Syukuran

0
400 views
Ilustrasi - Sembelih kambing untuk syukuran. (Ist)

Renungan Harian
Selasa, 7 Desember 2021
PW. St. Ambrosius
Bacaan I: Yes. 40: 1-11
Injil: Mat. 18: 12-14
 
“ORANG-orang di kampung kami bergunjing. Hampir setiap orang dewasa yang bertemu akan membicarakan peristiwa aneh di kampung kami.

Sesungguhnya, halnya tidak aneh dan semua akan mengatakan itu baik. karena peristiwa yang kami anggap aneh itu adalah syukuran.

Mbah Wo, begitu kami sering menyapanya, telah mengundang orang-orang kampung untuk syukuran dua hari mendatang. Mbah Wo menyembelih dua ekor kambing dan menyembelih beberapa ekor ayam untuk syukuran ini.

Bagi orang-orang di kampung kami, syukuran yang diadakan oleh mbak Wo ini tergolong syukuran besar-besaran. Syukuran secara besar-besaran ini tentu bukan hal aneh. Apa yang menjadi pergunjingan orang kampung adalah alasan Mbah Wo mengadakan syukuran.
 
Mbah Wo mengadakan syukuran, karena anak bungsunya pulang ke rumah setelah sekian tahun tidak pulang. Kami orang kampung tahu persis siapa anak bungsu Mbah Wo ini dan kenapa sudah bertahun-tahun tidak pulang kampung.

Anak bungsu mbah Wo ini sejak masih remaja kami kenal sebagai anak yang nakal. Ia suka berantem, bikin gaduh dan sering mencuri buah-buah di tetangga. Sehingga tidak jarang Mbah Wo dilabrak oleh tetangga-tetangganya lantaran ulah anak bungsu ini.

Setelah selesai STM, entah lulus atau tidak, anak ini pergi dari kampung merantau ke kota. Kami juga tidak tahu kerja apa di kota, yang pasti setiap kali pulang selalu membawa mobil dan membawa oleh-oleh yang cukup banyak.

Semua itu menandakan kalau anak bungsu ini telah sukses di kota. Maka sering kali Mbah Wo membanggakan anak bungsunya ini.
 
Beberapa warga kampung kami yang kerja di kota yang sama dengan anak bungsu Mbah Wo ini tahu bahwa sesungguhnya anak bungsu ini menjadi penjahat di kota.

Bukan hanya menjadi preman, tetapi menurut mereka yang tahu anak bungsu ini telah keluar masuk penjara karena kasus-kasus kejahatan.

Meski demikian tidak ada seorangpun yang berani memberitahu Mbah Wo.

Sampai suatu saat muncul berita di koran bahwa anak bungsu ini tertangkap karena kasus perampokan dengan pembunuhan.

Berita itu menjadi berita besar di kampung kami, saudara-saudari kandung anak bungsu ini juga tahu dan telah memberi tahu Mbah Wo.

Namun Mbah Wo tidak pernah percaya, apalagi Mbah Wo tidak bisa membaca.
 
Setelah beberapa tahun anak bungsu ini tidak pulang, Mbah Wo meminta anak-anaknya untuk mencari, dan setiap kali diberi tahu bahwa anak bungsunya itu dipenjara Mbah Wo tidak percaya dan tetap minta agar dicari, kalau pun betul dipenjara minta agar anak-anaknya mengusahakan agar bisa keluar.

Anak-anaknya berkali-kali menasihati Mbah Wo agar ikhlas dan membiarkan anak bungsunya menjalani hukuman, biar berubah nantinya.

Mbah Wo selalu menjawab:

“Apa pun dia, dia adalah anakku, mungkin aku ‘tega larane nanging ora bakal tega patine’ (mungkin saya tega melihat dia sakit, tetapi tidak akan tega melihat dia meninggal) intinya tidak ingin anaknya menderita, meski anaknya adalah penjahat.
 
Itulah yang membuat kami heran dan bergunjing dengan syukuran besar-besaran ini. Bagaimana mungkin seorang penjahat yang baru keluar dari penjara disambut dengan syukuran luar biasa.

Namun, kami orang-orang kampung tetap membantu, bukan karena anak bungsu ini tetapi karena Mbah Wo.

Kami orang kampung cuma bisa berkata: “ Ya, namanya juga mbok, (ibu) bagaimana pun anak tetap anak, apakah dia baik, apakah dia jahat tetap anak, kalau hilang dicari, meski kalau ada sering menjengkelkan,” seorang bapak menceritakan pengalamannya.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki seorangpun dari anak-anak ini hilang.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here