“Pergilah! Sesungguhnya, Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” (Luk 10, 3)
PERUTUSAN itu tentu tidak hanya ditujukan kepada 70 murid, tetapi juga ditujukan kepada semua murid-Nya. Medan perutusan seringkali sulit dan tidak mudah bagi para utusan, pewarta dan pelayan-Nya. Hal itu digambarkan dengan domba yang berada di tengah-tengah serigala. Para utusan, pewarta atau pelayan sering dihadapkan pada ancaman atau penolakan. Para murid yang diutus Sang Guru juga tidak diterima di Samaria. Bahkan penghuni Yerusalem pun akhirnya menolak-Nya; bahkan menjatuhkan hukuman mati di kayu salib.
Kisah-kisah penolakan seperti itu juga masih terjadi pada jaman ini: uskup ditolak, imam tidak diterima umat, prodiakon disingkiri. Penolakan bisa terwujud dengan cara kasar atau halus; dengan demo atau surat tertulis; dengan gerutuan atau ketidakpedulian.
Situasi seperti ini menjadi tantangan bagi para utusan, pewarta dan pelayan untuk mempersiapkan dan membekali diri dengan serius, agar mereka semakin dipercaya dan diterima. Banyak paroki mengadakan acara pembekalan bagi pengurus atau pelayan Gereja; para calon imam dan religius pun harus menjalani masa formasi; para neomis juga harus mengikuti acara rekrutmen. Semuanya berkaitan dengan persiapan atau pembekalan agar para utusan makin mampu membawa diri dengan pantas.
Memasuki medan kerasulan tanpa persiapan atau pembekalan adalah eforia sesaat dalam merasul yang cepat nggembos sebelum sampai tujuan. Perintah untuk tidak membawa pundi-pundi, bekal atau kasut bukan untuk mengesampingkan pentingnya pembekalan; tetapi ajakan bagi para utusan untuk menyadari penyertaan Allah sebagai yang utama.
Teman-teman selamat malam. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)