Santiago, Chile: Pastor tak Nikah, Bahkan Orang Ateis pun Suka Menolong

0
1,098 views
Ilustrasi - Menolong agar selamat by ist

PAGI itu, 21 Agustus 2018, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di benua Amerika Selatan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 26 jam.

Rasa gembira memang karena bisa sampai di bagian selatan “ujung bumi”.

Tapi tantangan terbesarku ialah pengetahuan bahasa Spanyol yang cukup parah. Kata yang saya tahu baik sekali waktu itu ialah muchas gracias.

Ketika Anda seorang asing dan sama sekali tidak memahami bahasa di tempat barumu, dunia terasa gelap, sekalipun mata Anda tidak pernah buta.

Situasi seperti ini bisa saja membuat hidup menjadi tidak enak, sekalipun Anda melihat banyak hal menarik di sekitarmu. Ketidaktahuan seperti ini bisa mendatangakan bencana fatal dalam hidup.

Benar apa yang dikatakan oleh Paul Ricoeur: “…Bahasa merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.”

Saya sepakat dengannya. Bahasa adalah syarat pertama bagi manusia untuk berkomunikasi, mengenal sesuatu yang baru dan mengerti apa yang diucapkan oleh orang lain. Ya, bahasa ibarat jalan yang memungkinkan adanya komunikasi, pengetahuan dan pemahaman.    

Sekitar tigan pekan di Santiago, James seorang misionaris setarekat yang sudah puluhan tahun berkelana menabur benih firman di Chile ini membawaku ke sebuah institusi tua bernama ICHIL (Instituto Chileno de la Lengua).

Belajar bahasa Spanyol

ICHIL adalah sebuah institusi bahasa bagi orang yang ingin belajar bahasa Spanyol, Perancis, Inggris, Portugis, dan Jerman.

James memang sudah tidak asing lagi di ICHIL. Kami masuk ke dalamnya dan seorang wanita tua bernama Sonia dan puetrinya bernama Paula keluar dari sebuah ruangan.

Mereka menyapa kami dengan ramah, rileks dan senyuman manis. “Hola Padre James tanto tiempo,” kata mereka.

James membalas sapaan mereka dengan senyuman khasnya. Saya mengamati mereka dan mencoba untuk tersenyum pula  sekalipun tidak mengerti apa yang mereka percakapkan.

Lalu James memperkenalkan saya kepada mereka: “Leo de Jesús teman saya, seorang misionaris baru dari Indonesia.”

Bienvenido a ICHIL, Leo,” kata mereka.

Muchas gracias,” sahutku.

Sonia dan Paula sangat ramah, rileks dan cepat akrab. Rasa-rasanya langsung menjadi kerasan sekalipun belum mengerti apa-apa. Sonia dan Paula adalah pemilik institusi sekaligus pengajar.

Menurut cerita, pemilik institusi ini menganut paham komunis. Ketika Chile dikuasai oleh rezim otoriter Presiden Pinochet yang anti kaum sosialis-kiri dan komunis selama 17 tahun, mereka mengasingkan diri ke Jerman.

Saya tidak mengerti mengapa James bisa membawa semua imam dan frater harus belajar bahasa di institusi yang pemiliknya beraliran komunis?

  • Bukankah kaum beragama dan komunis-ateis selalu bertentangan bahkan bermusuhan?
  • Bukankah pencetus ide komunis pernah menyerang kaum beragama dengan pukulan yang sangat keras bahwa agama adalah opium masyarakat?
  • Bukankah kolega dari kaum komunis juga pernah menyerang bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia, Tuhan tidak ada dan Tuhan telah mati?

Atau barangkali institusi ini adalah yang terbaik di Santiago? Bisa saja demikian. Nampaknya, James telah membangun dialog damai dan relasi yang harmonis dengan ICHIL sehingga semua imam, frater bahkan suster-suster asal Timor, Flores dan Sumba pun belajar bahasa Spanyol di institusi ini.

Kami mendaftar di secretariat. Dan kata sekretaris, saya bisa mulai kursus hari Senin. Lalu kami pamit dari ICHIL.

James membawa saya ke toko untuk membeli pakaian dingin, karena Chile sedang dalam puncak musim dingin. Hari Senin pagi-pagi sekali dengan pakaian dingin yang tebal saya ke stasiun kereta menunggu kereta untuk pergi ke institusi. Banyak orang sedang menunggu di sana.

Kereta pun tiba. Saya berebutan dengan orang-orang bule itu untuk naik ke atas gerbong. Syukur saya berhasil. “Biarpun komunikasi tidak nyambung yang terpenting mesti gesit,” pikirku.

Saya tiba di ICHIL.

Terkejut mendengar saya selibat.

