Seruling Anak Petani di Punggung Lembu (Baca: Kerbau) 1

0
481 views
Ilustrasi: Kejamnya perang dan gamangnya manusia menghadapi medan laga dalam film epik Perang Dunia I "The Great War" (Ist)

TIDAK kurang-kurangnya, pemikir ahli susunan masyarakat menajamkan secara hitam putih antara masyarakat yang mendasarkan kebersamaannya pada acuan nilai perekat perkauman. Hingga kolektivitas menjadi kekerabatan gemeinschaft (F. Tonnies, lalu Max Weber) di satu sisi.

Sedang di sisi lain, masyarakat yang mendasarkan diri pada konsensus individu beracuan kesadaran individual.

Dengan merujuk pada nilai yang telah disepakati bersama untuk dicapai. Demi saling damai dan hormat menghormati dalam masyarakat yang dikenal sebagai gesselschaft (atau society).

Menuju kesepakatan bersama

Tidak henti-hentinya pula, studi peradaban mulai dari Toynbee, Huntington; Sorokin maupun Geertz; Denys Lombard -sebagai misal- semua menunjukkan hal berikut.

Yakni, bahwa bila perekat kultural, roh, spirit atau semangat yang mau saling memberi dan saling menghidupi hidup biasa sebagai “ada” atau “being”, maka di sana proses tapak demi tapak hormat pada ke-adab-an menjadi tertenun kuat.

Proses ini adalah proses toleransi hormat pada keragaman penghayatan “being” yang mengacu pada hormat. Juga pemuliaan pada kehidupan itu sendiri. Hasilnya, terwujudkannya peradaban saling membuahi yang kreatif.

Sebaliknya, bila pemilikan menjadi inti utama hasrat hidup – dengan nafsu mau menguasai dan semakin memiliki semuanya dalam penghayatan hidup yang “to have” atau “having”- maka di situ keadaan saling mengerkah.

Juga muncul ketegaan untuk berebut. Demi pemilikan akan membuat keadaan sosial bak kawanan serigala yang saling berebut makan; saling mengerkah dan membunuh demi kelangsungan hidup (homo homini lupus, demikian kata Thomas Hobbes).

Teori negara atau politik tata hidup bersama secara sederhana muncul dari hipotesis ini.

Dibutuhkan kekuatan penjaga ketenetraman dengan hak-hak yang diserahkan warga agar dilindungi dari amuk sesama; lalu dilembagakan dengan hukum yang harus ditaati macam Leviathan.

Atau dibutuhkan konsensus-konsensus menyetujui “aturan main bersama” yang jadi kontrak sepakat untuk ditaati dengan sangsi bagi yang melanggar.

Tetapi dua tesis bermasyarakat di atas disadari lewat pengalaman dan studi bahwa penyusun pokok hidup bersama adalah subyek-subyek diri manusianya.

Melalui pendidikan

Bila lewat pendidikan pencerahan budi dan hati -dengan proses panjang pendidikan hidup- maka diharapkanlah ia mampu membuat sistem dan struktur sosial (hidup bersama) yang cerdas, beradab, dan bernurani pula.

Inilah pendapat kaum mentalis. Juga mereka yang mempercayai pendidikan nilai nurani dan pendidikan pencerdasan budi serta pendidikan kepekaan kepedulian estetis dan religius itu akan “otomatis” menciptakan kondisi sosial saling memuliakan kehidupan dan saling memperkembangkan kemanusiaan.

Kenyataan dibantainya manusia di dalam perang dengan puncak Perang Dunia I dan II -dengan jutaan orang menjadi korban kekerasan sesamanya- membuat proses sadar diri bersama  akan hal ini.

Yakni, bahwa struktur kuasa yang otoriter dan yang menindas serta sistem ekonomi yang pincang antara yang berkapital modal dan yang tidak telah memunculkan pendekatan-pendekatan perubahan struktur masyarakat yang lebih adil, lebih setara politis maupun ekonomis.

Setelah tahapan berabad-abad mentalis dan strukturalis; sesudah kesadaran universal sejagat merumuskan bahasa perlindungan hukum untuk yang paling mudah dilukai dan tega dihabisi -harkat kemanusiaan- maka setelah 10 Desember 1948 (Hari HAM Internasional), orang tetap saja bertanya akan hal ini.

Mengapa masih saja tega saling menghancurkan dan membunuh antar manusia demi survival (kelangsungan hidup)?

Peneliti biologi dan evolusi menjawab dengan seleksi kejam alam kuasa dan yang berkekuatan, maka yang terus akan bisa hidup ya dilakukan dengan cara membunuh yang kecil dan lemah.

Begitu Darwin meringkaskan pendek sahaja, namun telah melecut kesadaran kita dalam visinya tentang apa yang dia istilahkan sebagai survival of the fittest. Siapa yang kuat, itulah yang menang dan mampu bertahan hidup.

Bila demikian, mana sajakah wajah dan wujud kekuatan “gajah-gajah besar” yang membunuh pelanduk-pelanduk kecil yang toh ada yang “terus hidup” karena kecerdasan-nya?

Ilustrasi: Dampak Perang Dunia II adalah jutaan manusia mati. (Ist)

Relasi manusia dalam dunia kerja

Mulailah digarap wujud kekuasaan berbentuk kapital (Marx) di tangan kapitalis. Ini untuk menandingi jalan sejarah yang penentunya adalah menyadarnya roh sadar diri (Hegel).

Menurut Marx, yang menjadi penentu jalan sejarah adalah materi yaitu uang dan relasi pincang pemilikan modal antara yang punya dan sama sekali tidak punya modal kerja.

Diteliti pula mekanisme penugasaan lewat penundukan kesadaran kritis manusia. Karena semua mendewakan komoditi dan semua didagangkan sebagai komoditi (komoditisasi).

Ilustrasi – Para pekerja (Ist)

Mengapa ini bisa terjadi?

Pendidikan penyadaran yang mencerahkan dan membuat nurani dan budi kritis terhadap keadaan ternyata dilumpuhkan.

Terjadi ketika udaran sehari-hari yang dihirup penuh pemberhalaan materi (fetisisme) dan spirit “air hidup yang dibekukan menjadi es” dalam dibendakannya dan dimaterialisasi semuanya menjadi benda-benda (reifikasi George Lukacs).

Pembedaan (reifikasi) ini parah  dan malah menjadi-jadi.

Karena ruang refleksi kritis kesadaran dan ruang menyikapi kritis dalam aksi serta refleksi telah dibekukan dalam ninabobok mempernikmat hidup di nafsu-naluri purba manusia.

Masuk akal hingga Herbert Marcuse dalam bukunya Eros and Civilization (1971) berani menegaskan, dihayatinya lebih prinsip penikmatan (pleasure principle ala Freud) daripada prinsip sadar realis bersikap apa nyatanya dalam reality principle.

Dalam protret kondisi seperti di atas, guru-guru peradaban kesadaran kritis mengajari terus untuk selalu kritis. Juga berani melancarkan kritik terhadap ideologi, agama dan wujud-wujud kuasa yang membekukan kesadaran kritis manusia.

Sementara guru kebijaksanaan cinta kehidupan mengajak menemukan terang di ujung lorong gelap dengan mengajak kembalinya manusia ke jalan fitri religiusitas dan sumber spiritualitas religi-religi. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here