Soehirman alias Djentu, Nama Panggilan Alm. Romo Prof. N. Drijarkara SJ Semasa Kecil (1)

2
2,871 views

ORANG  di desa asal kelahirannya mengenalnya dengan panggilan masa kecilnya yakni Hirman alias Djentu (Jenţhu). Dari nama panggilan hariannya nampak bahwa ia memang anak desa. Desa itu terletak sekitar 8 Km sebelah timur kota kecil Purworejo, namanya Kedunggubah di kawasan Kali Gesing.

Sore itu, Senin 23 Juli 2012,  saya diantar oleh Romo Miranto ke Stasi Kedunggubah. Stasi itu hanya terdiri atas 24 KK. Sekitar 50 umat saja. Jalan masuk ke desa itu sekarang sudah beraspal cukup baik, namun sempit.

Rumah-rumah kecil dan sederhana, bahkan ada beberapa yang masih berdinding terbuat dari anyaman bambu. Hal itu tidak mengherankan karena tanah di pegunungan itu keras berbatu sehingga tanaman pangan sulit tumbuh. Yang ada hanyalah tanaman keras  berupa kayu atau tanaman buah seperti langsat, manggis, durian, mangga yang berbuah hanya pada musimnya.

Hanya anak desa

Tidak mengherankan bila keadaan ekonomi desa itu adalah sangat sederhana.

Tetapi yang mengherankan adalah bahwa di situlah almarhum Romo Prof. N. Drijarkara SJ –filosof Indonesia pribumi pertama—itu dilahirkan pada tanggal  13 Juni 1913. Hirman alias Jenthu kemudian  tumbuh sebagai anak desa, sebelum akhirnya  masuk Seminari di Yogya dan kemudian sekolah di Kolese Muntilan.

Soehirman adalah nama kecilnya dan orang di kampungnya mengenalnya sebagai Hirman. Tetapi ia juga memiliki panggilan Djentu. Sudah lama saya tahu bahwa almarhum Romo Drijarkara ini berasal dari salah satu stasi di Paroki Purworejo bernama Kedunggubah,. Namun baru sore itu saya sempat melihat langsung desa itu.

Simbah cilik

Kami bertemu dengan Agus yang memanggil almarhum Romo Drijarkara SJ itu dengan panggilan Simbah Cilik (opa ade, opa pe ade). Pak Sumarjo –ayah Agus dan pensiunan polisi– sudah lama meninggal. Almarhum adalah keponakan Romo Drijarkara. Orangtua Romo Drijarkara bernama Atmasendjaja.

Menurut orang desa, wajah Pak Polisi Sumarjo itu sangat mirip dengan Romo Drijarkara. Agus mengakui bahwa adiknya yang bernama Ganjar Prasetyawati lebih tahu silsilah tentang keluarganya, namun saat itu dia lagi bepergian ke Semarang. Kalau diperlukan nanti Ganjar bisa datang ke Pasturan Purworejo untuk menjelaskan kepada Romo Joko, begitu katanya.

Rumah tempat Romo Drijarkara lahir dan dibesarkan sudah tidak ada lagi. Yang masih  tertinggal hanyalah sebidang tanah kosong yang ditumbuhi rumput dan pepohonan. Yang masih ada adalah rumah Pak Polisi Sumarjo itu yang terletak di sebelahnya, namun agak ke bawah sesuai dengan kontur tanah yang berbukit-bukit. Di depan rumah Polisi Sumarjo itu ada halaman cukup luas untuk bisa parkir mobil dan dulu adalah sebuah pendopo. Ketika Romo Drijarkara masih  frater dan sering pulang ke situ, pendopo itu masih ada, kata Agus.  (Bersambung)

Artikel terkait:

Tautan: Situs resmi STF Driyarkara Jakarta (www.driyarkara.ac.id)

2 COMMENTS

  1. Yth. Rama Sujoko,

    Terima kasih untuk tulisan-tulisan Rama. Saya sangat tercerahkan.
    Bersama tulisan Pak Sumartana, kisah-kisah yang Anda tulis
    akan menjadi persiapan menyongsong 13 06 13, seabad kelahiran Djenthu.
    Semoga masih ada kisah-kisah lanjutannya.
    sekali lagi terima kasih.

    Teriring salam hanat, Subanar

  2. Yth. Romo Albertus Sujoko MSC,

    Terimakasih untuk tulisan tentang Romo Driyarkara yang begitu detil.
    Saya jadi lebih mengenal sosok beliau.
    Namun ada nama yang perlu diralat. Nunsewu sebelumnya, Romo.
    Nama anak ketiga Atmo Sendjojo adalah Alginah, bukan Walginah. Nama lengkap beliau ada Katarina Alginah, yang menikah dengan FX Soemoprawiro.

    Mbah Katarina Alginah dan FX Soemopawiro memiliki 9 putra putri. Namun 6 di antaranya tidak punya kesempatan untuk menikmati kesempatan hidup hingga dewasa. Hanya tinggal 3 putra putri beliau yang bisa menikmati masa tua. Itu pun saat ini hanya Bude Sr. Theresia ADM yang masih ada. Dua adik beliau sudah berpulang lebih dulu. Lusia Sumarti, Ibunda Br. Doni, dan Petrus Sumadi, keduanya adik Sr. Theresia ADM, telah berpulang menghadap Sang Pencipta.

    Ayahanda Petrus Sumadi telah berpulang pada 21 November 2011. Sementara Tante Uci, begitu kami menyebut Ibu Lusia Sumarti, Ibunda Br. Doni, telah berpulang lebih dulu.

    Kami hanya mengenal Romo Driyarkara dari cerita mendiang Ayahanda. Kami tinggal di Jakarta, dan tidak begitu mengenal keluarga dari pihak Ayahanda di Kedunggubah.

    Tulisan Romo melengkapi cerita Ayahanda tentang Romo Driyarkara. Terimakasih untuk ceritanya.
    Sekali lagi saya mohon maaf bila sedikit meralatnya.

    Oya, Romo. Saya mendengar kabar tentang 100 tahun Romo Driyarkara dari Bude Sr. Theresia. Akhir Oktober lalu, Ibu saya menjenguk beliau yang sedang sakit di Susteran Gombong. Berdasarkan infomasi beliau saya sempatkan browsing, juga atas permintaan Ibunda.

    Demikian yang bisa saya sampaikan, Romo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here