Surat Gembala Uskup KAJ: Mengawali Tahun Persatuan 2018, “Kita Bhinneka – Kita Indonesia”

0
4,411 views
Bapak Uskup Agung KAJ Mgr. Ignatius Suharyo saat peresmian kampus UNIKA Atma Jaya di Serpong. (Mathias Hariyadi)

Disampaikan sebagai pengganti kotbah, pada Perayaan Ekaristi Hari Raya Penampakan Tuhan, Sabtu-Minggu, tanggal 6-7 Januari 2018.

—————-

Para Ibu, Bapak, Para Suster, Bruder, Frater.
Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih.

(1)

Meskipun kita sudah berada pada akhir masa Natal dan Tahun Baru sudah lewat seminggu, bersama-sama para pelayan Gereja Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), saya masih ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Natal 2017 dan Selamat Tahun Baru 2018.

Semoga harapan, kegembiraan dan syukur atas kasih Tuhan yang kita rayakan dengan menyambut kelahiran Yesus, menjadi sumber kekuatan dan semangat bagi kita semua untuk menapaki hari-hari di tahun 2018 ini.

(2)

Pada hari ini, kita menyambut Hari Raya Penampakan Tuhan.

Ketika menyiapkan renungan ini saya teringat akan Santa Teresa Benedikta dari Salib yang terlahir dengan nama Edith Stein.

The 7th Asian Youth Day 2017: Jadilah Saksi Kemuliaan Tuhan di Keseharian Hidup, Ketua KWI Mgr. Ignatius Suharyo di Puncak Acara AYD7

Sebagai remaja yang dikarunia kecerdasan istimewa, pada usia 14 tahun Edith sampai pada kesimpulan bahwa Allah tidak ada. Ia merasa tidak mempunyai alasan lagi untuk percaya kepada Tuhan.

Ia menulis, “Dengan sadar saya memutuskan, atas kemauan saya sendiri, untuk berhenti berdoa”.

Namun ia terus mencari makna hidupnya dan mulai belajar filsafat karena cita-citanya adalah menjadi ahli filsafat. Sampai pada suatu hari, ia berjumpa dengan seorang sahabatnya yang suaminya baru saja meninggal.

Edith yang selalu mencari makna hidup, sangat tersentuh oleh “ketabahan ilahi” yang tampak pada diri temannya itu.

Di kemudian hari mengatakan, “saat itulah ketidak-percayaan saya runtuh dan Kristus mulai memancarkan sinarnya kepada saya”.

(3)

Selanjutnya kita tahu, Edith dibaptis, masuk pertapaan Karmel dengan nama Suster Teresa Benedikta dari Salib, menjadi martir, dinyatakan sebagai beata oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1987 dan dinyatakan sebagai santa oleh Paus yang sama pada tahun 1998.

Perjumpaan Edith Stein dengan sahabatnya ternyata merupakan saat ketika Kristus menampakkan diri kepadanya. Penampakan itu terjadi pada saat yang tidak terduga dan dalam peristiwa manusiawi yang amat biasa.

Ternyata pengalaman itu mengubah seluruh arah hidupnya: ia yang semula tidak percaya kepada Tuhan menjadi pencinta Tuhan; ia yang semula bercita-cita menjadi ahli filsafat, dituntun oleh Tuhan menapaki jalan lain.

Ini semua dari satu pihak adalah rahmat, dan dari lain pihak adalah buah dari pencariannya yang tidak kenal lelah.

Edith Stein (1891-1942)

(4)

Pengalaman Santa Teresa Benedikta dari Salib adalah pengalaman perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan juga bisa dialami secara bersama-sama, seperti yang terjadi dengan orang-orang majus dari Timur.

Kutipan Injil yang dibacakan pada hari ini menampilkan orang-orang majus yang terus mencari makna hidup mereka. Pencarian itu diungkapkan dalam pertanyaan, “Di manakah raja Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di ufuk Timur, dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat 2:2). Setelah mendapatkan keterangan yang cukup, mereka berangkat untuk mencari-Nya, dan setelah menemukan-Nya mereka menyembah-Nya (ay 5-11).

