“Soegija”, dari Empat Jam Menjadi Dua Jam Saja

3
3,713 views

MEMRODUKSI sebuah film –kata André Bazin—ibarat memilin benang panjang. Mulai dari riset data, studi lapangan dan kemudian menerjemahkan temuan-temuan itu dalam sebuah script dialog dan adegan per adegan. Seterusnya dilakukanlah pengambilan gambar adegan per adegan alias syuting dan kemudian dilakukan proses editing, dubbing suara berikut ilustrasi musik hingga kemudian muncullah sebuah film.

Membuat film tentu saja merupakan sebuah proses produksi berlapis-lapis, melibatkan banyak orang, mengkondisikan sesuatu apakah itu situasi sosial atau “lapangan” untuk kemudian dikasting agar setting peristiwanya berhasil “diciptakan” sesuai script dan arahan sang sutradara.

Jadi, wajar kalau  kemudian muncul pertanyaan kritis seperti ini. Misalnya, seorang romo yang bertanya mengapa film Soegija yang mestinya bisa berdurasi 4 jam sesuai ketersediaan bahan material kasar hasil syutingnya kok lalu tega-teganya “disunat” begitu saja menjadi hanya 2 jam saja?

Pertanyaan itu tentu saja menggelitik, karena tentu saja teramat sayang kalau bahan-bahan hasil syuting itu tidak selengkapnya ditayangkan secara keseluruhan. Mudah dipahami kegelisahan ini, apalagi –demikian argumen romo ini—bahan-bahan bagus itu bisa dipakai sebagai materi pewartaan iman tentang sosok Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Apalagi ketika muncul kritik yang menyatakan film Soegija nyaris mengaburkan sosok penting Mgr. Albertus Soegijapranata SJ lantaran kisah perawat nasionalis Mariyem berbalut latar belakang Perang Asia Timur Raya dan Clash I-II terasa lebih mendominasi cerita.

Cara kerja orang film

Ketika persoalan tentang durasi (masa putar) film Soegija yang mestinya bisa dibuat menjadi 4 jam namun kemudian hanya “selama” 2 jam saja, seorang pekerja film yang enggan menyebut namanya punya cerita. Menurut dia, cara kerja orang film mesti juga dipahami khalayak ramai agar kesan bahwa film itu lalu kena “potong” apalagi “sensor” jangan sampai menjadi tidak proporsional.

Sebuah adegan, kata pekerja film ini, tidak mungkin diambil hanya sesuai “nafas asli” adegan itu saja. Taruhlah misalnya, adegan minum kopi. Maka, sutradara dan kru pengambil gambar tentu tidak hanya akan mengambil adegan orang ambil gelas lalu dan sekejap sruput ambil adegan bibir beradu dengan bibir gelas saja. Melainkan adegan minum hanya akan menjadi berarti kalau pengambilan gambar itu dilakukan sebelum dan sesudah “adegan utama” yakni minum kopi.

Apakah itu orang berjalan menuju kompor, menyalakan kompor, mengaduk gula, menutup gelas dan lalu minum baru berikutnya mencuci dan seterusnya.

Nah, dari sebuah adegan sederhana minum kopi yang tak lebih dari 30 detik –misalnya—gambar yang diambil tentu lebih dari kurun waktu selama 30 detik itu. Begitu pula dengan aneka adegan lain yang jauh lebih kompleks dan rumit: situasi perang, acara pentahbisan, kotbah dan lain sebagainya.

Jadi, kata pekerja film tersebut, kalau mengikuti alur “logika” proses pembuatan film memang menjadi sangat wajar kalau hasil syuting bisa melahirkan berjam-jam masa putar. “Jauh lebih panjang (lama) dibanding hasil akhir yang merupakan produk resmi berupa film jadi itu sendiri,” katanya menjawab pertanyaan Sesawi.Net.

Ketika persoalan ini ditanyakan Sesawi.Net kepada Puskat Pictures, cara kerja orang film seperti itu merupakan hal yang lumrah di bidang proses produksi film atau sinetron. “Potongan-potongan syuting tetap kami simpan sebagai dokumentasi,” terang salah satu staf Puskat Pictures kepada Sesawi.Net.

Nah, menjadi wajar sekali kalau sebuah film yang hasil syutingnya bisa mencapai durasi 4 jam di kemudian hari muncul di pasaran dengan masa putar menjadi lebih sedikit. “Tidak perlu dipermasalahkan kenapa Soegija yang mestinya bisa tayang selama  4 jam lalu hanya menjadi 115 menit saja,” kata Puskat Pictures.

3 COMMENTS

  1. saya bukan orang film. namun dapat menangkap maksud dan alasan mendasar mengapa shot film yang 4 jam menjadi 2 jam itu. dapatlah saya nalogikan seperti ini: saya membawa kain seukuran 1,75m untuk menjahitkan celana panjang. maka ketika dijahit menjadi celana panjang lalu jadilah jika saya ukur celana itu tidak menjadi 1,75 m lagi, dan saya juga tidak akan bertanya, “Lho mas, bukankah tadi kain saya tuh 1,75m. mengapa cuma segini. trus yang lain?”
    yang saya tonton itu adalah bahan jadi yang cantik, indah, dan sesuai dengan rencana. lalu yang lain itu adalah serpihan-sepihan yang tidak dibuang sich,tapi tidak dipakai. lha kalao seorang pemahat mau memahat patung “mbah Giri” dengan ukuran 1,5 m; tentu dia akan menyediakan batu 2,5 m khan. karena demi bentuk yang diharapkan, masih harus ada yang dikepras, dituthuk, atau dipothel-pothel….semoga ini tidak dijadikan konflik, agar mas Garin tidak berdoa, “Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka buat!” syaloom- martin s giri-

  2. Ada juga film yang materi shooting hanya 1 jam, dibuat panjang jadi 2 jam, dengan replay, slow motion, memperlama credit title, dll. Untuk alasan komersial bisa saja dibuat sequel, Soegija 1 dan Soegija 2, khan lebih seru.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here