BERDASARKAN Instruksi dari Propaganda Fide kepada Mgr. Henrich Leven SVD sebagai pendiri CIJ, artikel butir 5 berbunyi demikian.
“… Hendaknya diusahakan agar sekurang-kurangnya dua suster dari salah satu lembaga yang sudah disahkan bersedia untuk menerima tugas-tugas sebagai moderatrix dan magistra novis dalam serikat baru yang akan didirikan; untuk sementara waktu, sampai serikat ini dapat menjalankan kehidupannya ini sendiri.”
Tugas ini selama hampir 16 tahun diemban oleh Sr. Xaver Hoff SSpS (sampai tahun 1961) dan dibantu oleh suster yang lain bersama Pendiri CIJ Uskup Mgr. Leven.
Kembalinya Mgr. Heinrich Leven SVD ke Steyl tahun 1952 karena alasan kesehatan lantas menjadikan Vikaris Apostolik, Mgr. Antonius Thijssen SVD, misionaris kelahiran Baarlo di Negeri Belanda (RIP tanggal 7.6.1982), sebagai penanggungjawab utama bagi CIJ.
Pertumbuhan anggota CIJ yang bagus juga tanggungjawab pastoralnya yang besar. Ini mengharuskan Uskup Mgr. Thijssen untuk berkomunikasi dengan pimpinan SSpS.
Dalam suratnya kepada Pemimpin Regional, yang ditembuskan kepada pimpinan General SSpS, Uskup Thijssen menulis demikian.
“Saya mengharapkan, Anda atau Pemimpin Umum untuk menunjuk salah seorang Suster yang berpengalaman, memiliki sifat ramah dan iman yang mendalam, untuk diperbantukan di Jopu. Sehingga Sr. Xaver sepenuhnya berkonsentrasi di Novisiat dan membimbing para kandidat.”
Akhirnya Pemimpin Umum Kongregasi SSpS pada tahun 1952 mengangkat dan menetapkan Sr. Raineldis SSpS untuk menjadi pemimpin di Jopu. Juga sekaligus diberi mandat sepenuhnya oleh Uskup Thijssen untuk mengembangkan CIJ dan menjalankan visitasi Kanonik.
Sosok Sr. Raineldis
Semasa gadis, ia dipanggil Johanna. Ia berasal dari keluarga yang harmonis dan religius.
Ia lahir pada tanggal 8 Desember 1894 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara di Vessem, dekat Tilburg, Negeri Belanda.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia bekerja selama tiga tahun sebagai “pembantu rumah tangga” dan kemudian bekerja membantu orangtuanya untuk mengembangkan usaha pertanian mereka.
Mulai tangga 2 September 1918, Johanna memulai hidup membiara di Kongregasi SSpS dan ketika menerima pakaian biara pada 5 Mei 1919 ia memilih nama Raineldis.
Ia selanjutnya dididik menjadi seorang perawat. Ia sangat merindukan untuk secepat mungkin menerima tugas misi, terutama karena adik kandungnya, Sr. Wigberta SSpS, sudah dalam perjalanan ke tanah misi di Indonesia.
Akhirnya tahun 1931 ia juga dikirim ke Indonesia, untuk seterusnya ditempatkan di Larantuka, Flores.
Selama 21 tahun lamanya, Sr. Raineldis SSpS bekerja tanpa lelah sebagai perawat di tana nagi, kota Renya.
Ia selalu membangun relasi yang harmonis dengan dokter dan para Suster dan memiliki banyak kesempatan dalam tugas medisnya untuk memberikan hati keibuannya kepada mereka yang dilayaninya.
Imannya yang kokoh menghilangkan semua ketakutan; dan semua orang yang ada di sekitarnya diberinya rasa aman, sehingga pekerjaan mereka pun menghasilkan buah.
Suster Raineldis bersama Uskup Thijssen dan Suster Xaver Hoff SSpS membuka:
- Komunitas CIJ “Ratu Damai” Waibalun: 25 Juni 1952.
- Komunitas “Kristus Raja” Ende: 20 Mei 1955.
- Komunitas Boawae: 14 Agustus 1954.
- Komunitas Waerana: 8 November 1955.
Suster Raineldis juga mengurus keabsahan kongregasi dalam segi hukum sipil dengan membuka Yayasan CIJ pada tahun 1956 dengan nama “Yayasan Kongregasi Keturutan Yesus” dengan akte nomor 01.
Karya kesehatan, misalnya, yang dibuka oleh Sr. Carina M. Kumpitsch SSpS dilanjutkan oleh Suster Raineldis.
Beliau juga mengaderkan Sr. Laetitia,Kristina Penu CIJ, yang kemudian tahun 1967 sebagai yunior dikirim oleh Pemimpin Umum, Sr. Theresia Kuki CIJ, ke Jerman untuk studi keperawatan.
Setelah lebih dari delapan tahun menjadi pemimpin, tepatnya tahun 1961, Sr. Raineldis meminta kepada pimpinan SSpS untuk mengizinkannya kembali ke Larantuka, karena dia sudah bertahun-tahun mengeluh sakit di lambung dan usus, yang diperparah dengan keseringannya bepergian sehubungan tugas yang diembannya.
