Seminari Mertoyudan: Sejarah Vikariat Apostolik Semarang 1942-1961 (10)

0
4,013 views

PADA tahun 1940-1941, terjadi peristiwa besar di Vikariat Apostolik Batavia: berdirinya Vikariat Apostolik Semarang dan pembangunan gedung Seminari Tinggi di Mertoyudan.  Pada 1940, situasi politik dunia sedang digoncang oleh pecahnya Perang Dunia II. Dampak perang itu sampai juga ke Indonesia. Meski demikian, Seminari Menengah St. Petrus Canisius tetap melangsungkan proses pendidikan yang telah berjalan. Pada awal tahun 1941, ketika pembangunan Seminari Mertoyudan sudah selesai, terjadi pertukaran tempat antara Seminari Menengah dan Seminari Tinggi.

Baru satu tahun menempati gedung baru di Mertoyudan, pendidikan Seminari St. Petrus Canisius harus mengalami situasi diaspora karena Jepang datang ke Indonesia dan menaklukan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi itu menyebabkan pengambilalihan gedung-gedung milik orang Belanda ke tangan Jepang, Seminari Mertoyudan termasuk gedung yang dikuasai oleh Jepang.

Seminaris in diaspora

Bagaimana proses pembinaan dilaksanakan di dalam situasi perang tersebut? Proses pendidikan Seminari masih terus berlangsung meski dengan sarana prasarana yang terbatas dan dalam situasi darurat perang. Tempat-tempat yang dijadikan pendidikan Seminari di masa diaspora adalah paroki-paroki dengan pastor parokinya sebagai pembimbing para seminaris.

Paroki-paroki tersebut adalah: Paroki Ganjuran, Ambarawa, Muntilan, Girisonta, Klaten, dan Boro.

Di samping pelajaran akademik yang masih tetap berlangsung, meski sederhana,  pendampingan juga terjadi secara konkret dengan melibatkan para seminaris itu di dalam kegiatan menggereja di paroki-paroki tersebut. Mereka ikut aktif dalam koor paroki, latihan perang, dan mengalami suka duka pasturnya, melihat sendiri betapa berat pekerjaan gembala-gembala paroki pada waktu sulit itu. Situasi diaspora ini berlangsung hingga tahun 1948. Pada situasi diaspora, pendidikan dilakukan tetap dengan memperhatikan kriteria umum pendidikan calon imam yakni dengan penekanan pada tiga bidang pembinaan: kerohanian, intelektualitas, dan juga kepribadian.

Meski pendidikan dilaksanakan di tempat-tempat yang berbeda karena gedung seminari dikuasai oleh Jepang, namun standar pendidikan tetap menjadi prinsip utama dalam melangsungkan pendidikan calon imam. Standar umum pendidikan calon imam mengenai integritas kerohanian (sanctitas), kesehatan-baik jiwa dan raga (sanitas), dan intelektualitas (scientia) pun berlanjut hingga masa diaspora. Para seminaris itu tetap dimasukkan ke dalam kelas-kelas sesuai dengan proses pengajaran sebelum perang.

Enam kelas

Mereka tetap terbagi ke dalam 6 kelas : figura minor, figura maior, grammatica, syntaxis, poesis, dan rhetorica. Masa diaspora berakhir pada tahun 1948 ketika seluruh seminaris dikumpulkan kembali ke Muntilan. Keadaan sesudah tahun 1948 mulai berangsur membaik. Seminari mulai dipindahkan ke Yogyakarta hingga pembangunan Seminari Mertoyudan dimulai kembali dan dapat ditempati sekitar tahun 1951. Mengenai situasi pada tahun-tahun berikut serta pembangunan kembali gedung Seminari Mertoyudan,

Bapak Uskup Mgr. A. Soegijapranata,  SJ memberikan laporan bagi para donatur pembangunan mengenai pentingnya pendidikan calon imam tersebut. Dalam laporan tersebut, Bapak Uskup Mgr. A. Soegijapranata, SJ mengungkapkan bagaimana situasi pasca perang Jepang dan perang Kemerdekaan telah membuat pendidikan calon imam terpaksa ber-diaspora. Mengingat pentingnya pendidikan calon imam bagi umat Katolik dan masyarakat Indonesia pada umumnya, Mgr. A. Soegijapranata, SJ mengetuk hati para donatur untuk membantu membangun kembali gedung seminari di Mertoyudan yang telah dihancurkan selama perang.

Selain menceritakan tentang konteks perlunya gedung seminari untuk melangsungkan proses pendidikan calon imam tersebut, Mgr. A. Soegijopranata, SJ juga mengungkapkan perkembangan jumlah seminaris dari tahun ke tahun. Mengingat perkembangan jumlah seminaris tersebut, pengurus Seminarium Minus merasa perlu mendirikan kembali gedung di Mertoyudan dalam tahun itu juga (tahun 1951). Selain menyampaikan perkembangan jumlah seminaris dari tahun 1946 hingga 1951, Mgr. A. Soegijapranata, SJ juga mengungkapkan bahwa hadirnya lembaga pendidikan calon imam itu (Seminarium Minus St. Petrus Canisius) telah mendidik pemuda pribumi yang memiliki peran tidak sedikit dalam masyarakat dan negara Indonesia yang masih berusia muda belia itu.

Mgr. Soegijapranata juga mengungkapkan tentang dinamika formatio yang diberikan bagi para calon imam di Seminarium Minus St. Petrus Canisius pada tahun-tahun setelah mengalami zaman diaspora hingga tahun 1951. Dengan jelas disebutkan bahwa tujuan khas dari pendidikan di Seminari Menengah St. Petrus Canisius adalah mempersiapkan para seminaris untuk menjadi imam Katolik. Dengan demikian profil imam Katolik yang diharapkan dapat menjadi pemimpin umat sesuai dengan konteks sosial umatnya dan segala macam karakter kebudayaan bangsa Indonesia mulai dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Mengingat pentingnya Seminari Menengah bagi pendidikan calon imam Katolik di Indonesia, maka pihak Keuskupan Agung Semarang pun berjuang memperoleh pengakuan Pemerintah bagi kelangsungan proses pendidikan. Hal itu diupayakan agar para lulusan seminari memperoleh ijazah yang diakui oleh negara pula. Seminari Menengah Mertoyudan mendapatkan persamaan dengan SMP bagian A dan SMA bagian A pada tahun 1957.

Pada tahun-tahun  itu pula Seminari Menengah St. Petrus Canisius mulai memiliki logo (lambang) yang memuat visi misi pembinaan. Lebih tepatnya, logo itu muncul pada tahun 1957 dalam sebuah lomba pembuatan logo seminari yang diikuti oleh para seminaris. Logo yang dibuat oleh seorang seminaris kelas Grammatica (kelas III) bernama Gerardus Majella Widodo (kelak Romo Gerardus Widyosuwondo, MSC) akhirnya terpilih untuk dinyatakan sebagai logo Seminari Menengah St. Petrus Canisius.

Sejak tahun 1955, Seminari Menengah Mertoyudan dibagi menjadi 3 golongan kelas yakni Onderbouw (OB) yang terdiri dari kelas Figura Minor dan Figura Maior, Middenbouw (MB) yang terdiri dari kelas grammatica dan syntaxis dan Bovenbouw (BB) yang terdiri dari  kelas Poesis dan Rhetorica. Pada tahun-tahun itu sedang dilakukan pembangunan demi pembangunan gedung seminari.

Pada saat itu, Kapel Seminari Mertoyudan digunakan bersama-sama dengan umat Paroki Mertoyudan. Dan pada tahun 1957-1958, Seminari Menengah Mertoyudan mengadakan Ujian SMP dan SMA. Seminari terpaksa mengambil tenaga-tenaga pengajar baru dari luar. Para bapak guru tersebut dengan kerja keras memompakan pengetahuan dengan kilat. Beberapa pelajaran yang sedikitnya harus dihabiskan selama 2 tahun dipaksakan masuk begitu saja dalam waktu 8 bulan. Hasilnya, pada akhir tahun, ujian SMP sebagian siswa dapat lulus sementara hasil ujian SMA sungguh memuaskan.  (Bersambung)

Artikel terkait:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here