Sejarah Keuskupan Manado: Kawatak Desa 100% Katolik, Gereja tanpa Dinding Warisan Pastor Freds Tawaluyan Pr

0
1,473 views
Ilustrasi: Hutan pinus di kaki Gunung Soputan (Courtesy of Alan, exploremanado.com)

DI Keuskupan Manado ada dua desa yang dikenal sebagai 100 persen katolik. Yang satu adalah Desa Kroit di Paroki Tompaso Baru dan yang satunya lagi Desa Kawatak di Paroki Langowan.

Saat hari libur nasional tanggal merah, 29 Mei Hari Raya Waisak, saya diajak berziarah ke KawataK oleh umat Wilayah Rohani St. Andreas Bahu, Paroki St. Josep, Kleak.

Saya sempat singgah di rumah kepala desa lama Bapak Jan Wangko dan saya bertanya bagaimana ceritanya sehingga Kawatak ini bisa 100 persen katolik? Perlu diketahui bahwa lurah yang sekarang adalah anak dari bapak itu. Jadi menurun.

100 Katolik

Mungkin karena 100 persen katolik, maka mudah diatur, toh semua masyarakat adalah umatnya sendiri.

Bapak Jan Wangko bercerita demikian.

Desa Kawatak inii  terletak di daerah persawahan dan perbukitan. Letaknya di kaki Bukit Kawatak yang  memanjang dan menaungi daerah itu dengan pohon–pohon yang lebat, lestari terawat karena menjadi hutan lindung. Dulunya, kata bapak itu, kawasan itu merupakan tempat pondok–pondok yang ditempati oleh orang–orang dari pelbagai kampung.

Sekitar tahun 1925 ada seorang pensiunan tentara bernama Bapak Paslima yang selesai tugas di Jawa  lalu ia pulang ke kampung dan tinggal di Kawatak.  Ia mulai mengajari orang–orang di situ pelajaran agama Katolik. Kalau melihat namanya, mungkin bapak itu berasal dari Ambon dan bernama Patilima, sedangkan isterinya katanya dari Jawa Barat dan kemudia minta dibaptis masuk katolik.

Bapak Jan Wangko mengatakan bahwa memang dia orang Ambon dan namanya diganti Paslima.

Saya mengatakan bahwa pada tahun–tahun itu pastor di Minahasa sudah dilayani dari tarekat MSC, yang sebelumnya dilayani oleh pastor SJ.

Menurut cacatan sejarah, pastor MSC pertama yang menetap di Langowan adalah Pastor Spelz  MSC. Ia mulai berkarya  tanggal 18 Februari 1927. Kalau tahun 1925,  mungkin daerah Langowan masih dilayani oleh pastor MSC dari Tomohon.

Dan pada waktu itu, Bapak Paslima sudah ‘menginjil’ di Kawatak yang membuat daerah itu sekarang ini 100 persen katolik. Memang di ujung kampung ada Gereja Pentekosta, tetapi hanya tiga  keluarga dan sekarang tinggal dua keluarga. Mereka itu pendatang. Demikian kata isteri Bapak Jan Wangko yang duduk di sebelahnya.

Di desa Kawatak yang berada di kaki bukit yang penuh dengan pohon–pohon besar dan ketika mulai sore hari selalu ditutupi awan itu terdapat biara Suster DSY sejak kira -kira 15 tahun lalu. Rumah biara itu begitu  indah, asri, tenang, dan damai. Mungkin bisa ditambahkan juga: bahagia dan sejahtera lahir dan batin.

Ada beberapa kamar untuk menginap dan membuat rekoleksi. Ada pula kamar untuk pastor pembimbing. Di sekeliling rumah biara terdapat tanaman sayur–sayuran, kacang merah, dan cabe. Tanahnya sangat subur tanpa pupuk buatan, karena banyak humus dari dedaunan yang jatuh.

Gereja tanpa dinding

Gereja Kawatak adalah yang paling unik di seluruh Keuskupan Manado. Itu  karena bangunan gereja itu terbuka,  tanpa dinding. Tidak ada pintu dan jendela, karena dinding hanya ada bagian latar belakang altar dan ada ruangan tertutup bagian Sakristi.

Selebihnya adalah gereja terbuka ngeblak begitu saja seakan ingin menyatu dengan alam lingkungan yang serba hijau dan sejuk. Bentuk bangunan menjadi lebih alamiah lagi,  karena tiang-tiang gereja itu dibentuk menyerupai pohon–pohon dengan cabang–cabang dan kulit pohon seperti pohon pinus.

Gereja Pinus

Sering disebut juga Gereja Pinus.

Bangunan geereja itu tidak lain adalah rancangan dan hasil karya dari almarhum Pastor Freds Tawaluyan Pr, yang meninggal hari Kamis tanggal 17 Mei 2018 yang lalu. Ia  menjadi pastor di Langowan sekitar tahun 1992–1995, mungkin lebih lama lagi dari periode itu.

