Suster OSA dalam Tantangan Zaman: Beda Zaman, Beda Cara Hayati Kaul-kaul Religius Pasca Konsili Vatikan II (8)

0
1,002 views
Para suster OSA misionaris dari Negeri Belanda di Ketapang dan para suster muda Indonesia generasi pertama. (Dok OSA/Repro MH)

AGGIORNAMENTO adalah semangat utama Konsili Vatikan II. Kosa kata dalam bahasa Itali itu kurang lebih berarti sebagai berikut.

Dengan sengaja mau membuka jendela lebar-lebar, maka biarkan “angin segar dari luar” itu bisa masuk memberi suguhan berbagai informasi dan makna baru hasil produk luar bagi Gereja Katolik.

Aggiornamento menjadi salah satu kosa sangat penting untuk memahami spirit utama sejarah dan produk Konsili Vatikan II.

Selama berabad-abad lamanya, Gereja Katolik maunya selalu ingin “menutup diri”, selalu merasa “paling benar” sendiri dalam banyak hal. Akibatnya, tingkah polah hirarkinya juga kadang otoriter dan orang-orangnya juga menjadi super lebai. Apalagi ketika merasa bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan sebagaimana sering terekspresikan dalam istilah terkenal yang berbunyi “extra ecclesiam, nulla salus.”

Penggagas dan pelaksana hasil-hasil Konsili Vatikan II: Paus Johannes XXIII dan Paus Paulus VI. (Ist)

Angin segar Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II telah mendobrak semua kekakuan dan keangkuhan Gereja Katolik, hirarki, dan para klerus Katoik yang setelah berlangsung selama berabad-abad.

Konsili Vatikan II ini diprakarsasi oleh Paus Johannes XXIII (masa kepausan 1958-1963) dan proses persidangan lalu dilanjutkan oleh Paus Paulus VI (masa kepausan tahun 1963-1978). Hasil-hasil Konsili Vatikan II dan rekomendasi implementasinya yang kemudian diterapkan oleh Paus Paulus VI seperti memberi kiblat baru bagi segenap Gereja Katolik Semesta.

Angin segar dari luar itu telah merasuk masuk ke dalam rongga-rongga setiap bagian dalam dari tembok-tembok Gereja dan gelombang “reformasi” itu akhirnya juga telah menyentuh banyak segi kehidupan gerejani. Dan tak terkecuali juga mengubah tata liturgi Perayaan Ekaristi, pola hidup bakti kaum religius, busana harian mereka, dan praktik-praktik kaum berjubah dalam kesehariannya menghayati kaul-kaul hidup bakti kepada Tuhan melalui Gereja-Nya.

Pengaruh besar atmosfir gelombang “reformasi” produk Konsili Vatikan II itu juga terjadi di lingkungan para suster St. Augutinessen (OSA). Ada yang mulai berubah; mulai dari cara berpakaian yang berubah sesuai zaman dan tak terkecuali juga “cara baru” menghayati kaul-kaul religius sebagai suster biarawati.

Misa membelakangi umat

Sejumlah dokumentasi foto koleksi Congregatio Passionis (CP) dan Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Ilahi (OSA) memperlihatkan dengan gamblang betapa model misa pra dan paska Konsili Vatikan II itu sangat berbeda.

Misa Tahbisan Episkopal Mgr. Gabriel Wiilhemus Sillekens CP di Gereja Katedral St. Gemma Galgani Ketapang tanggal 17 Juni 1962. Bangunan gereja katedral lama ini sejak tahun 2017 telah beralih fungsi menjadi gedung pertemuan. (Dok CP-OSa/Repro MH)

Prosesi tahbisan Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Gabriel Wilhemus Sillekens CP masih berlangsung dalam suasana pra Konsili Vatikan II.

Karena itu, Liturgi Ekaristi Misa Tahbisan Episkopal di tahun 1962 itu masih berlangsung dengan cara yang berbeda dari apa yang bisa kita alami dan saksikan sekarang ini.

Para imam masih berdiri “membelakangi” umat.

Konsili Vatikan II telah mengubah “cara berdiri” para imam di altar: sekarang berhadap-hadapan. Umat  –kata orang zaman dahulu—tidak lagi “dibokongi” oleh imam di altar.

