Setia dalam Gelap

0
376 views
Ilustrasi -- Pasutri yang saling setia. (Ist)

Renungan Harian
Rabu, 14 April 2021
Bacaan I: Kis. 5: 17-26
Injil: Yoh. 3: 16-21
 
SAYA selalu  terkesan dengan salah satu pasangan suami isteri yang sudah sepuh itu. Beliau berdua selalu menampakkan kemesraan luar biasa.

Kelihatan, bapak itu selalu menjaga isterinya dengan kasih, dan demikian pula ibu itu selalu menjaga suaminya dengan kasih.

Apabila ngobrol dengan beliau setelah misa, dari obrolan itu kelihatan sekali bahwa beliau berdua saling menghormati satu sama lain.

Sebuah rasa hormat yang amat natural bukan dibuat-buat karena di depan pastor.
 
Suatu sore, saya berkunjung ke rumah bapak ibu sepuh itu. Ketika ngobrol di rumah, hal pertama yang saya sampaikan adalah kekaguman saya akan kemesraan beliau berdua.

“Romo, saya bisa seperti ini karena saya punya isteri yang luar biasa. Dia menghormati dan mencintai saya luar biasa,” jawab bapak itu.

“Saya bisa begini karena bapak (suaminya) pejuang hidup yang luar biasa Romo,” kata ibu sembari tersenyum.

“Romo, untuk sampai seperti ini perjuangan panjang, khususnya perjuangan isteri saya. Ibu, biar cerita sendiri Romo,” bapak itu menimpali.
 
“Romo, dulu waktu saya menikah dengan bapak, saya sungguh-sungguh tidak ada cinta. Saya berpikir untuk menikah dengan orang seperti bapak ini, amit-amit jangan terjadi. Tetapi yang itulah Romo “lakon” hidup saya seperti ini.
 
Bapak itu, dari keluarga kaya untuk ukuran di desa kami, dan beliau anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Jadi beliau menjadi anak manja yang luar biasa nakal.

Semua orang desa tahu kelakuan bapak ini Romo. Judi, sabung ayam, main perempuan sudah bukan rahasia lagi untuk kami orang desa.

Banyak perempuan yang menjadi “korban” bapak yang kemudian diselesaikan dengan uang oleh keluarganya.
 
Entah angin dari mana saya dijodohkan dengan bapak, lebih tepatnya saya diambil menantu oleh bapak dan ibu mertua.

Romo, ibu dan bapak saya adalah pembantu di rumah beliau, maka ketika “ndoro” ini mengambil saya untuk menjadi menantunya, orangtua saya tidak punya daya untuk menolak.

Hidup keluarga saya amat bergantung dengan “ndoro” jadi apalah artinya saya  perempuan desa ini.
 
Saat bapak saya bicara bahwa saya diambil menantu, saya menangis sedih, tangis perempuan desa yang tidak berdaya. Amat sakit Romo, jadi orang tidak berdaya.
 
Setelah kami menikah, bapak tidak berubah, tetap dengan kelakuannya. Beliau melihat saya lebih sebagai pembantu dari pada seorang isteri.

Hari-hari saya terasa gelap. Saya selalu mencoba bertahan dan hanya bisa pasrah pada Tuhan, karena mengeluh tidak berguna tidak ada yang mau mendengarkan dan juga tidak akan mengeluarkan saya dari situasi ini.
 
Sampai suatu ketika, bapak sakit cukup parah Romo. Melihat bapak yang sakit tidak berdaya itu, saya amat kasihan.

Saya setiap hari melihat bapak yang gelisah dan mengerang karena sakit, saya tidak tahan. Setiap hari saya merawat beliau, dan berdoa mohon kesembuhan serta berjanji kalau beliau sembuh apa pun saya akan mencintainya dengan sepenuh hati.
 
Doa saya, dikabulkan dan bapak menjadi sembuh. Maka saya melayani beliau dengan penuh cinta.

Dan setelah bapak sembuh, bapak berubah dan mencintai serta hormat sekali dengan saya. Ternyata selama sakit bapak melihat dan merasakan cinta saya, dan berjanji seperti janji saya, he……..he.
 
Romo, sering kami tertawa berdua, dan bersyukur atas apa yang kami alami.

Bapak sering mengatakan untuk bisa melihat cahaya harus mengalami kegelapan yang pekat, dan untuk bisa sampai pada terang, harus menikmati kepekatan itu,” ibu itu bercerita yang sering ditambah oleh suaminya.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Barang siapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.”
 
Bagaimana dengan aku?

Adakah aku berani berjuang dalam gelap menuju terang?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here