Karthusian sering disebut sebagai “setengah jalan ke sorga” (Halfway to Heaven), namun agar para rahib Karthusian tak jatuh dalam kesombongan hati, pernah seorang Abbas Ordo Cistersian memuji keluhuran panggilan para Karthusian yang dalam keheningan dan ketersembunyian hidup di hadirat Tuhan, “Mereka yang lain punya panggilan untuk melayani Tuhan, kalian untuk melekat pada-Nya; yang lain punya panggilan untuk percaya kepada Tuhan, mengenal Dia, mencintai Dia dan menghormati Dia; kalian untuk mencicipi Dia, memahami Dia, menjadi akrab dengan Dia, menikmati Dia!”
Tak berhenti di situ saja, ia kemudian menulis, “Namun demikian, …. jauhkanlah segala peninggian diri …. anggaplah diri kalian sebagaimana binatang buas yang musti dikunci erat-erat di kandang, karena tak bisa dijinakkan dengan cara-cara biasa kecuali dengan cara ini……” (William dari Biara St. Thiery dalam The Golden Epistle, abad 12).
Nah itu dia! Setelah dibiarkan berkeliaran selama setengah abad di dunia luar, saya sekarang musti dikunci erat-erat di kandang Parkminster untuk dijinakkan! Sejak saya lahir inilah tempat tinggal saya yang ke-25 dan, bila inilah yang berkenan pada Tuhan, semoga yang terakhir.
Kedekatan dengan Tuhan dalam doa tak selalu berarti para Karthusian hidup dalam kelimpahan hiburan rohani yang serba manis, hangat dan mesra, atau pun kelimpahan inspirasi rohani. Pada bulan kedua saya di sini Romo Prior mengunjungi sel saya dan bertanya mengenai macam-macam, a.l. hidup doa saya. Saya laporkan bahwa sejak datang saya mengalami banyak hiburan rohani, doa penuh semangat, dan seakan Tuhan, Bunda Maria dan para kudus itu berbicara langsung kepada saya.
Beliau pun dengan bahasa Inggris aksen Perancis dan gaya cuek ala Perancis, mengangkat pundak sedikit sambil mecucu dan berkata, “Beuh, panggilan kita adalah mengabdi Tuhan dalam keheningan, maka Tuhan pun biasanya cuma membisu seribu bahasa!”
Itu betul ternyata! Sama halnya seperti hubungan antar kekasih, suami-istri, yang dalam perjalanan waktu semakin tak tergantung pada asmara membara dan romantisme sesaat atau pun rayuan-rayuan manis lagi, para rahib Karthusian pun dipanggil untuk mengandalkan diri pada iman, harapan dan kasih semata-mata, bukan pada hiburan rohani.
Ketika suatu hari Pembimbing Novis datang dan tanya saya, “Bagaimana kabarmu? Doamu?” dan saya menjawab, “Sepi-sepi saja!” ia pun berkata lega, “Good, that’s very good!”
Dan jawaban saya “Wah, Tuhan terasa jauh meninggalkan saya!” justru membuat matanya bersinar-sinar, “Bagus sekali! Itu amat normal bagi kita Karthusian!”
Adik saya, Sr. Caecilia, yang sudah 20an tahun hidup sebagai rubiah di Biara St. Clara, Pacet-Sindanglaya, yang tak sempat saya temui sebelum berangkat ke Inggris, mengirim fax demikian, “Memang ada rasa kecewa juga … tetapi tak apalah… nanti kita bertemu di surga saja ya? Ha ha ha ya kalau langsung masuk surga, kalau harus lewat api penyucian dulu khan lamaaa sekali … ha ha ha!”
Begitu pula ada seorang tokoh Katolik awam menyalami demikian ketika berpisah dengan saya, “Sampai jumpa di sorga ya Romo!”
Doa permohonan yang dipanjatkan setiap hari oleh para Karthusian sedunia bagi keluarga, saudara, teman dan handai-taulan pun berbunyi demikian, “Karuniakanlah anugerah-anugerah hidup abadi kepada mereka.” (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Dari Kaul Privat ke Kaul Publik Menjadi Eremit Diosesan KAS (1)
Itu pulalah yang spontan muncul dalam pikiran saya bilamana mengenangkan Anda sekalian. Kita tak sempat bertemu lama dan tinggal bersama cukup lama di dunia ini, semoga di keabadian kita berjumpa kembali dalam kepenuhan Kasih Allah. Amin.
Hanya saja, lama kelamaan, setelah beberapa saat di pertapaan ini, saya sendiri jadi tak berpikir lagi akan sorga. Tentu saja saya tetap mendoakan sorga bagi Anda sekalian, kalau bisa sudah mulai di dunia sini. Namun bagi saya sendiri, saya tak ingin apa-apa kecuali apa yang berkenan di hati Tuhan, bahkan seandainya pun itu berarti pintu sorga tertutup untuk saya, atau bahkan seandainya pun saya musti kembali ke ketiadaan, tidak apalah, kalau itu yang berkenan di hati-Nya, bukankah Ia telah menciptakan saya dari ketiadaan juga? Boleh mengabdi Dia semata-mata di sini seturut kehendak-Nya, itu saja sudah cukup.
Saya teringat anak-anak rohani saya yang mencegah saya meninggalkan mereka dengan berkata, “Tinggallah di sini saja, Father! Saya tak butuh ilmu kepandaian Father, tak butuh karunia penyembuhan Father, tak butuh doa-doa Father, tak butuh kotbah dan nasehat Father. Saya hanya menginginkan kehadiran Father semata-mata!” (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan di Malam Pertama (5)
Nah, kini saya merasakan bahwa The Father pun mengatakan hal yang sama kepada saya, Ia tak membutuhkan kuliah saya, kotbah saya, penyembuhan saya, atau pun doa-doa saya, ia hanya ingin saya berdiri di Hadirat-Nya, dalam keheningan, demi Dia semata-mata dan bukan demi apa pun yang dapat Dia anugerahkan kepada saya. Bersama Pemazmur saya hanya bisa berkata, “Berbahagialah mereka yang Kau pilih untuk mendekati-Mu dan tinggal di pelataran-Mu! ” (Mazmur 65/64:5). (Baca: Romo Pertapa Martin Suhartono: Raib Jadi Rahib, Kejutan Setiap Hari (6)
Kredit foto: Biara Khartusian di Parkminster Inggris (Ist)