Busana tudung kepala “kap becak”

Yang juga terasakan berubah total adalah cara berbusana para suster. Dan tak terkecuali juga cara berbusana para Suster St. Augustinessen (OSA).

Jauh-jauh hari sebelum Konsili Vatikan II, busana harian para suster OSA itu serba “tertutup”. Mulai dari dahi, seluruh batok kepala, hingga bawah mulut harus dalam keadaan “terbungkus” oleh sebuah perangkat kain yang konon sering disebut “kap becak”.

Ingatkan bentuk menggelembung format kap becak yang selalu “membungkus” roda-roda becak itu.

Nah, kepala para suster itu juga perlu “dibungkus” rapat-rapat dengan “kap becak”.

Moeder Sr. Vincentia OSA – Pemimpin Umum Suster Augustinessen pertama dalam balutan busana biara pada zamannya. (Dok OSA/Repro MH)

Menurut Sr. Maria Goretti OSA, suster pribumi Indonesia generasi pertama, format bungkusan kepala berformat layaknya sebuah “kap becak” menandai simbol seluruh hidup suster religius itu sudah menjadi “milik” Tuhan.

Nah, Konsili Vatikan II ternyata berimbas juga pada pola busana para suster.

Pertama-tama, “kap becak” itu mulai ditanggalkan. Tudung kepala super ketat yang membungkus batok kepala hingga layaknya “payung putih” itu kemudian diganti dengan bentuk kap kepala yang lebih sederhana.

Koleksi ragam busana biara pasra OSA dari zaman ke zaman yang tersimpan di Museum OSA di Augustinian Spirituality Center (Mathias Hariyadi)

“Bagian dahi tetap tertutup, namun tidak lagi seketat dulu,” demikian ujar Sr. Theresia OSA, suster pribumi generasi pertama.

Klausura

Pra Konsili Vatikan II, seluruh rumah atau suster biara OSA masih memberlakukan sistem klausura. Artinya, ada wilayah ruangan tertentu yang harus selalu “steril” dari kehadiran orang-orang dari luar biara.

Klausura adalah wilayah ruangan yang hanya boleh didatangi atau dilihat oleh “orang-orang dalam” biara itu sendiri. Lainnya tidak boleh.

Dengan demikian, hanya para suster OSA itu sendiri yang boleh memasuki “kawasan terbatas” tersebut.

Klausura harus tetap dijaga “steril” dari kehadiran orang luaran. Bahkan pastor dan suster dari tarekat lain pun juga tidak diizinkan masuk wilayah klausura ini.

Sr. Nicolaus Sina OSA, suster pribumi OSA generasi ketiga menerangkan perubahan banyak yang terjadi dalam hidup membiara paska Konsilli Vatikan II. (Repro MH)

Setelah Konsili Vatikan II, secara perlahan-lahan konsep klausura itu mulai beringsut ditiadakan, demikian keterangan Sr. Nicolaus Sina OSA, suster pribumi angkatan ketiga.

Sebenarnya, juga tidak ada hal-hal sangat istimewa di wilayah khusus “serba rahasia” dari klausura tersebut. Hanya ruangan atau kamar biasa dan juga tidak ada simpanan rahasia-rahasia segala. Biasa-biasa saja.

Di luaran itu banyak dosa dan kejahatan

Alam pikir Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat ringkas ini: “extra ecclesiam, nulla salus” alias “tidak ada keselamatan di luar Gereja”.

Cara pikir seperti ini juga  menancap kuat dan hinggap di kepala seluruh perangkat hirarki Gereja Katolik semasa pra Konsili Vatikan II.

“Yang di luaran itu dianggap belepotan dosa. Maka, harus dijauhi dan para suster dilarang bergaul akrab,” demikian ungkap Sr. Maria Goretti OSA, suster pribumi angkatan kedua ketika menerangkan perubahan besar dalam cara pikir para suster OSA waktu itu.

Sr. Maria Goretti OSA, suster pribumi angkatan kedua. (Repro MH)

Sr. Maria Goretti OSA masih mengalami dan merasakan produk “manual” program pembinaan pola lama dengan alam pikir “kuno” seperti itu.

