Siasat JKN

0
352 views
JKN (Ist)

PROGRAM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Defisit finansial yang dialami BPJS Kesehatan, menjadi penghalang utama implementasi JKN.

Apa yang harus disiasati?

Tujuan program JKN adalah tercapainya UHC (Universal Health Coverage), yaitu sebuah kondisi di mana setiap orang dapat menerima layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa mengalami kesulitan dalam bidang keuangan. Peserta Program JKN pada 1 Juli 2018 telah mencapai 199.133.927 orang atau 79,6% dari seluruh warga negara Indonesia. Semua peserta JKN dilayani di 27.330 Fasilitas Kesehatan (faskes) provider JKN.

Hasil survei PT. Frontier Consulting Grup di tahun 2017 angka kepuasan peserta JKN mencapai 79,5%, sementara indeks kepuasan faskes secara total 75,7%.

Beda Langkah JKN

Dengan demikian, program JKN terbukti sudah dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak warga, sehingga layak diteruskan. Semua pihak harus menyadari, bahwa penyelesaian masalah harus disiasati oleh masing-masing pihak, demi tercapainya UHC dalam sumberdaya finansial yang terbatas.

Terdapat empat pihak yang terlibat dalam proses menuju UHC, yaitu Kemenkes sebagai regulator, dokter dan faskes sebagai pelaksana, BPJS Kesehatan sebagai penjamin biaya dan pasien peserta JKN sebagai penerima manfaat.

Untuk itu, Kemenkes dan semua jajaran dinas kesehatan di daerah harus bertindak sebagai pengatur layanan yang pro-aktif dan antisipatif, bukan sekedar reaktif. Selain itu, Kemenkes berperan sentral untuk mencarikan  tambahan dana dengan berbagai cara, mengatur siasat tarif layanan yang tidak harus ‘hospital base rate’, menggunakan skema pohon tarif, dan mengendalikan lonjakan biaya administratif untuk operasional faskes.

BPJS Kesehatan berperan untuk mengatur siasat pola manfaat layanan kesehatan secara terarah, baik dengan rujukan berjenjang maupun rujuk balik. Para dokter dan tenaga profesional kesehatan berperan untuk siasat melihat kembali pola layanan yang telah dilakukan, terkait aspek prioritas, mutu, dan kompetensi layanan. Peserta JKN dapat berperan dengan lebih memahami hakekat penjaminan biaya layanan dan memprioritaskan kegiatan preventif.

Para dokter dan faskes perlu mengambil langkah yang lebih terencana baik, dalam menuju UHC. Pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (2012), Pasal 8 menegaskan bahwa seorang dokter wajib dalam setiap praktik medisnya, memberikan layanan dengan penghormatan atas martabat manusia.

Manusia yang harus dihormati martabatnya oleh dokter seharusnya adalah segenap peserta JKN lainnya, terutama yang kondisi penyakitnya lebih prioritas untuk mendapatkan penjaminan, bukan sekedar seorang pasien yang sedang dilayani dokter.

Selain itu, pada Pasal 21 menegaskan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Dasar dokter untuk memberikan layanan yang bermutu, terbaik, dan teknologinya terbaru, seharusnya disertai dengan pertimbangan sumberdaya finansial yang tersedia, demi untuk lebih banyak pasien lain yang akan dapat terlayani.

Paradigma profesi dokter haruslah berubah, dari pasien saya menjadi pasien kita, karena layanan harus terintegrasi secara internal dan lintas unit layanan di faskes. Diagnosis haruslah diutamakan dan terapi haruslah yang paling sesuai (diagnosis first and precision medicine).

Sekitar 41% hasil pemeriksaan penunjang medis adalah normal, sebagai salah satu bukti bahwa untuk menegakkan diagnosis, masih banyak dokter yang menggunakan siasat menyingkirkan diagnosis banding yang boros biaya.

Strategi efisiensi juga harus dilakukan faskes, misalnya dengan kajian dan umpan balik kepada para dokter, terutama pasien dengan klaim gagal ataupun selisih bayar negatif, penggunaan sistem dan teknologi informasi, kebijakan pembatasan layanan dokter, baik diagnostik maupun terapi, pemberian insentif dan disinsentif, juga manajeman obat dan alat kesehatan.

Sesuai dengan Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, maka IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai Organisasi Profesi harusnya menjadi rujukan bagi Menteri Kesehatan untuk menetapkan perubahan bukan penurunan standar, karena perubahan kondisi eksternal. IDI seharusnya menyampaikan hasil kajian ilmiah yang terpadu, demi terjadinya perubahan standar layanan dokter yang lebih terjangkau.

Peserta JKN haruslah diedukasi bahwa pada Pasal 19 ayat 2 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, menyebutkan bahwa peserta akan memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan saja. Selain itu, pada Pasal 22 ayat 2 untuk jenis pelayanan yang lain, peserta akan dikenakan urun biaya.

Seperti halnya kriteria kegawatan pasien di UGD yang dijamin BPJS Kesehatan, maka kriteria kebutuhan dasar kesehatan juga harus dibahas, disepakati, dan diputuskan bersama. Hal ini dapat mengacu  pada Pasal 40 Perpres 12/2013 tentang JKN, dalam ayat (5) menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat, diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.

Peserta JKN yang dirawat inap di RS dengan diagnosis sesuai  kriteria kebutuhan dasar kesehatan, maka akan mendapat penjamin penuh dari BPJS Kesehatan. Sebaliknya, peserta JKN yang tidak memenuhi kriteria kebutuhan dasar kesehatan, maka diwajibkan urun biaya sebesar tarif INA CBGs untuk kelompok diagnosis tersebut.

Dengan cara demikian, kendali mutu dan kendali biaya masih tetap dapat dilaksanakan, dengan iuran biaya oleh peserta yang juga tetap terkendali.

Menjadi tanggung jawab kita bersama, agar program JKN terus berkelanjutan dan semakin dirasa manfaatnya oleh seluruh warga Indonesia. Untuk itu, dalam keterbatasan sumberdaya finansial kita semua wajib bersiasat, agar UHC dapat tercapai sesuai target, yaitu sebeleum 1 Januari 2019.

Sudahkah kita siap?

Artikel Kesehatan: MDR-TB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here