Senin, 4 Maret 2024
- 2Raj. 5:1-15a;
- Mzm. 42:2,3; 43:3,4;
- Luk. 4:24-30.
DITOLAK itu rasanya tidak enak: menyakitkan, mengecewakan, mengerdilkan semangat, membuat malu, tersinggung dan marah. Saya yakin, semua orang pasti pernah menghadapi penolakan dalam kadar yang berbeda-beda.
Ketika kita melakukan sesuatu yang baik, belum tentu orang lain menganggap itu baik dan menerimanya dengan sukacita. Orang juga bisa kecewa dan menolak hal baik yang kita lakukan. Ketika kita memperjuangkan kebenaran dan kebaikan, orang lain juga bisa menaruh curiga hingga akhirnya menolak bahkan menentang perjuangan kita.
“Saya bukan orang sempurna dan orang hebat, namun saya punya hati dan keprihatinan untuk mengajak orang lebih baik dalam mengelola sampah,” kata seorang bapak.
“Tawaran saya mengelola sampah dengan baik tidak banyak yang mendengar ajakan saya. Mendapat penolakan sudah anggap hal biasa, saya tidak akan menyerah. Karena saya melihat ada hasil yang baik, beberapa keluarga yang mau mengelola sampah, sudah bisa menikmati hasilnya. Mereka sudah bisa swasembada pupuk buatan, ecoenzyme, dan tanaman menjadi subur.
Namun tidak semua orang senang, dan mengapresiasi gerakan ini. Jika mendengar dan mengikuti omongan mereka, tidak akan ada gerakan apa pun. Kadang suara kritikan dan penolakan perlu didengar namun ada kalanya tidak perlu diikuti,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”
Yesus ditolak oleh orang-orang di Nazaret ketika Ia mengunjungi kampung halamannya.
Penolakan itu merupakan bagian dari pengalaman profetik Yesus dan menempatkan Ia pada jajaran pengalaman para nabi di jaman Perjanjian Lama.
Nabi Elia diterima dengan ramah oleh seorang janda dan melakukan mujijat pelipat-gandaan tepung menjadi roti yang dapat dimakan selama masa paceklik 3 tahun 6 bulan. Pada zaman nabi Elisa, murid nabi Elia, ada banyak orang kusta di Israel. Tetapi yang disembuhkan oleh Nabbi Elisa adalah Naaman, orang Siria itu.
Keselamatan terjadi hanya dalam sikap keterbukaan dan kesediaan menerima tawaran keselamatan Allah. Janda di Sarfat, Namaan orang Siria, penduduk-penduduk kampung yang tinggal dalam kegelapan menerima kehadiran para utusan Allah dan mendengarkan firmanNya.
Sebaliknya kekerasan hati, ketertutupan dan penolakan terhadap tawaran keselamatan Allah menutup jalan kepada keselamatan dan belaskasih Allah.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mau membuka hati akan kebaikan yang disampaikan sesamaku?