RIP Pastor Fred Tawaluyan Pr Keuskupan Manado. (Komisi Komsos Keuskupan Manado)

Yang pasti ada kisah demikian. Menurut Mgr. Jos Suwatan yang waktu itu baru dua tahun menjadi Uskup di Keuskupan Manado, di tahun 1992 Pastor Freds, sebagai pastor Paroki Langowan, melapor kepada Mgr. Jos bahwa paroki Langowan akan merayakan Yubileum 125 tahun pada tahun 1993.

Uskup Mgr. Jos lalu bertanya: “Darimana kamu tahu?”

Pastor Freds menjawab: “Dari buku–buku permandian pertama Paroki Langowan tahun 1868.  Jadi tahun 1993 sudah 125 tahun.”

Dan atas penyelidikan sejarah dari Pastor Freds Tawaluyan itulah, maka Uskup Manado waktu itu mencanangkan Yubileum Keuskupan Manado ke 125 pada tahun 1993.

Dan tahun ini dengan mudah diingat 150 tahun Yubileum karena tinggal melanjutkan dari yang sebelumnya. Dan yubileum ke depan untuk 175 atau 200 tahun pun dengan lebih mudah diingat dan dirayakan.

Mgr. Jos kemudian juga menceritakan ini. Pastor Jacobus Wagey Pr sebagai pastor zonder membawa dokumen tertulis tulisan tangan dari Bapak Daniel Mandagi yang menceritakan bahwa tahun 1868 itu ia  menulis surat ke Batavia untuk meminta pastor datang ke Minahasa guna membaptis anaknya.

Maka semakin lengkaplah data  yang berasal dari Buku Baptis Langowan yang diperiksa oleh P. Freds dan dokumen surat Daniel Mandagi yang diserahkan oleh P. Wagey.

Dalam upacara pemakaman di Gereja St. Theresia Malalayang telah dibacakan riwayat hidup  Pastor Freds yang ternyata beliau adalah seorang guru yang sudah mengajar selama empat tahun dan kemudian merasa terpanggil menjadi imam.  Ia  dikirim belajar di Seminari Stella Maris Bogor.

Sepertinya bersama Pastor Theo Rumondor MSC dan beberapa calon frater lain, sebelum Seminari Agustinianum di Tomohon berdiri.

Penulis juga bersekolah guru di SPG Bruderan Purworejo, kemudian disekolahkan oleh MSC di Seminari Stella Maris Bogor tahun 1980-1982 oleh Romo JS Sukmana MSC, Provinsial MSC waktu itu. Lalu penulis melanjutkan studi di Seminari Pineleng sampai tahbisan tahun 1990.

Jadi jejak panggilan imamat penulis sepertinya juga  mengikuti  ‘jejak’ Pastor Freds dari belakang. Seperti Freds, penulis juga sekolah guru SD dan ke Stella Maris Bogor dan ke Seminari Pineleng.

Waktu Pastor Freds menjadi Ketua YPK KM (Yayasan Pendidikan Katolik Keuskupan Manado), beberapa kali Pastor Freds mengumpulkan guru–guru dan saya diundang untuk memberikan ceramah tentang spiritualitas guru katolik atau moralitas guru katolik. Pokoknya tema–tema sekitar itu. Mungkin karena Pastor Freds itu berlatar belakang guru, jadi memang ia ada hati untuk bagian pendidikan dan pembinaan. Termasuk juga pendidikan dan pembinaan awam dalam kerasulan awam (kerawam).

Mendesain dan membangun

Ada yang mengatakan bahwa Pastor Freds itu siang malam ke Kawatak waktu membangun Gereja Pinus. Ia  mengukir sendiri tiang–tiang gereja itu supaya mirip dengan batang–batang pohon pinus. Tentu ia dibantu oleh para tukang atau bas yang mencampur semen dan menyusun batu–batu.

Di bagian sudut halaman gereja yang luas itu sudah terhampar batu–batu yang katanya akan dipakai untuk memindahkan makam Bapak Daniel Mandagi yang sekarang ini masih ada di pekuburan umum Langowan.

Menurut Sr. Fransiska Mamahit DSY (asal Desa Kinamang), prakarsa itu dibuat oleh Vikep Langowan, Pastor Lexy Nangoy Pr yang menjadi Pastor Paroki di Ratahan.

Semoga rencana itu terwujud dan kita bisa mengenangkan para perintis iman di situ: Bapak Daniel Mandagi, Pastor Jan de Vries SJ, Pastor Freds Tawaluyan Pr,  Pastor Jacobus Wagey Pr, dan Mgr. Josef Suwatan MSC.

Tanpa nama–nama itu, Perayaan Yubileum kembalinya iman katolik di Keuskupan manado ke-125 dan ke–150 dan selanjutnya (mungkin)  tidak akan pernah terjadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here