“The Last Supper” Bersama Isteri

0
477 views
Ilustrasi - (Ist)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Rabu, 29 September 2021.

Tema: Penantian kemuliaan.

  • Dan. 7: 9-10, 13-14.
  • Yoh. 1: 47-51.

KEMATIAN itu pasti. Tidak perlu ditangisi. Semua akan menjadi biasa lagi.

Hidup harus dilanjutkan. Tidak hanya bagi yang ditinggalkan. Tetapi juga bagi mereka yang pergi.

Hati dan perasaan menghidupi kenangan. Hati menyimpan begitu banyak kenangan indah terlebih bagi mereka yang disayangi.

Perasaan kehilangan itu berlangsung hanya sementara. Lama-lama juga ada kerelaan melepas. Almarhum pergi dalam sebuah kepastian. Hidup abadi.

Yang pergi juga merelakan yang ditinggalkan. Ia menghadap Sang Pencipta. Menanti dalam kemuliaan kasih Bapa untuk dikumpulkan kembali dalam keabadian.

Itulah iman kristiani. Iman akan kebangkitan. Mampukah, tepatnya maukah kita melihat apa yang tak terlihat?

Berdiri dan berdoa di makam satu-satunya menjadi kenangan akan almarhum yang telah pergi ke rumah Bapa.

Tidak ada ketakutan sedikit pun. Yang ada ada hanya sebuah kenangan indah yang  muncul begitu saja. Secuil kisah kehidupan.

Ada dorongan menceritakan betapa almarhum baik. Betapa ia telah menggembirakan keluarga. Ada kebanggaan betapa ia mencintai keluarga dan berbuat baik. Kadang almarhum sendiri tidak memikirkan diri sendiri.

Sebuah kenangan indah bersama tergiang.

Ada ingatan di mana kebaikan itu memudar. Pertengkaran dan salah paham mencuat.

Bukan untuk menyalahkan. Tetapi sebuah pembelajaran bahwa kesabaran, perhatian, dan cinta itulah yang utama.

Tiba-tiba seorang ayah menangis. Anak-anak pun ikut terisak-isak. Dan aku terdiam hening. Berdoa dalam hati

“Romo saya tidak bisa melupakan dan sungguh  tidak bisa. Hati saya sedih dan jiwa saya hampa. Terlalu cepat pergi. Satu yang saya sesali, kenapa pada saat-saat terakhir, saya tidak tahu, tidak mengira. Ia pasti membutuhkan saya,” tangis umat paroki. Seorang bapak keluarga dengan beberapa anaknya. Kini ia jadi single parent.

Peristiwanya sungguh hanya sepele. Namun membekas sangat dalam. Ada semacam penyesalan di sana. Hutang yang tak mungkin terbayarkan lagi.

“Ketika pulang dari toko, tiba-tiba isteri berkata, ‘Pi, yuk beli makanan yang hangat. Aku lagi nggak enak badan. Aku ingin makan yang panas-panas.’

‘Mami pergi aja sendiri sama anak-anak. Aku sudah capek, ingin beristirahat.’

‘Enggaklah Pi. Aku ingin berdua saja. Anak-anak nanti dibungkusin aja. Lagian sedang ulangan. Kasihan. Aku ingin berdua dengan Papi. Sudah lama kita tidak makan malam bersama berdua. Ayo sebentar saja.’

“Ya udah aku mandi dulu. Jawab saya agak ketus, Mo.

Kami menikmati acara makan bersama. Karena badan capek, saya banyak diam. Tanpa banyak menggubris dan memperhatikan isteri. Ia kelihatan menikmati betul. Banyak cerita. Mulai dari anak-anak yang kadang menjengkelkan, tapi hatinya tampak gembira. Ia bangga punya anak-anak. Hal-hal kecil yang terjadi di rumah, semua itu diceritakan. Ceriwis sekali,” kisahnya panjang.

Mangan no sek to. Ini kok malah ceriwis,” kataku menyela.

“Yo sambil cerita to Pi. Mosok meneng ae. Yen, arep mangan tok, yo dibungkus. Mangan nang omah. Arep crito ae rak oleh. Sopo ngerti, iki yang terakhir,” demikian rengeknya.

“Ngawur kui lo, omonganmu. Ngawur ae,” kataku super sewot.

Tiba-tiba tangan kanannya merangkul saya dari belakang. “Sabar to Pi… Pi…”

Ia menambahi beberapa sayur dan lauk di piring saya. Saya diam saja dan menikmati.

Ketika anak-anak makan, Si Kecil bilang, “Mi, temani dong Mi. Nggak enak makan, kalau nggak ada Mami.”

“Makan sendiri. Mami sedang tidak enak badan. Biar Mami istirahat,” kataku enteng.

“Ayo nggak apa-apa. Mami temani. Makan yang banyak. Habisin ya supaya kalian sehat,” kuingat betul kata-kata isteriku.

Malam rada aneh. Anak-anak akur. Tidak berebut dan saling mendahului seperti biasa. Isteri banyak memandang dengan senyum. Ia menambahi lauk di piring anak-anak.

Sepekan itu adalah hari-hari ceria. Lalu ia meninggal di kamar, ketika saya tengah bekerja dan anak belajar dengan cara streaming.

Isteri saya pulang dengan tenang tertidur dalam sikap doa.

Natanael bertanya, “Bagaimana engkau mengenal aku?”

Kata Yesus, “Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka Engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar daripada itu.”

Hanya dengan kebesaran jiwalah, masa lalu dapat dilepaskan demi masa depan.

Hari ini, kita merayakan Pesta Santo Mikael Gabriel, dan Rafael, Malaikat Agung, jubir Allah bagi kita.

Tuhan, ajari aku melihat terang-Mu di setiap peristiwa hidupku. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here