Setelah 25 Desember, Perayaan Natal Baru Sah

0
2,628 views

HARI-hari ini di banyak milis katolik muncul diskusi menarik. Fokus pembicaraannya adalah sebaiknya kita harus bersikap apa dan bagaimana kalau diajak merayakan Natal jauh-jauh hari sebelum tanggal 25 Desember. Sebagai orang katolik, bagaimana kita harus bersikap atas “undangan baik” yang datang dari kantor, teman sejawat, relasi bisnis, instansi pemerintah, atau teman-teman dekat?

Pertanyaan itu mengemuka di banyak milis katolik. Inti pertanyaan mereka: Bagaimana Gereja Katolik menyikapi atas merebaknya kecenderungan masyarakat kristiani di Indonesia yang acap kali “sudah” merayakan Natal jauh-jauh hari sebelum tanggal 25 Desember.

Hingga Sabtu (10/12) ini memang belum ada pernyataan resmi dari institusi gerejani (katolik) menyikapi pertanyaan di atas. Namun, beberapa romo sudah menyampaikan pandangan pribadinya masing-masing atas persoalan di atas.

Secara liturgis, demikian kata seorang romo, tradisi kalender liturgi katolik menyatakan dengan sangat jelas dan gamblang: sebelum tanggal 25 Desember tidak ada “perayaan Natal”. Bahkan misa meriah tanggal 24 Desember pun biasa disebut “Malam Natal” (vigili natalis). Itu berarti, hari-hari sebelum tanggal 25 Desember masih berada dalam suasana Advent yang identik dengan masa-masa pertobatan.

Jadi, arahnya jelas: masak mau pesta Natal di masa Advent? Kiranya gagasan ini mengaju pada satu jawaban tegas: sebaiknya mari kita rayakan Natal setelah tanggal 25 Desember.

Praksis di lapangan

Namun masalahnya sangat konkret dan butuh pendekatan pastoral yang berbeda dengan pendekatan tradisi liturgi. Kalau kantor dimana kita bekerja menyelenggarakan “perayaan Natal” ekumenis bersama anggota jemaat kristen non-katolik, lalu bagaimana kita harus menyikapi hal itu?

Menolak, pasti tidak mungkin karena bisa-bisa sebagai pegawai kita bisa “dikucilkan” dan dianggap tidak toleran dengan semangat kebersamaan kristiani. Memutuskan hadir dalam “perayaan Natal” –sekalipun secara hakiki kita meyakini itu belum saatnya—rupanya membuat kita juga gak nyaman di lubuk hati terdalam.

Seorang romo memberi “nasehat” begini. Terserah pada nurani masing-masing umat katolik. Silakan mereka memutuskan itu sesuai konteks pekerjaan dan lingkungan kerja mereka agar jangan sampai muncul suasana tidak bersahabat yang akhirnya malah merugikan kedua belah pihak.

Saya pribadi cenderung menyampaikan keprihatinan ini kepada lembaga gereja yang “mumpuni” untuk mengeluarkan semacam “fatwa katolik” dalam menyikapi persoalan pastoral ini. Misalnya, KWI resmi mengatakan kepada Panitia Natal nasional agar perayaan Natal diselenggarakan setelah tanggal 25 Desember. Argumen paling fundamental yang harus dikemukakan tentu saja adalah tradisi kalender liturgi.

Memang berbagai persoalan lain akan muncul. Seperti misalnya, kalau perayaan Natal diadakan setelah tanggal 25 Desember, jangan-jangan semua orang sudah pergi liburan dan meninggalkan kantor untuk acara  keluarga dan program tahun baru.  Terhadap kemungkinan ini, ya kita hanya bisa geleng kepala, karena undangan perayaan Natal yang sampai ke tangan kita terpaksa kita beri angggukan kepala –tanda mau hadir—lantaran kita juga ingin libur keluar kota.

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here