Dia lalu dipindahkan ke Larantuka dan di sana ia lagi-lagi menjadi pemimpin rumah untuk para Suster.
Di sini dia sangat membanggakan para suster muda pribumi.
Ia juga memelihara kontak yang baik dengan para suster dari biara PRR.
Tidak perlu kaul lagi
Sr. Nidgaria SSpS, dalam korespondensinya ke rumah induk di Steyl, menulis berikut.
“Mama Reineldis berusia 72 tahun dan selama 36 tahun menjadi misionaris di Flores. Dari 36 tahun ini, 8 tahun lebih menjabat pimpinan Kongregasi Pengikut Jesus di Jopu, dan sisanya di Larantuka, Flores Timur.
Ia memberi dirinya di sini untuk karya misi. Ia dicintai dan dihormati oleh semua orang sebagai ‘Mama’ yang baik hati. Seandainya kita tahu betapa ia selalu menderita penyakit fisik yang parah, maka kita tak akan pernah berhenti mengagumi karyanya.”
Tentang detik-detik kematiannya, Suster Nidgaria menulis sebagai berikut.
“Sekitar pukul 22.00 malam, nafasnya menjadi berat dan pendek, setelah tengah malam dia mengalami serangan yang parah, yang membuatnya begitu lemah, tetapi dia selalu menghadapinya dengan tenang dan sikapnya tegas seperti biasanya, sampai akhir.
Seorang suster berdoa Novena Penyerahan kepada Roh Kudus dan kemudian bertanya, ‘Haruskah kita memperbarui kaul lagi?’
Mama Raineldis berkata dengan tegas: ‘Oh, itu sudah cukup’
Ia telah menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit empat hari yang lalu, juga telah memperbarui kaulnya, dan itu sudah cukup baginya. Ia memiliki kepercayaan yang teguh kepada Tuhan yang adalah kasih dan dia tidak takut untuk mati. Ia tidak takut pada apa pun.
Hal ini diketahui oleh semua orang; dan karena dia tidak takut apa-apa, semua orang merasa aman bersamanya.
Setelah menerima Sakramen Pengurapan, ia mengucapkan terima kasih kepada para suster untuk segalanya dan berkata, antara lain: ‘Oh, saya bahagia untuk kembali ke surga, semua anak yang saya baptis, siap menjemput saya.”
Ia adalah seorang perawat dan bidan yang cakap, dan dalam banyak kesempatan, selama bertahun-tahun, ia telah membaptis bayi yang meninggal.”
Meninggal dunia
Sr. Nidgaria SSpS, yang sebenarnya dalam perjalanan mengikuti retret tahunan, malam itu turut menyaksikan dari dekat menit-menit kematian Suster Raineldis.
Ia menulis: “Kami mengelilingi tempat tidurnya dan berdoa bersamanya. Ia sangat kehausan, tapi tenaganya terlalu lemah, bahkan untuk meneguk setetes air yang membasahi lidahnya ia harus mengeluh.
Seorang Suster berkata (dalam bahasa Belanda): “Mutter, wenn U im Himmel bent, dann denk an jungen Suester“, yang artinya: “Mama, jika engkau sudah di surga, jangan lupa suster-suster yang masih muda.“
Ia menatap mereka dan mengangguk beberapa kali.
Ya, kepada para suster muda ini, para puteri daerah ini, Mama Raineldis selalu hadir sebagai ibu yang peduli dan penuh kasih. Dia berjanji, di surga pun, dia tidak akan melupakan mereka.”
Tanggal 14 Juli, beberapa menit sebelum pukul 04.00 pagi, Sr. Raineldis menghembus nafas panjang dan pergi untuk selamanya kepada Tuhan yang dia imani.
Komunitas Suster di Larantuka kini menjadi rumah duka: penuh doa, air mata dan senandung duka yang tak mau berakhir.
“Sepanjang hari banyak orang berdatangan, dari segala usia dan status. Saat itu bertepatan dengan liburan panas, banyak anak seminari dan frater yang datang melayat, juga pastor-pastor dari paroki terdekat. Para Suster pribumi juga segera datang ke sana.
Pertama, para suster CIJ (sekitar 12 Suster) yang komunitasnya di paroki tetangga. Mereka meletakkan kartu yang indah di bantal, samping kepala Mama Raineldis dengan tulisan:
“Salam dari seluruh Kongregasi Pengikut Yesus.” … Berdoa, menyanyi dan menangis adalah warna utama hari itu. Semua lagu arwah dinyanyikan lagi dan lagi, begitu indah. Juga lagu-lagu Maria dan Hati Kudus, juga beberapa kali lagu Te Deum: Allah Mahakuasa, Pencipta alam semesta,” tulis Sr. Nidgaria dalam suratnya. (Berlanjut)
PS: Artikel ini ditulis bersama Sr. Ivonny Kebingin CIJ