Rabu, 3 September 2025
Kol. 1:1-8
Mzm. 52:10,11
Luk. 4:38-44.
HIDUP manusia di hadapan Tuhan adalah sebuah kenyataan yang penuh dinamika, terang dan gelap, suka dan duka, sehat dan sakit.
Dalam hadirat-Nya, kita menyadari bahwa manusia bukanlah makhluk sempurna. Kita membawa rapuhnya tubuh, kelemahan hati, dan keterbatasan akal.
Penyakit, penderitaan, dan kelemahan tubuh mengingatkan kita bahwa hidup ini sementara.
Kadang kita berusaha melawan dengan obat, doa, atau usaha keras, namun tetap harus menerima bahwa tubuh ini memiliki batas. Justru dalam sakit, kita ditarik untuk mengingat bahwa ada Tuhan yang berkuasa atas hidup dan mati.
Kesembuhan sejati datang bukan hanya dari hilangnya penyakit, tetapi dari hati yang ditopang oleh kasih Allah.
Ada pula, realitas lain yang tak kalah berat: manusia sering jatuh ke dalam dosa. Setan dan roh-roh jahat menggoda kita dengan hal-hal yang sama, kelemahan yang sama, hingga kita merasa terbelenggu.
Berulang kali kita berkata, “Aku tidak akan melakukannya lagi,” tetapi kita jatuh lagi. Inilah realitas kerapuhan manusia, betapa mudahnya kita dikuasai oleh kuasa gelap ketika jauh dari Tuhan.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka.”
Orang-orang tidak hanya datang untuk dirinya sendiri, tetapi juga mengusung orang-orang yang sakit, tak berdaya, dan menderita.
Di hadapan Yesus, mereka mewakili kasih dan kepedulian. Betapa berharganya ketika kita juga mau menjadi sahabat, keluarga, atau saudara yang menolong orang lain datang kepada Tuhan.
Lukas menekankan bahwa Yesus tidak hanya menyembuhkan secara massal, tetapi meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing.
Penyembuhan Yesus selalu bersifat personal, penuh perhatian, dan menyentuh setiap pribadi.
Kita pun disapa oleh kasih-Nya secara unik. Tuhan mengenal sakit kita yang terdalam, baik yang tampak di tubuh maupun luka batin yang tersembunyi.
Penyakit dan penderitaan tidak pernah bisa kita hindari sepenuhnya. Namun ketika dibawa ke hadapan Yesus, ada kesembuhan yang melampaui sekadar fisik: ada damai, ada penghiburan, ada kekuatan untuk menjalani hari-hari.
Tangan Yesus bukan hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga menyentuh hati dan jiwa.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sungguh percaya bahwa Yesus sanggup menyembuhkan bukan hanya tubuhku, tetapi juga hati, relasi, dan jiwaku yang terluka?