Bacaan I: T.Dan 3:25.34-43
Injil: Mat 18:21-35
“SEMUA perlu waktu dan proses, termasuk sikapku denganmu, Dik,” kata seorang bapak kepada adiknya.
“Aku sungguh minta maaf, Mas,” kata seorang ibu yang merupakan adik dari bapak tersebut.
“Iya, saya tidak pernah bisa marah denganmu karena kamu adalah adikku, saudariku yang sangat saya sayangi,” kata bapak itu.
“Maafkan suami saya Mas, jika harus dipolisikan, silahkan,” kata ibu itu.
Suami ibu itu telah mengandaikan sertifikat tanah, dan menjual benda-benda berharga peninggalan orangtua bapak ibu tersebut dengan nilai tebusan yang besar sekali.
“Saya hanya ingin menyelamatkan apa yang semestinya menjadi berkat dari orangtua bagi kita Dik,” kata bapak itu.
“Saya tahu Mas, selama ini Mas tidak mempermasalahkan saya tinggal di rumah peninggalan bapak ibu. Namun suami saya memang tidak tahu diuntung,” katanya.
“Saya prihatin dengan apa yang telah dilakukan suamimu, saya harap kamu sekeluarga bisa bertanggungjawab,” kata bapak itu.
“Iya, Mas, saya akan usahakan,” kata ibu itu.
Kita dengar dalam bacaan Injil: “Tuhan, sampai berapa kalikah aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali? Yesus berkata kepadanya: Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
Bersikap bijak dan tidak mengikuti hawa nafsu untuk marah dan menyalahkan orang lain adalah keutamaan hidup kristiani.
Bapak tadi sebenarnya berkak marah dan bahkan bisa membawa adik iparnya ke jalur hukum. Namun tidak dilakukan, ia mengampuni dan memberi kesempatan untuk bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan.
Kedewasaan hidup kristiani kita terungkap pada kemampuan kita dalam pengampunan kepada orang yang bersalah kepada kita.
Pengampunan yang tulus dan terus-menerus.
Apakah kita menjadi begitu keras dengan orang lain yang bersalah namun menjadi sangat lunak dengan kesalahan diri sendiri?