Kisah ini berakhir dengan kata-kata ini, “… mereka pun pulang ke negerinya lewat jalan lain”. Menurut kisah, mereka pulang lewat jalan lain untuk menghindari Herodes. Tetapi secara simbolis, kata-kata itu dapat diartikan secara lain: siapa pun yang berjumpa dengan Tuhan (mengalami penampakan Tuhan) tidak akan lagi hanya menapaki jalan hidup yang sama.

Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan selalu mengubah dan membaharui. Perjumpaan dengan Tuhan ditawarkan kepada siapa saja tanpa kecuali.

Yang membedakan adalah keterbukaan orang untuk menanggapi kesempatan itu. Tidak sedikit orang yang hanya merasa “terkejut” (Mat 2:3) saja, seperti halnya Herodes dan seluruh Yerusalem. Mereka berhenti dan tidak melanjutkan pencarian. Sementara itu orang-orang majus itu sampai pada “sukacita” (Mat2:10), karena mereka tidak membiarkan pencarian mereka berhenti atau dihentikan oleh siapa pun. Mereka bersama-sama mencari makna hidup, dan dalam pencarian itu mengalami penampakan atau perjumpaan dengan Tuhan yang mengubah hidup mereka.

St. Teresa Benedicta of the Cross yang terlahir dengan nama Edith Stein, seorang suster biarawati Karmelit. (Ist)

(5)

Sebagai murid-murid Yesus, seperti halnya orang-orang majus dari Timur, kita pun diharapkan tidak pernah lelah mencari makna hidup, sambil berharap dalam pencarian itu kita akan mengalami penampakan atau perjumpaan dengan Tuhan.

Pencarian kita juga dapat kita rumuskan dalam bentuk pertanyaan.  Ada banyak macam pertanyaan yang dapat kita ajukan, salah satunya adalah: apa yang harus kita lakukan agar kita dapat mengalami penampakan Tuhan dalam hidup kita bersama sebagai warga Gereja KAJ yang adalah persekutuan murid-murid Yesus dan sebagai warga negara Indonesia?

http://www.sesawi.net/2017/11/17/mgr-ignatius-suharyo-sidang-tahunan-kwi-2017-merawat-kontribusi-gereja-katolik-dalam-sejarah-perjuangan-bangsa-1/

Salah satu jawaban yang dapat kita berikan adalah dengan merawat ingatan bersama dan mengemban tanggung jawab sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, menurut keyakinan iman kita, adalah tempat Allah melaksanakan karya penyelamatan-Nya, tempat Allah menampakkan diri dan dapat kita jumpai.

Keyakinan ini terungkap dalam Doa Prefasi Tanah Air : ”Berkat jasa begitu banyak tokoh pahlawan Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa, … kami bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, … dan atas Pancasila dasar kemerdekaan kami”.

http://www.sesawi.net/2017/11/22/gereja-katolik-indonesia-dan-pancasila-catatan-melawan-lupa-di-akhir-sidang-tahunan-kwi-2017-5/

Dalam Doa Prefasi Tanah Air ini ditegaskan tiga tonggak penting sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu:

  • Kebangkitan Nasional (1908).
  • Sumpah Pemuda (1928).
  • Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sebagai buah perjuangan para pendahulu kita sekaligus karya Allah.

Kita akan terus-menerus mengalami penampakan Tuhan dalam sejarah bangsa kita, dengan merawat ingatan bersama kita akan sejarah bangsa kita yang pada akhirnya adalah buah karya dan rahmat Allah dan mengemban tanggung jawab sejarah.

(6)

Salah satu cara untuk merawat ingatan bersama dan mewujudkan tanggung jawab sejarah adalah dengan mengamalkan Pancasila.

Itulah sebabnya terdapat semboyan “AMALKAN PANCASILA” dalam Arah Dasar KAJ 2016 – 2020. Kita ingin semakin memahami, merenungkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila, tahun demi tahun.

