SAMA-sama berada di wilayah administratif pemerintahan Provinsi Kalbar, namun kondisi tekstur jalan di wilayah pastoral Keuskupan Agung Pontianak dan Keuskupan Ketapang rupanya punya ‘karakter’ sedikit berbeda.
Akses jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten di beberapa wilayah di Keuskupan Agung Pontianak bolehlah dibiang sudah relatif jauh lebih baik lantaran jalannya sudah banyak yang beraspal.
Taruhlah itu akses utama dari Kota Pontianak menuju Singkawang melalui Siantan, Pinyuh, Mempawah.
Demikian pula, dari Pontianak menuju Entikong di garis batas Serawak, Malaysia, maka jalan super mulus sudah ada di sepanjang rute Pontianak menuju Simpang Ampar, lalu kemudian menuju Sosok kemudian Kuala Dua, