Sakit Kanker Lidah, Berkomunikasi Hanya dengan Kedipan Mata

0
221 views
Ilustrasi: (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Jumat, 7 Januari 2022.

Tema: Kepasrahan.

Bacaan

  • 1 Yoh. 5: 5 – 13.
  • Lk. 5: 12- 16.

“MO, doakan suami saya ya. Sudah tiga tahun ini tidak bisa ke mana-mana. Terbaring sakit dan sudah tidak bisa apa-apa,” curhat ibu, anggota umat paroki.

“Sakit apa?”

“Kata dokter sih seperti CA lidah,” ungkapnya sendu.

Begitu masuk, terkesan rumahnya tertata rapi. Anak, menantu, dan cucu sudah berkumpul bersama.

“Memang sengaja berkumpul ya?” tanyaku heran.

“Tidak juga. Inilah keadaan kami. Anak saya empat. Sudah berkeluarga semua. Tinggal sekitar sini. Mereka memutuskan setiap sore datang bergiliran.

Saat tertentu bersama-sama untuk sekedar makan malam bersama saya. Tentunya melihat papinya yang terbujur sakit,” kata ibu tersebut.

Tidak ada suasana duka atau sedih. Tetapi suasana pasrah.

Sakitnya sudah lama. Dan memang terkesan tinggal “menunggu waktu” saja.

Si ibu lalu bercerita.

“Empat tahun yang lalu, suami merasa sulit makan. Kalau menelan sakit. Tidak dirasakan. Lama-lama lidahnya bengkak dan berwarna lain.

Dokter memvonis sejenis CA. Kami pun berobat ke mana-mana, tetapi keadaan tidak berubah.

Makanan apa pun dijaga; seturut nasihat dokter. Sekarang makan ya harus pakai selang.

Saya berinisiatif berkeliling di banyak tempat wisata religius, mohon kesembuhan. Saya menghitung hampir semua tempat doa di Jawa telah kami kunjungi.

Perubahan kesehatan tidak begitu nyata. Tetapi ketabahan untuk menghadapi ‘waktu ajal’ tumbuh. Muncul kepasrahan untuk sesuatu yang mungkin terjadi dan itu mulai tumbuh dalam dirinya.

Ia mulai percaya dan belajar berserah.

Berkali-kali ia berkata, ‘Tidak usah merepotkan siapa-siapa lagi. Saya sudah siap menghadap kalau dipanggil Tuhan. Papi minta mami tabah dan anak menantu cucu rukun. Papi sudah siap dipanggil Tuhan kapan pun.’

Beginilah situasi keluarga kami. Keadaan suami sudah seperti itu,” kisah ibu super tabah ini tidak berhenti di sini.

Kami masuk ke ruangannya dan ia memang terbaring membujur.

Ia sudah tidak mampu berkata apa-apa. Sudah mulai muncul bintik-bintik hitam di sekitar mulutnya. Ia hanya memandang. Terkesan tidak cemas. Sebuah pandangan iman yang berserah.

Kami pun berdoa untuk yang terbaik baginya. Dan saya lalu menerimakan Sakramen Perminyakan.

Ia mengerdipkan mata.

“Itu tanda terimakasihnya, Romo,” tutur kata isterinya.

“Tidak gampang menerima bahwa dirinya sakit. Tapi untunglah lama-lama ia menyadari, ada saatnya berhenti memberontak. Sia-sia. Percuma.

Hanya percaya dan berserah membuahkan rasa aman dan nyaman dalam Tuhan.

Apalagi dia sudah mengalami banyak hal dalam hidup. Dari kedudukan yang terendah sampai tertinggi. Juga penghasilan. Lebih dari cukup.

Awalnya, tidak bisa menerima. Marah-marah. Ia berusaha agar sembuh. Sudah banyak biaya. Di mana pun ada berita tentang kuasa penyembuhan atau rumah sakit yang baik, maka itu tidak dilewatinya.

Segala usaha medis dan non medis akhirnya sia-sia. Ia menyadari dan tidak ingin menyusahkan keluarga. Buang-buang uang. Ia mulai berdamai dengan dirinya, bersahabat dengan penyakitnya. Kami sungguh diberkati. Hidup kami lebih dari cukup,” papar sang isteri.

Suaminya dulu aktif di paroki. Ia legioner.

Jumat Agung tahun lalu, ia mengambil keputusan. Tidak mau lagi berobat ke mana-mana. Kecuali obat penahan sakit.

Ia mulai banyak berdoa. Juga berkanjang dalam Doa Rosario.

“Suami mulai belajar berserah. Akhir-akhir ini, ia begitu yakin akan imannya. Ia percaya akan janji Yesus soal keabadian. Ia tidak mau lagi ke mana-mana. Hanya mengundang romo atau suster untuk berdoa bersama.

Kami tidak tega dan tetap mencoba pengobatan herbal. Suami tetap tidak mau.

Ia berkata, ‘Lebih baik menghadap Tuhan dengan tubuh yang lebih terbebas dari obat. Selalu minum air putih, tidak yang lain. Sudah setahun begini Romo. Suami sudah siap.’

Kami pun menyiapkan diri untuk lebih pasrah dan percaya. Doa tidak mengubah. Doa membuat jiwa tenang. Ia penyegar jiwa. Doa mendekatkannya pada Tuhan.

Ia hanya ingin sendiri di kamar bersama Tuhannya,” kisah ibu ini tentang kondisi suaminya.

Akhirnya, manusia harus sendiri bersama Tuhannya. Sendiri berhadapan dengan Sang Khalik.

Sendiri menuju “perjumpaan”. Bisik batinku.

Iman Yohanes, “Siapakah yang mengalahkan dunia, selain daripada dia yang percaya, bahwa Yesus adalah anak Allah?” ay 5.

Lagi, “Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam anak-Nya.

Tuhan, teguhkan iman Paskah kami. Amin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here