Tokoh Islam di Sinode Keuskupan Tanjungkarang: Pemicu Konflik Itu Pemimpin Agama, Bukan Kelompok Akar Rumput

0
497 views
H. Sudarman saat berbicara di pleno sinode Keuskupan Tanjungkarang, Lampung. (Sr. Fransiska Agustin FSGM)

Pengantar redaksi

Ini syering iman dari tokoh Islam Organisasi Muhammadiyah: Dr. H. Sudarman MAg. Disampaikan di acara Pleno Sinode Keuskupan Tanjungkarang di Rumah Retret La Verna, Padangbulan, Lampung, Jumat, 3 Juni 2022.

Takut Berkelahi

54 tahun yang lalu, seorang bayi kecil Bernama  Sudarman lahir di Purwodadi, Gisting, Lampung, 1 Juli 1967. Buah cinta dari pasutri Kariyak dan Ngadiyem. Gisting itu dulu Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Lampung Selatan.

Saat ini, Gisting menjadi Kecamatan Kabupaten Tanggamus.

Sejak kecil, Sudarman sudah berteman baik dengan orang-orang Katolik. Tidak ada masalah. Tidak pernah berkelahi, karena Sudarman kecil itu paling takut berkelahi. Teman-teman mainnya itu hingga sekarang masih terajut baik.

Sudarman kecil bersekolah di SD Negeri 1 Gisting. Rumahnya terletak di belakang sekolah, mepet dengan kuburan Cina.

“Jadi, kalau wajah saya seram dan gelap, ini efek dari rumah saya yang dulu mepet kuburan,” ujarnya berkelakar.

Lebih percaya lonceng gereja

Setiap hari, keluarga Sudarman mendengar bunyi lonceng gereja berdentang sebanyak tiga kali: pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore.

Sudarman kecil tidak tahu mengapa pada jam-jam tertentu itu lonceng gereja selalu berdentang. Saat itu, yang Sudarman ketahui bunyi lonceng itu menunjukkan waktu. Pertanda, ia harus melakukan sesuatu yang rutin.  

Ketika lonceng gereja berdentang pagi hari, pertanda Sudarman kecil harus siap-siap berangkat sekolah. Kalau siang hari pertanda waktu makan siang.

Ibunya berkata, “Ayok makan, karena sudah lonceng,” ujar Sudarman meniru kata-kata ibunya.

Begitu pula waktu mahgrib. Kalau anak-anak Ngadiyem ada yang belum mandi, belum rapi, belum beres, siap saja dimarah ibu, “Bagaimana lonceng gereja sudah berbunyi, kamu belum bersih, belum mandi?”

Keluarga Sudarman mengaku lebih percaya pada lonceng gereja dibanding jam dinding di rumah mereka. “Kami semua tidak pernah melihat jam. Lagi pula di rumah tidak punya banyak jam. Cukup mengandalkan bunyi teng… teng… teng. Itu berarti pukul 6, 12, dan 18.00,” begitu cerita Sudarman.

Sudarman kecil sungguh tidak tahu kalau lonceng gereja itu bermakna bagi umat Katolik. Masyarakat di sekitar rumahnya pun menjadikan lonceng sebagai barometer waktu yang bisa digunakan untuk melakukan banyak hal.

Tokoh Muhammadiyah di Lampung: Dr. H. Sudarman. (Ist)

Naksir perpustakaan Katolik

Setelah lulus SMA, Sudarman melanjutkan studi S1 di Solo. Dosen-dosennya banyak yang dari Yogyakarta. Para dosen merekomendasikan perpustakaan yang nyaman untuk membuat makalah adalah Perpustakaan Kolese St. Ignatius (Kolsani) dan Perpustakaan Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma (FTW-USD) di Kentungan, Yogyakarta.      

Tahun 1991-1993 Sudarman pengguna dua perpustakaan itu. Ia merasa mendapat pelayanan baik dan ramah dari petugas perpustakaan. Selain itu, mudah untuk mencari buku-buku karena sudah memakai komputer.

Ruang bacanya enak. Nyaman. Rapi. Tidak berisik. Para pengunjungnya pun santun. Selama kuliah di Solo, Sudarman mengakui perpustakaan terbaik yang ia jumpai adalah milik lembaga gerejani Katolik.

Galak dengan orang Kristen

Lulus S3. Tahun 2011 Sudarman pulang ke UIN (Universitas Islam Negeri) Raden Intan Lampung. Selain mengajar, ia juga aktif di masyarakat dan organisasi Muhammadiyah. Ia menjadi sekretaris pimpinan wilayah Muhammadiyah Provinsi Lampung selama 12 tahun.

Sudarman mengaku bahwa sejumlah orang di organisasinya itu sering kurang begitu “bersahabat” dengan kawan-kawan Katolik dan Kristen. 

Tetapi ada sejarah baik, yang perlu kita ketahui bersama.

Sudarman bersama para peserta pleno sinode Keuskupan Tanjungkarang. (Sr. Fransiska Agustin FSGM)

Kolaborasi

Pada 18 November 1912, Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Gerakannya diizinkan oleh Hindia Belanda dalam Karisidenan Yogyakarta.

KH. Ahmad Dahlan memiliki hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh Katolik di Yogyakarta. Ia sering jalan pagi untuk shalat subuh. Dalam perjalanan pulang ia sering bertemu dan ngobrol dengan para pastor, khususnya Romo van Lith SJ.

“Umat Islam itu banyak. Tetapi kenapa tidak banyak yang peduli. Kamu termasuk salah satu orang yang begitu peduli. Sebaiknya punyalah panti asuhan, rumah sakit, rumah sosial, dll,” begitu ungkapan hati Romo Van Lith SJ kepada KH Ahmad Dahlan, sahabatnya.  

Dari obrolan santai itu lahirlah klinik untuk pertama kali di Notoprajan, Yogyakarta. Di klinik itu juga ada dokter-dokter Katolik.

Klinik ini terus berkembang besar menjadi RS PKU (Pembinaan Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah.

Inilah hasil kolaborasi antar tokoh Muslim dan Katolik waktu itu. Kolaborasi dua agama yang produktif.   

Berikut hasil refleksi Dr. H. Sudarman, M. Ag:

  • Perjumpaan itu indah. Saya banyak menemukan sesuatu yang darinya saya dapat belajar untuk memperbaiki keberagamaan saya.
  • Jadilah tokoh dan pemeluk Katolik yang inklusif dan terbuka karena pada zaman sekarang ini tidak mungkin lagi kelompok penganut agama hidup ekslusif dan tertutup.
  • Teruslah lakukan dialog dan perjumpaan dengan banyak orang untuk saling memberikan kekuatan.
  • Hidup dan damai adalah fitrah. Maka mari kita jaga bersama fitrah itu.  
  • Biarkan sapi, kerbau, kambing, dan kuda makan di tempat yang sama. Makan rumput yang sama.

Pemicu konflik bukan umat, tapi pemimpin

Mereka tidak akan berkelahi. Yang berkelahi itu biasanya para gembalanya.

Maka, kita harus tampil menjadi gembala yang hidup rukun dan damai.

Jika para gembalanya penuh kepentingan yang menyebabkan konflik, maka kuda, kambing, dan kerbau juga akan berkelahi.

Jarang yang namanya konflik antar umat beragama itu dimulai dari pemeluk akar rumput.

Biasanya dari para elit perkotaan yang mempunyai kepentingan: politik atau ekonomi.

Jangan pernah itu terjadi pada kita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here