Di sana saya bertemu dengan murid-murid lain yang sudah dua bulan mengikuti kursus. Saya memperkenalkan diri kepada mereka bahwa saya seorang misionaris Katolik yang hidup tidak menikah.

Mendengar itu beberapa dari mereka terkejut dan heran lantaran saya tidak menikah. Kemudian saya tahu bahwa mereka ateis. Setelah perkenalan itu, saya masuk ke kelas untuk memulai les. Tiada hari tanpa menghafal dan mengkonjugasi bentuk-bentuk perubahan kata kerja bentuk sekarang (present tense) yang amat rumit.

Setiap jam istirahat saya berbaur dengan teman-teman tadi dan bertanya. Mereka banyak membantu saya menjelaskan cara yang lebih sederhana bagaimana mengkonjugasi kata kerja yang rumit itu.

Mereka orang-orang baik, penuh perhatian dan suka menolong orang lain yang kesulitan. Terkadang mereka bertanya banyak tentang kehidupan seorang imam Katolik yang tidak menikah.

Saya mencoba menjelaskannya. Mereka mengerti dan menghormati pilihan hidup setiap orang. Tidak ada diskusi berat tentang Tuhan ada atau Ia tidak ada; atau orang mati akan selamat atau masuk neraka.

Tidak hanya itu saja, tema lain yang sering kami bahas dalam suasana rileks di ICHIL ialah tentang budaya, pariwisata, makanan khas tiap negara dan kadang melenceng ke tema politik hingga terorisme lantaran mereka tahu banyak kasus teror terjadi di Indonesia.

Saya mencoba mempromosikan kepada mereka tempat-tempat wisata Indonesia seperti Bali, Candi Borobudor, Keraton Yogyakarta, Komodo, Danau Kelimutu, Danau Toba dan Raja Ampat.

Mereka sangat senang dan ingin mengunjungi Indonesia suatu hari nanti. Kami menjadi teman yang cukup akrab.

ICHIL mempunyai keunikan untuk mencairkan kejenuhan para peserta kursus. Misalnya mendatangkan guru untuk melatih para peserta kursus menari tarian khas Chile bernama la Coeca. Selain itu, hampir setiap hari Jumat ICHIL menunjuk salah seorang guru untuk membawa peserta kursus mengunjungi setiap tempat bersejarah di dalam kota Santiago atau pun diluarnya.

Guruku cantik sekali

Yelena adalah guru yang baik dan setia membawa kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu.

Suatu kali guru yang ramah dan cantik ini membawa kami ke museum Pablo Neruda. Ia adalah sastrawan ternama Chile yang pernah memenangkan Nobel Sastra pada tahun 1971. Hal yang amat menarik dan membuat saya gembira berada di museum tersebut ialah di dalam museum itu terdapat beberapa patung kayu dari Pulau Bali yang tersimpan di sana.

“Ternyata Bali-Indonesia sudah terlanjur tenar sejak dahulu kala,” pikirku.

Teman-teman pun datang melihat patung-patung itu dan mereka bilang: “Bali-Indonesia, Bali-Indonesia”.

Kursus sebulan berjalan baik dan sukses. Menurut penilaian direktris kami sudah layak naik ke level kedua. Kata teman-teman, level kedua tingkat kerumitannya lebih sulit dari pada level pertama.

Ternyata benar. Gramatikanya memang lebih ribet dan sulit lantaran ada dua bentuk waktu lampau. Berat memang. Tapi mau bagaimana lagi. Kuingat pepatah tua itu: “Di mana ada kemauan distu pasti ada jalan”.

Tak ada persoalan yang tak terpecahkan, kecuali problem kematian. Hari-hari saya bergelut di kelas dan di rumah untuk mencoba memahami tata bahasa yang rumit tersebut. Suatu pagi sekretaris berkata bahwa saya akan mendapat dua teman kelas baru. Saya merasa senang karena tidak akan sendirian lagi di kelas.

Keesokan harinya saya bertemu dua teman itu. Kami bersalaman. “Saya Leo dari Indonesia”.

“Saya Olga dari Prancis. Saya Junghe dari Korea Selatan”. Kami masuk ke ruang kelas untuk mengikuti les. Guru yang memberi pelajaran pagi itu namanya Cristian.

Lelaki berjenggot ini adalah seorang guru yang tugas pokoknya melatih murid-murid bercakap-cakap. Karena Cristian baru pertama kali masuk kelas, maka ia meminta kami untuk memperkenalkan diri: nama, asal negara, pekerjaan, pandangan politik dan aliran kepercayaan.

Lelaki kok tak menikah?

Cristian meminta Olga dan Junghe mulai lebih dulu. Proses perkenalan mereka berjalan sangat cair. Cristian memuji mereka gramatika mereka cukup baik.

