Takut Mati Sendirian

0
421 views
Kematian, Akhir Peziarahan di Dunia Fana. (Romo Suhud SX)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Sabtu, 4 September 2021.

Tema: Kesadaran diri.

  • Bacaan Kol. 1: 21-23.
  • Luk. 6: 1-5.

CINTA. Siapa tidak membutuhkan?

Setiap dari kita yang lahir di dunia ini pada awalnya pasti berasal karena cinta. Cinta orangtua yang menyatu. Tak dapat dipungkiri. Kendati dalam proses kehidupan kemudian terjadi gesekan. Sebuah rangkaian dinamis pemurnian, penyerahan diri satu sama lain.

Cinta itu menguduskan.

Cinta adalah kekuatan. Kekuatan untuk tumbuh bersama. Kekuatan yang menyadari bahwa aku ada bagi yang lain. Sebuah sikap  menghargai yang lain sebagai yang lain. Bukan yang lain menurut kehendakku, pikiranku, keinginanku, bahkan perintahku.

Kesabaran, kerendahan hati dan pengampunan membuat cinta manusiawi menjadi kasih kristiani.

Dengan sangat baik, Paulus berkata, “Kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya.” ay 21-22.

Hasil keheningan

“Romo, Saya mau bersyukur. Saya mau meninggalkan masa laluku yang gelap. Saya ingin kembali kepada keluarga, kepada isteri dan anak-anak yang selama ini saya tinggalkan. Perhatian saya kurang. Saya  hanya mengejarkan kepuasan diri sendiri,” begitu pengakuan seorang bapak.

“Terpujilah Tuhan. Pengalaman apa yang membuat buat bapak demikian?” kataku.

“Saya sedang bertugas di luar kota dan jatuh sakit. Tidak ada yang mengurus. Saya kontak keluarga.  Jawabannya begitu-begitu saja,” keluhnya.

“Maksudnya?”

“Saat itu, saya takut mati. Sendiri lagi. Saya rindu didampingi keluarga. Seandainya harus mati pun, saya ingin ada di tengah-tengah mereka. Merekalah yang memahami,  merawat saya. Mereka pasti mendoakan saya. Kendati saya temperamental dan marah-marah,” jawabnya.

“Saya merasa punggung terasa berat dan tak bisa digerakkan. Badan terasa panas. Saya mengirim pesan kepada isteri bahwa mungkin saya tertunda pulang karena urusan kantor.  Memanglah demikian. Dalam pekerjaan, saya tidak pernah bohong. Juga tentang penghasilan. Saya selalu menyerahkan utuh. Kebetulan saya bekerja di sebuah perusahaan yang masih ada kaitan keluarga dengan isteri saya.

Ketika saya sakit demam saya malah teringat oleh ibu saya ya di kampung.

Saat kecil, saya memang nakal. Tidak hanya melawan orangtua, kadang pergi dari rumah sekedar bermain dengan teman. Ibu memarahi dan lapor ke bapak.

Dan bapak langsung menggampar. Bapak memang tidak suka kalau anaknya melawan ibunya. Bapak orang rumahan. Ia menyayangi dan memanjakan ibu.

Saya tidak tahu bibit-bibit kenakalan itu dari mana. Yang jelas, saya merasa kurang diperhatikan. Saya mempunyai bibit-bibit pemberontakan tapi saya takut.

Teman-temanlah yang menghibur saya. Maka kalau ada kesempatan saya selalu bermain dengan mereka bahkan sampai malam. Bapak kadang keluar kota.

Dibandingkan saudara-saudara saya, saya yang paling nakal, belajar pun jarang. Nilai pas-pasan. Tetapi saya yang paling pemberani. Kalau ada yang menganggu adik,  saya tantang berkelahi.

Di rumah, saya ingin dimanja, diperhatikan dan diistimewakan, tapi tidak dapat. Saya  bertingkah agar diperhatikan,” begitu panjang penjelasannya.

Pengalaman gelap

“Suatu hari, saya diusir oleh bapak. Si mamak pun diam saja.

Karena merasa bisa hidup sendiri, saya pergi keluar kota. Kira-kira kelas 1 SMA.

Saya tidak melanjutkan sekolah. Saya lari ke Jakarta dan berjuang sendiri untuk hidup.

Saya melupakan keluarga. Saya bekerja apa pun, pekerjaan gelap dan kotor sekali pun saya lakukan. Saya harus  menunjukkan bahwa saya bisa hidup sendiri dan memang lah demikian.

15 tahun kemudian, barulah saya pulang. Dan mamak sudah lama meninggal. Saya sedih dan menyesal. Saya tak mau kejadian itu terulang pada diriku.

Saat sakit saya sadar akan cinta keluarga saya. Mereka memahami saya bahkan mengampuni dan mendoakan saya. Saya ingat semua itu.

Begitu, Romo,” dia mengakhiri kisah hidupnya.

“Syukurlah.  Kesadaran ini menguatkan kedekatan dan kehangatan hidup keluargamu,” jawabku meneguhkan.

Tuhan, takut mati sendiri, menyadarkan apa yang kutinggalkan dalam hidupku. Keluargaku. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here