Sidang KWI 2015: Mengapa Bernama Sidang Sinodal? (1)

0
1,167 views

SIDANG rutin KWI bersama seluruh fungsionaris, organ lembaga, para staf  berlangsung rutin setiap tahun sekali. Biasanya terjadi di pertengahan bulan November. Namun, selain sidang rutin tahunan, KWI juga menggelar apa yang disebut Sidang Sinodal yang biasanya berlangsung setiap tiga tahun sekali. (Baca: Pembukaan Sidang Sinodal KWI 2015)

Dalam konferensi pers di ujung akhir Sidang Tahunan/Sidang Sinodal 2015 yang berlangsung di Kantor KWI di Jl. Cut Meutia, Jakarta Pusat, hari Kamis (12/1) siang kemarin,  Ketua KWI periode 2015-2018 Mgr. Ignatius Suharyo menjelaskan latar belakang mengapa sidang KWI selang tiga tahunan itu disebut ‘sinodal’.

Berjalan bersama

Berikut ini adalah penjelasan Mgr. Ignatius Suharyo.

Sinodal berasal kata dari bahasa Yunani. Artinya, kata Uskup Agung Jakarta, kurang lebih berjalan bersama menuju tujuan tertentu. Mengapa sidang KWI mengadopsi istilah ‘sinodal’ ini?

Mgr. Suharyo lalu menjelaskan posisi KWI sebagai lembaga ‘koordinatif’ antar Keuskupan. Masing-masing Keuskupan itu mandiri, otonom dalam menjalankan reksa pastoral. “Setiap Uskup langsung bertanggungjawab kepada Vatikan dan bukan kepada KWI,” kata Mgr. Ignatius Suharyo.

Jadi, posisi KWI, katanya kemudian,  bukanlah merupakan sebuah lembaga gereja yang sifatnya ‘super body’ yang mengawasi, memerintah, dan membawahi keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia, melainkan hanya menjadi ‘forum’ (konferensi) agar terjadi koordinasi bagus antar keuskupan.

“Jadi, jangan sampai setiap keuskupan itu berjalan sendiri-sendiri. Melainkan, kita bersama-sama berjalan berbarengan, seiring sejalan melaksanakan misi pastoral gerejani. Untuk keperluan bisa berjalan bersama-bareng dan saling berkoordinasi inilah, kita perlu ‘wadah bersama’ yakni Sidang Sinodal KWI,” terang Mgr. Ignatius Suharyo.

37 Keuskupan + 1 Keuskupan TNI

Di Indonesia ada 37 Keuskupan plus 1 Keuskupan TNI. Dari 37 Keuskupan ini, sampai di bulan November 2015 ini masih ada tiga wilayah keuskupan yang tidak mempunyai Uskup.

Ketiga keuskupan yang mengalami sede vacante  (kosongnya tahta kekuasaan) ini adalah sebagai berikut:

(1) Keuskupan Agung Semarang (KAS),  karena baru saja ditinggalkan oleh Mgr. Johannes Pujasumarta;

(2) Keuskupan Sintang di Kalimantan Barat, karena Uskupnya yakni Mgr. Agustinus Agus telah dimutasi Vatikan menjadi Uskup Agung Keuskupan Pontianak menggantikan posisi Mgr. Hieronimus Bumbun yang pensiun;

(3) Keuskupan Tanjungselor di Provinsi Kalimantan Utara, karena Uskupnya yakni Mgr. Harjosusanto MSF juga telah dimutasi Vatikan menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Samarinda menggantikan posisi kosong yang diwariskan oleh Mgr. Sului MSF yang meninggal dunia.

Keuskupan Sintang, meski tidak punya uskup, masih berada  di bawah Administrator Apostolik yakni Mgr. Agustinus Agus, mantan Uskup Keuskupan Sintang. Demikian pula, Keuskupan Tanjungselor masih di bawah Administrator Apostolik yakni Mgr. Harjosusanto MSF yang juga merupakan mantan Uskup Keuskupan Tanjungselor.

Hanya Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang kali ini benar-benar mengalami sede vacante. Sepeninggal Mgr. Johannes Pujasumarta, KAS kini dibawah koordinasi Vikjen KAS Romo Sukendar.

Kredit foto: Ilustrasi (Yohanes Indra/Dokpen KWI)

PS: Catatan penting mengenai pemaknaan kata ‘sinodal’ bisa dibaca di sini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here