Home BERITA Rumahku untuk Pulang

Rumahku untuk Pulang

0
43 views
Hidup berkomunitas dalam Kongregasi Suster-suster Fransiskan Dina atau SFD. (Dok. Sr. Tarsisia Turnip SFD)

SEJAK pertama kali aku merasakan panggilan untuk masuk biara, dalam benakku terbayang sebuah tempat yang tenang dan penuh damai, bagaikan surga kecil di dunia. Aku membayangkan biara sebagai ruang kudus yang dihuni orang-orang yang sudah selesai dengan luka masa lalunya. Tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia dan bebas dari pergulatan batin.

Itulah khayalanku ketika melihat biara dari kejauhan.

Di balik tembok biara

Namun, seperti fajar yang perlahan berganti siang, keindahan yang kubayangkan itu satu per satu disibak oleh kenyataan hidup setelah aku benar-benar melangkah masuk ke dalamnya. Situasi yang kuhadapi membuka mataku bahwa ternyata hidup di biara tidak selalu nyaman dan tenang.

Ada kalanya muncul rasa kecewa yang menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin tempat yang seharusnya menjadi ruang kudus justru mempertemukanku dengan orang-orang yang masih membawa kepingan luka yang belum selesai?

Namun justru di sinilah langkah awal perjalananku dimulai. Aku dihadapkan bukan hanya pada lukaku sendiri, tetapi juga pada luka orang lain.

Perlahan, aku mendengar panggilan yang tak bisa dijelaskan dengan logika: sebuah bisikan lembut yang menyadarkanku bahwa biara bukanlah tempat untuk mencari rasa aman.

Aku datang bukan sebagai pribadi yang sudah sembuh, melainkan sebagai seorang peziarah yang rapuh, yang sedang mencari cahaya di tengah kegelapan.

Dalam kehidupan komunitas yang sering kali penuh dinamika, aku dipaksa untuk keluar dari zona nyaman. Kadang aku merasa sendiri, tak dimengerti, bahkan terluka kembali oleh mereka yang juga memanggul luka. Tetapi justru di ruang inilah aku menyaksikan bagaimana Tuhan bekerja melalui ketidaksempurnaan kami.

Penulis berpose di bangunan Graha Bunda Maria Annai Velangkanni di Kota Medan, Sumut. (Dok. Sr. Tarsisia Turnip SFD)

Aku belajar bahwa luka tidak untuk diabaikan, ditolak, atau disembunyikan di balik jubah suci. Luka adalah bagian kisah yang Tuhan ingin ubah menjadi berkat yang luar biasa.

Aku belajar bahwa komunitas bukanlah tempat yang ideal, tetapi tempat yang nyata. Tempat di mana aku belajar mencintai tanpa syarat melalui pengampunan, kesabaran, dan kesetiaan untuk tetap tinggal bersama-Nya, meski terkadang aku ingin lari dari kenyataan. Komunitas adalah cermin yang memantulkan diriku apa adanya: bukan pribadi yang sempurna, tetapi pribadi yang tetap dikasihi.

Inilah rumahku sekarang

Di tengah segala dinamika itu, aku mulai merasakan bahwa inilah rumahku.

Rumah bukan karena semuanya baik-baik saja, melainkan karena komunitas inilah tempatku untuk pulang-pulang kepada diriku sendiri, kepada Dia yang memanggilku, dan kepada sesama yang dipulihkan-Nya untuk berjalan bersamaku.

Biara bukanlah tempat pelarian dari luka, tetapi ruang suci di mana luka-luka itu diolah bersama dalam terang kasih-Nya.

Komunitas bukan tempat orang-orang yang sudah selesai dengan masa lalunya, melainkan tempat di mana kami bersama-sama mau berproses.

Menemukan makna

Dalam keheningan aku menemukan arti pulang:

  • Pulang adalah ketika aku merasa diterima meski aku belum sempurna.
  • Pulang adalah ketika aku berani membuka diri, mengampuni, dan membiarkan Tuhan bekerja dalam kerapuhanku.
  • Pulang adalah ketika aku berhenti menuntut kesempurnaan dari orang lain, dan mulai menumbuhkan kasih yang lahir dari luka yang telah disembuhkan oleh-Nya.
Para Suster kelompok yunior anggota Kongregasi SFD bersama-sama diajak mengolah perjalanan hidup dalam terang iman dan pengharapan. (Sr. Tarsisia Turnip SFD)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here