Sabtu, 6 Maret 2021: Hati Remuk Redam tak Akan Dipandang Hina

0
842 views
Ilustrasi - Menikah dalam gelap. (ist)

Bacaan I: Mi 7:14-15.18-20
Injil: Luk 15:1-3.11-32

“APA yang harus aku lakukan? Anakku mau menikah, tetapi dia tidak mengajak bicara denganku sama sekali?,” kata seorang ibu.

“Sekarang dia tinggal di mana?,” tanyaku.

“Dia tinggal sama bapaknya dan ibu tirinya,” kata ibu itu.

“Dia lebih mengakui ibu tirinya sebagai ibu daripada aku,” kata ibu itu dengan sedih.

“Saat ini, nomer HP ku diblokir, hingga tidak bisa berkomunikasi sama sekali dengannya,” kata ibu melanjutkan.

“Saya sangat sedih, tetapi tidak bisa berbuat apa pun,” kata ibu itu.

“Ibu tahu kapan pelaksanaan pernikahannya?,” tanyaku

“Hari Sabtu depan dalam misa di greja paroki sebelah,” jawabnya.

“Ibu harus datang, ikut misa dan doakan anak ibu. Duduklah dengan umat yang lain,” usulku padanya.

“Apakah dia tidak akan semakin marah?,” tanya ibu itu padaku.

“Ibu yang melahirkan dia, di hari bahagianya ibu berhak dan berkewajiban memberi doa restu,” kataku.

“Apakah saya kuat?,” tanyanya dengan sedih.

“Kalau engkau mencintai anakmu, pasti kuat dan rahmat Allah akan tercurah di hatimu,” kataku menyakinkannya.

Dua pekan kemudian ibu itu datang, dan menceritakan betapa hatinya menjadi ringan dan dipenuhi rasa damai ketika dia duduk berlutut bersama umat yang lain dalam pernikahaan anaknya.

Meski yang mendampingi di depan altar bukan dirinya, namun bapak dan perempuan yang telah merusak rumah tangganya.

“Saya merasa lega dan tidak ada rasa kecewa atau pun marah pada anakku. Yang ada di hatiku hanyalah rasa syukur sudah melahirkan dia, mendidik dia, membesarkan dia, semoga dia bahagia dengan pilahannya,” kata ibu itu kepadaku.

“Dengan ibu datang pada pengukuhan janji pernikahan anak ibu, maka ibu sudah menunjukkan pada anak ibu, dan kepada siapa pun, bahwa ibu adalah ibu sejati bagi anak ibu dan mencintainya dengan tulus hati.

Cinta sejati seperti itu ibu milikki, karena Tuhan kita Yesus Kristus telah memberi contoh kepada kita. Demi cinta-Nya pada kita manusia yang berdosa ini, Dia rela terluka dan mati di salib,” kataku.

Cinta sejati itu melepaskan marah dan melimpahkan berkat pengampunan.

Pengampunan itu menghidupkan seperti yang dialami oleh anak bungsu yang telah pergi ke negeri jauh dengan menghamburkan harta warisan dan berkat kehidupan.

Kuasa kasih Bapa yang menyambut datangnya anak bungsu adalah bukti betapa berharganya kita manusia di hadapan Bapa.

Sebesar apa pun dosa kita jika kita mau kembali kepada-Nya, Dia pasti menyambutnya.

Setelah tiga tahun berlalu, anak tadi menemui ibunya bersama anak dan isterinya. Mereka datang dan dengan hati terbuka ibu tadi menyambutnya.

Kata ibu itu dalam hati, jika saya tidak datang waktu di pernikahan di gereja itu, anakku belum tentu saat ini mau datang menjumpaiku.

Tuhan telah mengajarku untuk mencintai dengan tulus hati.

Apakah kita berani membuang amarah dan dendam lalu menggantinya dengan pengampunan bagi orang yang telah melukai hati kita?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here