Sebagai penanda utama diperkenalkan Rosario Merah Putih.

  • Pada tahun 2016 kita mendalami sila pertama dengan semboyan “Kerahiman Allah Memerdekakan”;
  • Pada tahun 2017 semboyan yang kita angkat adalah “Makin Adil – Makin Beradab”.
  • Pada tahun 2018 kita ingin mendalami secara khusus sila ketiga “Persatuan Indonesia” dengan semboyan “Kita Bhinneka – Kita Indonesia”.

(7)

Dalam semboyan “Kita Bhinneka – Kita Indonesia” terkandung berbagai macam gagasan. Kita ingin agar berbagai macam gagasan itu diterjemahkan menjadi berbagai gerakan yang membarui kehidupan. Kalau gerakan-gerakan ini dilakukan secara terus-menerus dan konsisten, akan terbentuklah habitus baru, yaitu cara merasa, cara berpikir, cara bertindak dan berperilaku baru, baik dalam tataran pribadi maupun bersama, dalam keluarga, komunitas dan masyarakat yang lebih luas.

Habitus baru inilah yang akan menjadi daya transformatif dalam kehidupan. Kalau manusia semakin berbakti kepada Tuhan, berperilaku adil dan beradab, serta semakin bersaudara satu dengan yang lain, Kerajaan Allah menjadi semakin nyata dan kemuliaan Tuhan akan semakin tampak pula (bdk Yes 60:2).

(8)

Salah satu penanda gerakan “Kita Bhinneka – Kita Indonesia” untuk tahun 2018 adalah gambar Maria Bunda Segala Suku.

Gambar Maria Bunda Segala Suku sangat khas Indonesia: ada Garuda Pancasila di dada, selubung kepalanya berwarna merah putih dan di mahkotanya terdapat peta Nusantara.

http://www.sesawi.net/2017/05/31/maria-bunda-segala-suku-cara-keuskupan-agung-jakarta-merawat-kebhinekaan-indonesia/

 

Bunda Maria Segala Suku. (Ist)

Semoga gambar ini dapat membantu devosi kepada Maria Bunda Segala Suku, yang akan semakin menyadarkan kita bahwa persaudaraan, kebersamaan, dan persatuan baik di dalam Gereja maupun di dalam masyarakat luas adalah anugerah Tuhan yang terus menerus mesti dimohon dalam doa sambil didukung dengan gerakan-gerakan yang lain.

(9)

Panitia Penggerak Tahun Persatuan baik di tingkat Keuskupan maupun di tingkat Paroki telah merancang dan menawarkan aneka gerakan yang intinya adalah mengajak kita semua untuk bergandengan tangan dengan semua warga bangsa, tanpa memandang suku, ras, agama, tingkat ekonomi, pilihan politik dan perbedaan-perbedaan yang lain, untuk bersama-sama membangun persatuan dan persaudaraan yang semakin tulus menuju Persatuan Indonesia yang semakin kokoh.

http://www.sesawi.net/2017/05/31/maria-bunda-segala-suku-mencari-gambar-visual-sosok-bunda-maria-yang-khas-indonesia-2/

 

Saya mengajak semua Paroki, lingkungan, komunitas kategorial, keluarga, dan lembaga-lembaga katolik untuk bersama-sama menyambut tawaran-tawaran itu atau secara kreatif merancang gerakan-gerakan lain dalam rangka menyambut Tahun Persatuan 2018 ini.

Terima kasih kepada para Ibu-Bapak, Suster, Bruder, Frater, kaum muda, remaja dan anak-anak sekalian, yang dengan satu dan lain cara telah melibatkan diri dalam merawat ingatan bersama dan mengemban tanggung jawab sejarah sebagai warga Keuskupan Agung Jakarta.

Salam Persatuan dalam Kebhinnekaan.

Berkat Tuhan untuk Anda, keluarga-keluarga dan komunitas Anda.

Jakarta, Desember 2017

† I. Suharyo – Uskup Keuskupan Agung Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here