Ternyata Olga dan Junghe sudah cukup mengenal baik tata bahasa Spanyol lantaran mereka pernah kursus di negaranya masing-masing sebelum ke Chile.

Tujuan mereka ke ICHIL hanya untuk praktik berbicara, setelahnya mencari pekerjaan.

Tiba giliranku memperkenalkan diri. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya seorang misionaris Katolik yang tidak menikah.

Kedua cewek cantik itu sungguh terkejut dan heran. “Sesuatu yang irasional dan tidak normal secara biologis,” kata mereka.

Olga dan Junghe tidak tahu tentang imam dan misionaris.

Mereka adalah ateis. Rasanya sulit memang untuk meyakinkan keduanya. Tapi saya mencoba menjelaskan kepada mereka cara hidup seorang imam dan kaum religius Katolik yang hidup tidak menikah.

Saya mengatakan kepada mereka bahwa ini adalah pilihan bebas saya dan saya sangat bahagia dengan pilihan ini. Mereka akhirnya mengerti dan menghargainya sebagai suatu pilihan yang baik.

Di dalam kelas maupun saat istirahat Junghe dan Olga selalu membantuku kalau saya mulai pusing dan bingung mengkonjugasi kata kerja yang sangat rumit.

Mereka sangat baik, komunikatif dan suka menolong.

Nasi goreng di Chile

Kebiasaan paling unik di ICHIL ialah setiap akhir bulan setelah ujian dan menjelang penerimaan hasil ujian setiap siswa diwajibkan untuk membawa masakan khas dari negaranya masing-masing. Tujuannya sederhana yakni untuk makan siang bersama dengan seluruh peserta kursus dan saling mengenal makanan khas dari setiap negara.

Untuk itu, setiap akhir bulan saya selalu dibantu oleh seorang senior namanya Pater Juventus Kota.

Pria asal Ende yang sudah puluhan tahun mengabdi di Chile dan sangat lihai memperdayakan lawan dalam lapangan badminton ini cukup jenius dalam meracik bumbu dan mengolah hidangan yang lezat.

Hasil olahannya memang tidak berbeda jauh dengan rumah makan Padang yang tersebar di Tanahair.

Memang terbukti. Setiap hidangan khas Indonesia (mie ayam dan nasi goreng) yang kubawa ke ICHIL selalu ludes dilahap oleh teman-teman.

“Mudah-mudahan mereka melahapnya sampai habis bukan karena mereka benar-benar lapar melainkan karena kelezatannya yang sungguh menggoda lidah mereka,” kataku dalam hati.

Ya, mereka semua sangat senang setelah mencicipi makanan Indonesia.

Biasanya, sesudah kembali ke rumah tuan Juventus bertanya: “Bagaimana makanannya habis kow?”.

“Ya selalu ludes kaa… Tangan siapa dulu,” jawabku sambil kelakar.

Perjamuan persaudaraan dan susana keakraban setiap akhir bulan di ICHIL dengan anggur Santa Helena memang selalu menarik, indah dan menyenangkan.

Kata Pengkotbah: “Segala sesuatu di kolong langit ini ada waktunya”.

Ada waktu untuk memulai dan ada waktu untuk mengakhiri. Setelah bergelut selama empat bulan di institusi itu, kami dinyatakan layak untuk tamat. Saya merasa senang karena walaupun cukup merayap dan kepala pening tapi hasil akhirnya tamat juga. Bagiku, tamat dan bisa tahu sedikit itu yang terpenting.

“Jika kamu tahu terlalu banyak, kamu hanya akan jadi bingung”, kata filsuf Slavoj Zizek.

Ya, lebih baik tahu sedikit dari pada tahu banyak tetapi kemudian jadi bingung itu juga tidak enak. Untuk tahu yang lebih pasti kita mesti memulainya sedikit demi sedikit melalui proses belajar dari waktu ke waktu selagi masih hidup.

Memetik pelajaran

Ada beberapa hal penting dari pengalaman kursus ini.

Pertama, tentu pengetahuan baru tentang bahasa asing walaupun masih sangat sedikit dan amatiran. Tapi dengan sedikit pengetahuan yang kudapat dari ICHIL setidaknya bisa membuka jalan bagiku untuk mulai berkomunikasi dengan siapa saja yang kujumpai dan mengerti apa yang dikatakan oleh orang lain sekalipun hanya satu dua kalimat.

Kedua, kursus ini tidak hanya memberi pengetahuan bahasa kepada para peserta melainkan juga menanamkan nilai-nilai kemanusian: persaudaraan yang akrab dan hangat antara teman-teman yang tidak memiliki keyakinan akan Tuhan dengan misionaris yang adalah hambaNya, rasa saling menghormati dan sikap saling membantu di antara peserta sekalipun berbeda latar belakang budaya, ras dan bahasa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here