Romo Wim van der Weiden MSF, Jejak Sekilas di Biara Trappist OCSO Rawaseneng (19)

0
1,339 views
Aksi kocak Romo Wim van der Weiden MSF. (Dok Biara MSF/Wisma Nazareth Yogyakarta)

GARA-gara Gabriel akhirnya masuk menjadi frater MSF, saya sempat ‘dicekal’ beberapa saat di Rawaseneng,” begitu  isi kelakar almarhum Romo Wim van der Weiden MSF yang sering saya dengar.

Namun, kelakar ini justru baru saya ketahui setelah  bertahun-tahun lama  saya meninggalkan Biara MSF Wisma Nazareth dimana saya dulu pernah bergabung masuk.

Inilah sedikit kilas balik jejak singkat Romo Wim di Biara Trappist OCSO di Rawaseneng, Temanggung, Jateng.

Kuliah singkat untuk para rahib

Saya mengenal almarhum Romo Wim,  ketika beliau datang ke Rawaseneng dengan tujuan utama memberi kuliah Kitab Suci Perjanjian Lama kepada para frater rahib Trappist.  Jejak sekilas ini terjadi kurun waktu tahun 1990-an, ketika saat itu saya masih seorang postulan (calon yang menyatakan diri berminat ingin bergabung masuk) rahib Trappist.

Baca juga: Romo Wim van der Weiden MSF, Misionaris MSF Terakhir di Jawa dan Catatan Kecil tentang Misioner (18)

Di mata saya sebagai anak muda di situ, sosok Romo Wim adalah pribadi imam MSF yang amat mengesankan.

Pertemuan-pertemuan lain yang lebih intensif terjadi di tahun-tahun sesudahnya. Saya sudah meninggalkan Rawaseneng dan kemudian menjadi frater muda MSF di Wisma Nazareth di Jl. Kaliurang, Yogyakarta.

Para rahib Trappist di Pertapaan OSCO St. Maria Rawaseneng, Kabupaten Temanggun, Jateng. (Ist)

Pembimbing rohani

Saat menjadi frater mahasiswa di IFT Kentungan dan tinggal di Biara MSF Wisma Nazareth itulah, saya memilih Romo Wim sebagai bapak pembimbing rohani. Sebagai spiritual, beliau amat sabar mendengarkan.

Bimbingan rohani wajib dilakukan setidaknya sekali dalam sebulan di kamar beliau. Dalam formasi spiritual ini, beliau tidak pernah mengambi sikap menyalahkan, namun memberi solusi dan peneguhan.

Romo Wim menjadi pembimbing rohan saya selama kurun waktu tujuh tahun.

Meski menjadi seorang spiritualis,  relasi saya dengan beliau berlangsung  biasa-biasa saja.  Kami berjumpa di refter (ruang makan), gang, ruang rekreasi berjalan normat. Tak ada jarak di antara kami.

Layaknya kebiasaan hidup bersama di banyak di biara, kami selalu makan bersama dan kemudian mencuci piring bersama dan mengatur semua peralatan makan dan kemudian meletakannya di sebuah tempat tertentu.

Sekali waktu, saya protes mengapa sendok dan garpu tidak diletakkan dalam posisi tengkurap agar tetesan air bisa turun ke bawah dan debu tidak masuk ke ‘mulut’ sendok.

Terhadap ‘protes’ dadakan saya dan kebetulan didengar oleh Romo Wim, beliau langsung berucap dengan berkelakar begini: “sama saja  diletakkan begitu. En toch ‘mulut’ sendok nanti akan masuk mulut dengan ‘punggungnya’ ha…ha…ha..,” begituah gurauannya.

Senang bergurau

Beliau sebenarnya senang bergurau dengan para frater muda di biara, sekalipun saat di IFT Kentungan dia benar-benar memposisikan diri sebagai dosen.

Nama baptis saya adalah “Aloysius”, namun beliau suka memanggil saya dengan nama “Gabriel”.

Ketika kemudian saya mundur dari MSF dan kemudian bekerja di Gramedia, saya masih menjalin kontak dengan Romo Wim. Nah, ketika saya sekali waktu berkesempatan mampir dolan ke Wisma Nazareth itu, kalimat kelakar di awal tulisan ini  beliau sampaikan kepada saya.

Maka kami pun tertawa terbahak-bahak gara-gara sekilas jejak di Rawaseneng itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here