“Soegija”, Bukan Film Perang apalagi Film Agamis (5)

0
5,286 views

LANTARAN mengangkat figur tokoh katolik sekaliber Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegijapranata ke layar lebar, banyak orang lantas bertanya apakah ini film agamis dengan maksud penyebaran iman katolik? Terhadap sentimen negatif dan tudingan miring ini, aktor panggung Sang Raja Monolog Butet Kartaredjasa punya argumennya sendiri.

Menurut anak kandung seniman besar Bagong Kussudiardjo ini,  tidak ada unsur propaganda iman katolik dalam film Soegija. Jalinan cerita dalam seluloid ini lebih mengedepankan  tataran nilai kemanusiaan universal. Juga bukan sebuah otobiografi Romo Kanjeng.

Tudingan bahwa dengan menonton film Soegija orang lalu berubah imannya juga dianggap terlalu mengada-ada. Demikian penegasan Djaduk Ferianto –adik kandung Butet—yang dipercaya menjadi penata musik film Soegija ini.

Memotret heroisme era Indonesia “balita”

Menurut press release resmi Studi Audio-Visual Puskat Yogyakarta yang ditulis FX Tri Mulyono, film Soegija harus dilihat sebagai “dokumentasi sejarah” berbentuk audio-visual yang memotret heroisme yang digelorakan seorang anak Bumi Putera bernama Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang kebetulan menjadi uskup pribumi pertama di Indonesia ini. Kehebatan seorang Soegijapranata SJ lebih pada kemampuannya mengolah rasa nasionalisme dan cintanya yang besar pada “tradisi” ke-Indonesia-an dan punya perhatian besar pada kaum lemah.  Pencitraan akan perlunya dibangun semangat nasionalisme kepada bangsa dan negara bernama Indonesia itulah yang merupakan sumbang sih paling besar dari seorang katolik bernama Soegijapranata SJ.

SAV Puskat Yogyakarta ingin menyebut film Soegija ini bak sebuah lentera perdamaian dimana sebuah film tentang masa lampau dihadirkan karena di situ tergelar semangat perdamaian.  “Meskipun dalam keadaan perang, tetapi tidak boleh ada kebencian yang hidup di dalam hati kita,” tulis FX Tri Mulyono mengenang sesanti Romo Kanjeng –panggilan populer untuk menyapa Uskup Vikariat Apostolik Semarang kala itu: Mgr. Albertus Soegijpranata SJ.

Ketika Jepang menyerah kalah di hadapan Sekutu, di Semarang masih bergelora semangat besar di antara para pemuda Bumi Putera untuk menghabisi tentara Dai Nippon ini. Meski Perang Lima Hari sempat pecah di Semarang (15-20 Oktober 1945), Mgr. Soegijapranata berhasil melunakkan hati para pemuda Bumi Putera untuk mengesampingkan kebencian terhadap Jepang.

Bertempat di Gereja Gedangan Semarang, Mgr. Soegijapranata berhasil mempertemukan pemimpin militer Tentara Sekutu dengan komandan militer Jepang untuk menghentikan perang. Lentera perdamaian bersemi di Gereja Gedangan Semarang.  “Nah, semangat membawa lentera perdamaian itulah yang mesti terus dinyalakan oleh segenap anak bangsa ini dan terus kita tularkan. Melalui film Soegija, kita tidak bicara tentang dakwah agama. Melainkan lebih ingin mengajak kita semua menata kembali karakter kita sebagai bangsa Indonesia yang dikenal luhur dan bermartabat,” tulis FX Tri Mulyono.

Kemanusiaan itu satu

Soegija diangkat menjadi uskup tanggal 6 November 1940, ketika Jepang sudah mulai bersiap mengincar Indonesia menjadi tanah jajahannya. Ia muncul sebagai tokoh Gereja pada saat panggung internasional dihantam Perang Dunia II. Namun Mgr. Soegijapranata SJ dengan caranya sendiri yang sangat khas mengumandangkan semangat nasionalisme Indonesia justru pada saat Indonesia masih “balita” karena baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.

“Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar. Satu keluarga besar, dimana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan,” seru Mgr. Soegijapranata SJ pada banyak kesempatan.

