SEBAGIAN besar wilayah di Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh suku Batak.
Menurut KBBI, kata “Batak” berarti petualang atau pengembara. Itu karena ada suku Batak yang suka pergi dan kemudian pindah meninggalkan tempat kelahirannya (merantau) ke tempat lain.
Kata “Batak” juga dapat berarti suatu golongan atau keturunan dari nenek moyang yang tinggal di Sumatera Utara yang suka berpetualang atau menjelajah. Mereka disebut suku Batak karena kebiasaan mereka yang suka menjelajah atau musafir.
Orang Batak dikenal karena semangat mereka dan tidak mau menyerah. Orang-orang Batak adalah sosok para pekerja keras dan gigih. Mereka bertahan dalam profesi apa pun, tidak peduli pendapat orang lain; mereka tidak memilih dan tidak gengsi dengan apa yang mereka kerjakan (Aziz, 2023).
Filosofi
Salah satu dari banyak suku di Indonesia, Batak memiliki banyak nilai budaya, adat-istiadat, dan filosofi hidup. Filosofi hidup berfungsi sebagai pedoman hidup. Dibawa oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Mereka bertindak berdasarkan falsafah hidup ini.
“Annakon hi do hamoraon di au” merupakan salah satu falsafah terkenal suku Batak Toba Itu memiliki makna yang signifikan bagi pikiran, adat-istiadat, dan cara hidup masyarakat Batak Toba secara keseluruhan (Aziz, 2023).
Dengan fokus pada sahala, filosofi hidup orang Toba terdiri dari hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Ungkapan itu merupakan tingkatan hidup dari nilai-nilai budaya Batak Toba.
Itu mau mengatakan bahwa seseorang harus mencapai keberhasilan surgawi dan duniawi untuk mendapatkan kekuatan nyata. Juga agar mampu menjadikan dirinya orang penting dan kuat.
Namun, ketiga hal yang disebutkan dalam sahala adalah kualitas yang dapat diperoleh. Mencari harta yang banyak dimotivasi oleh nilai budaya Batak Toba yang dikenal sebagai hamoraon atau kekayaan.
Ketika mencari harta yang banyak, kehadiran anak dalam keluarga Batak Toba memainkan peran penting (Astuti, 2019).
Sejarah masuknya Protestan dan Katolik di kalangan Suku Batak
Pada tahun 1861, gelombang pertama para misionaris dari Jerman tiba di kawasan sebuah lembah di sekitar Danau Toba. Sejak berada di Toba, maka Dr. Ludwig Ingwer Nommensen kemudian mendirikan sebuah misi Kristen. Ini terjadi pada tahun 1881.
Penerjemahan Kitab Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba pertama kali dilakukan oleh Nommensen sendiri pada tahun 1869. Sedangkan, penerjemahan Kitab Perjanjian Lama baru selesai tahun 1891. Dikerjakan oleh P. Johannsen.
Di Medan pada tahun 1893, teks terjemahan itu dicetak dalam huruf Latin. Terjemahan ini, menurut HO Voorma, tidak mudah dibaca karena ragam bahasanya dikesankan agak kaku. Juga terdengar “aneh” menurut dan dalam Bahasa Batak.
Misi Katolik oleh misionaris Fransiskan Kapusin
Imam misionaris Kapusian pertama yang datang di Tanah Batak adalah Pastor Sybrandus van Rossum OFMCap. Ia tiba di Balige sekitar tahun 1900-an. Kedatangannya menandakan dimulainya Misi Katolik di Tanah Batak. Dengan cepat, masyarakat Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan sebagian Batak Angkola menjadi Katolik sebagai identitas budaya.
Banyak orang Batak tidak lagi menentang pemerintahan kolonial saat itu, karena kolonialisme Hindia-Belanda sedang bangkit. Orang Batak Toba mengakhiri perlawanan gerilya mereka pada tahun 1907, setelah Sisingamangaraja XII, pemimpin mereka yang kharismatik, meninggal dunia (Uli, 2009).
Penyebaran agama Kristen Protestan di Tanah Batak berlangsung lama. Itu karena disebabkan adanya pertentangan budaya dengan karakteristik agama Protestan yang lebih mengutamakan Kitab Suci sebagai sumber utama penyebaran iman.
Sedangkan penyebaran Misi Katolik oleh Pastor Sybrandus OFMCap cukup diterima oleh masyarakat lokal, karena menjungjung tinggi keraifan lokal serta mempertahankan tradisi suci adat-istiadat masyarakat Batak.
Terlihat hingga saat ini banyaknya model arsitektur gereja-gereja Katolik memiliki ornament-ornamen khas budaya Batak. Ornamen dan desain ini menunjukkan bahwa bagi ajaran Katolik sudah terlihat begitu universal; menerima semua suku dalam satu belas kasih Tuhan.
Salah seorang umat Katolik kepada penulis mengatakan. Iman Katolik begitu hangat di dalam kekeluargaan. Setiap pergi ke gereja Katolik, mereka merasa tidak ”tertekan” karena harus memberikan sumbangan atau persepuluhan besar ke Gereja karena kondisi keuangan mereka juga sangat terbatas.
Mereka merasa dibantu oleh Gereja Katolik, karena faktor kehidupan mereka juga di kampung begitu sulit. (Selesai)
Sumber acuan:
- Sihombing, AA (2018), Mengenal Budaya Batak Toba melalui Falsafah “Dalihan na tolu” (Perspektif kohesi dan kerukunan), Jurnal Lektur Keagamaan, 16 (2), hlm. 347-371.
- Astuti, S (2019), Eksplorasi Etnomatematika Kain Ulos Batak Toba untuk Mengungkap Nilai Filosofi Konsep Matematika, Jurnal MathEducation Nusantara, 2 (1), hlm. 45-50.
- Kozok, Uli (2009), Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Jakarta: Gramedia.
Baca juga: Sejarah Bangsa Batak, Penyebaran dan Filosofinya: Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir (1)