Trauma Anak akan Sosok Ayahnya

0
340 views
Ilustrasi - Gangguan sakit jiwa (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Kamis, 31 Maret 2022.

Tema: Bukan Titik Akhir Takdir.

Bacaan.

  • Kel. 32: 7-14.
  • Yoh. 5: 31-47.

DALAM sebuah pelajaran agama, ketika dengan pelan tapi tersadari, dilafalkan doa Bapa Kami, semua anak lalu menundukkan kepala. Tangan terkatup dalam sikap doa.

Saya sedikit membuka mata, melihat sikap doa anak. Ada satu anak yang gelisah. Ia  membuka mata dan melirik ke jendela luar. Tidak ada gerak bibirnya. Akhirnya ia menutup mata dan menunduk. Terkesan juga tidak berdoa.

Lalu saya suruh mereka menulis doa Bapa Kami. Boleh dihiasi apa saja sesuai hati mereka.

Mereka juga boleh membuat lukisan apa saja dengan tema “bapakku itu baik”.

Saat mengerjakan, anak itu lebih banyak diam saja. Saya melihat jelas, ia mulai meneteskan airmata. Kebetulan ia duduk paling belakang dan sendiri.

Teman-temannya tidak bisa melihat. Saya melihat dia sering mengusap pipinya yang tertetes air mata.

Ketika kertas pekerjaan dikumpulkan, ia tidak menulis apa pun kecuali satu kalimat,”Mati aja dia.”

Saya berkunjung ke rumahnya dan bertemu dengan ibu, dia, dan kedua adiknya.

Sesaat kami ngobrol bersama. Saya bertanya kepada si ibu, “Wah lengkap berkumpul semua. Kurang bapaknya anak-anak.”

Ketiga anaknya memandang mamanya. Secara bergantian mereka pamit dan masuk kamar mereka. Saya ingat kata-kata, “Maaf, Frater, ada tugas harus dikerjakan.”

Tinggallah saya dengan ibunya. Sejenak ia merunduk. Saya pun kelu. Tidak tahu harus bicara apa. Tetapi batin saya berkata, pasti ada sesuatu dalam keluarga ini.

“Maaf Frater, kalau merasa tidak nyaman. Kami baru dua tahun ini pisah dengan bapaknya anak-anak. Memang di awal perkawinan kami sudah sering rebut, tetapi saya selalu mengalah.

Tidak membela diri Frater, bapaknya anak-anak temperamental. Suka marah. Dan kalau marah pasti anak-anak menjadi sasaran amarah. Padahal saya dan anak-anak tidak salah. Bila ada kata kata-kata yang melawan dia, saya dan anak menerima kekerasan.

Saya berkali-kali bilang dalam kesempatan berdua, janganlah pukul anak. Tetapi, rupanya tidak digubris. Semua dilampiaskan ke saya dengan marah, mengancam bahkan menunjuk-nunjuk jarinya ke muka saya.

Ya kadang saya agak nantang.

Lama-lama anak kami juga berani menjawab ayahnya. Apalagi kalau mereka tahu bahwa saya selalu menjadi sasaran amarah dia,” ungkap ibu itu sedih.

“Bagaimana dengan kehidupan ekonomi?”

“Ya, lebih banyak saya yang menanggung. Saya bekerja. Penghasilan saya lebih besar. Bisa mencukupi anak-anak dan biaya rumahtangga.

Gaji dia kadang habis untuk dirinya sendiri. Kalau ditanya selalu marah. Seakan-akan dia tertuduh sebagai bapak yang tidak bertanggungjawab. Padahal, memang tidak ada untuk kami.

Saya selalu menutupi di hadapan anak-anak, seakan-akan seluruh biaya rumah tangga itu dari ayahnya. Dan gaji saya ditabung untuk kebutuhan mereka. Anak tidak tahu.

Saya sudah mencoba bertahan. Kebetulan memang tidak seiman. Saya ikut dia. Tapi lama-kelamaan ketika perangai kasarnya tak terbendung, saya kembali ke gereja. Romo paroki kenal dengan orangtua saya. Juga tahu sedikit tentang perkawinan kami.

Tapi saya tidak menyesal. Saya tetap setia di dalam hati. Saya berani memutuskan untuk kembali kepada Gereja. Kendati dalam keadaan yang hancur dan keluarga berantakan.

Saya sadar. Saya yang memutuskan. Saya usir dia dari rumah. Rumah ini milik orangtua. Kebetulan saya anak tunggal. Secara materi, dari dia saya tidak mendapat apa-apa.”

“Apakah tidak ada tanda-tanda yang meragukan ketika pacaran?”

“Rasanya biasa saja. Saya tidak tahu dan tidak menyangka. Untung mendiang almarhum bapak ibu meminta saya membuat harta terpisah.

Saya percaya, Tuhan pasti menyertai kami. Kendati saya seorang single parent. Saya hanya ingin hidup damai dengan anak-anak dan membesarkan mereka saja.”

Sabda Tuhan, “Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak benar; ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberitakan-Nya tentang Aku adalah benar.” ay 31-32.

Tuhan, berilah aku rahmat untuk berani belajar percaya kepada-Mu. Juga keluargaku. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here