Mgr. Soegijapranata –demikian tulis FX Tri Mulyono—hadir sebagai tokoh perekat bangsa. Beliau muncul sebagai figur nasional yang melampaui zamannya. Terutama ketika saat itu memang membutuhkan hadirnya tokoh-tokoh nasionalis dan  punya wawasan luas dan terbuka terhadap keanekaragaman identitas yang ada di tanah Bumi Putera ini. Mgr. Soegijapranata SJ hadir melengkapi “koleksi” figur-figur nasionalis sekelas Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, IJ Kasimo dan masih banyak lagi.

Menurut catatan FX Tri Mulyono, Mgr. Soegijapranata mengajarkan tatanan nilai kemanusiaan universal dan bagaimana beliau sendiri menghayati nilai-nilai itu. Untuk itu, beliau berani menggelorakan roda semangat anti kolonialisme dengan sikap tegas, konsisten dan mengedepankan “sikap politik” yang jelas. Karena itulah lalu lahir sesanti abadi yang hingga ini tetap relevan dihayati bagi segenap insan katolik: “Menjadi 100 % katolik, 100 % Indonesia”.

Itulah sebabnya, Mgr. Soegija pun berani memutuskan memindahkan “pusat pemerintahan” gerejani Vikariat Apostolik Semarang ke Yogyakarta. Sebuah keputusan berani dia ambil guna memberi dukungan terhadap pemerintah Indonesia yang masih “balita” dimana saat itu harus pindah ke Yogyakarta.

Kemampuan Mgr. Soegijapranata SJ mengutarakan gagasan secara jelas dalam bentuk tulisan dan kemahirannya membaca “tanda-tanda zaman” membawa Indonesia yang masih muda ke pentas internasional. Intinya, Gereja Katolik Indonesia bersatu dengan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta mempertahankan eksistensi kemerdekaan Indonesia dari segala kemungkinan dikikis oleh kekuatan kolonialisme asing.

Jadi, menjadi jelas sekali lagi bahwa Soegija bukan sebuah film tentang dogma pengajaran agama. Soegija bercerita tentang nasionalisme dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Juga bukan film perang

Teaser yang dibuat SAV Puskat Yogyakarta dengan mengedepankan thriller Soegija memang bisa sekejap melahirkan kesan sebagai film eksyen atau perang. Kalau ingin didapuk menjadi film eksyen, sudah barang tentu Soegija akan mengumbar adegan-adegan kekerasan.

Penonton sudah pasti akan kecele. “Soegija sama sekali bukan fim perang,” kata co-executive producer  Romo Murti Hadi SJ dalam sebuah edaran berita internal.

“Justru kekerasan itulah yang ingin dilawan oleh film Soegija ini. Kekerasan adalah ‘musuh’ semua  agama. Semua manusia merindukan damai. Tidak ada orang yang benar-benar jahat dalam film ini. Semua orang punya rasa kemanusiaan di dalam hatinya. Inilah yang menjadikan film ini punya karakter kuat,” tulisnya kemudian.

Dalam situasi perang, semua orang tanpa memandang wana kulit dan agama menjadi korban keganasan ideologi dan senjata. Yang muncul justru sebuah tragedi sejarah manusia. “Tidak ada yang menang, juga tidak ada yang kalah. Itu karena semua orang menjadi korban politik. Semua orang diaduk-aduk hatinya,” tandasnya.

Ideologi politik dan nafsu akan kekuasaan senantiasa melemparkan manusia pada sebuah tragedi. Perang antarmanusia sudah barang tentu akan membuat manusia terjerembab dalam kenistaan. Nah, setting cerita dimana nilai kemanusiaan orang-orang Indonesia di ambang ketragisannya itulah yang ditonjolkan dalam film Soegija ini.

“Setting yang diambil adalah Indonesia pada kurun sejarah antara tahun 1940-1949. Ini merupakan  masa krusial bagi bangsa Indonesia, karena kurun waktu itu merupakan masa Perang Kemerdekaan. Seluruh pergerakan di Indonesia menuju satu tujuan yaitu Indonesia Merdeka.  Soegija berdiri bersama bangsa ini dan mengawal kelahiran sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia,” tandas Romo Murti Hadi SJ. (Bersambung)

Photo credit: Studi Audio Visual Puskat Yogyakarta

Artikel terkait:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here