TAHUN ini, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015 mengambil tema pokok yakni “Keluarga: Sukacita Injil – Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk”. (Baca: SAGKI 2015: Berterima Kasih pada Keluarga (2)
Keluarga, kata Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo, adalah locus (tempat, lokasi) dimana setiap anggotanya –-apakah itu ayah, ibu dan anak-anak mereka– masing-masing diharapkan bisa tumbuh dan berkembang hingga akhirnya menjadi pribadi-pribadi yang dewasa, matang. “Dan tak kalah penting juga punya watak kepribadian yang mulia,” tandasnya Uskup Agung Jakarta ini.
Penegasan ini mengemuka dalam jumpa pers di Kantor KWI Jl. Cut Meutia, Jakarta Pusat, Jumat (30/10) siang dimana jajaran KWI menjelaskan ‘duduk perkara’ sekaligus latar belakang diadakannya hajatan iman bernama Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015.
Tema keluarga
Mengapa tema keluarga menjadi penting dalam SAGKI 2015 ini? Menurut Uskup Agung Jakarta ini, kalau bicara tentang ‘sosok ideal’ keluarga, maka memang itulah yang diinginkan Gereja Katolik pada umumnya, termasuk Gereja Katolik Indonesia.
Namun, kalau bicara fakta dan realitas yang terjadi di masyarakat, maka ‘sosok ideal’ keluarga (katolik) seperti gambaran di atas itu sangat sulit ditemui. Ibarat jauh dari panggang api, maka yang terjadi di masyarakat justru ada begitu banyak keluarga –termasuk keluarga-keluarga katolik—yang tidak bisa berkembang seideal seperti yang diharapkan.
Di situ, kata Mgr. Ignatius Suharyo, ada kisah perceraian. Lalu ada kenyataan bahwa ada begitu banyak keluarga hidup dalam suasana pas-pasan: miskin material dan miskin berkesempatan untuk bisa berkembang tumbuh layaknya sosok keluarga ideal yang diharapkan Gereja dan Masyarakat.
“Kita bisa membayangkan bahwa di Jakarta ini saja ada begitu banyak keluarga yang untuk bisa tidur pun terpaksa harus bergantian. Hanya punya satu dipan di rumah, maka ayah-ibu-anak harus bergantian tidur di kamar yang sempit karena memang lahan rumahnya juga sempit,” terang Uskup Agung Jakarta ini.
Keadaaan lebih memprihatinkan juga terjadi di banyak tempat. Misalnya di Keuskupan Larantuka di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Flores, dimana banyak keluarga katolik dan lainnya terpaksa harus mau ‘merelakan’ anggota keluarganya menjadi buruh migran di negeri jiran untuk keberlangsungan hidup. Maka di situ ada banyak hal yang memprihatinkan terjadi, termasuk di antara kekerasan seksual dalam keluarga.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, kata Mgr. Suharyo, persoalan eksistensial dalam keluarga juga terbentang lebar. Banyak anak-anak menjadi ‘korban’ kesibukan orangtuanya yang harus bekerja dan menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. “Sementara itu, anak-anak mereka benar-benar menjadi ‘anak pembantu’ karena proses pendidikannya tidak ada di tangan orangtua sendiri,” kata Mgr. Suharyo menggambarkan bagaimana pentingnya isu keluarga ini menjadi pokok bahasan dalam SAGKI 2015. (Baca: SAGKI 2105: Inilah SAGKI ke-4 Sejak Sidang KWI-Umat Tahun 1995 (9)
Kredit foto: Pipit Prahoro