“Luar itu kotor. Biara itu suci,” begitu kurang lebih konsep sederhananya.

Perubahan cara pikir ini dialami sebagai tantangan besar.

Pemimpin itu wakil Tuhan

Tentang model penghayatan kaul ketaatan zaman dahulu, istilahnya sederhana namun bisa “bicara banyak” adalah sebagai berikut. Taat berarti dengan rela membiarkan diri ibaratnya sebuah mayat di tangan orang buta.

Artinya, seorang religius wajib taat sepenuhnya dan total harus mengikuti “perintah” pemimpin biara.

Di situ tidak ada dialog, tidak ada wawan hati.

“Begitu pemimpin biara memutuskan sesuatu, maka kita wajib hukumya mengikuti perintahnya,” papar Sr. Maria Goretti OSA.

“Pemimpin biara itu selalu dimengerti sebagai wakil Tuhan. Begitu dulu, kami selalu memahami konsep pikir seperti itu,” paparnya kemudian.

Tiga suster muda osa menelungkup di hadapan uskup saat mengucapkan kaul-kaul religiusnya. (Dok OSA/Repro MH)

Konsili Vatikan II mengubah atmosfir cara pikir dan pola menghayati ketaatan secara lebih “demokratis”.

Kini, dalam setiap rencana pengutusan, pemimpin selalu lebih dahulu ngin mengajak bicara dan juga berkenan mendengarkan semua ekspektasi dari anggota. Hal-hal lainnya juga bisa didiskusikan pada saat wawan hati tersebut.

“Namun, begitu sebuah keputusan dibuat –sekalipun mungkin tidak bisa memuaskan atau bahkan tidak sesuai dengan ekspektasinya—maka orang tetap harus taat,” demikian konklusinya.

Minta ampun kalau pecahkan barang

Pola menghayati kaul kemiskinan juga dihayati sampai hal-hal yang paling sederhana dan remeh-temeh.

Sr. Maria Goretti OSA melukiskan bagaimana para novis OSA “zaman dahulu” harus rela mempraktikkan gesture tubuh dengan cara berlutut untuk minta ampun kepada pemimpin biara, kalau sekali waktu, misalnya saja, telah memecahkan gelas.

“Untuk minta sabun pun, saya mesti duduk berlutut sembari menengadahkan tangan ke atas untuk boleh diizinkan minta barang yang dibutuhkan,” papar Sr. Regina OSA, suster pribumi generasi ketiga.

Sr Maria Regina OSA memperagakan driri ketika sebagai Novis harus datang menghadap Magistra untuk boleh minta sabun. (Repro MH)

Tak berharta

Kaul kemiskinan dari dahulu sampai sekarang secara prinsipiil tidak berubah. Antara lain konsep bahwa setiap religius harus berkomitmen untuk tidak punya “harta pribadi”, melainan apa yang dia miliki itu adalah properti milik biara atau komunitas.

Kalau membutuhkan sesuatu, maka dia harus minta kepada komunitas. Dan kalau di komunitas tidak ada atau tidak punya, ya sudahlah.

Salah satu contoh penghayatan kaul kemiskinan yang dulu dipraktikkan di Biara OSA pra Konsili Vatikan II adalah cara dan porsi makan-minum.

Masak pun masih memakai busana “kap becak” di dapur. (Repro MH)

Menurut Sr. Maria Goretti OSA yang juga dibenarkan oleh Sr. Theresia OSA dan Sr. Nicolaus Sina OSA, setiap suster hanya boleh makan-minum sesuai “takaran” yang telah disediakan oleh Pemimpin Biara.

“Kami tidak boleh mengambil makan dan berikut lauk-pauknya sendiri. Adalah Suster Pemimpin Biara yang selalu akan mencedokkan porsi makan-minum plus lauknya ke piring kami,” Sr. Maria Goretti OSA.

Dengan demikian, para suster itu dilatih untuk menerima apa saja yang “tersedia bagi mereka” di meja makan.

Lainnya tidak boleh disentuh dan juga diharapkan.

Tanduk atau boleh sendiri bisa nambah porsi makan-minum pada waktu itu tentu saja bukan hal yang lumrah terjadi. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here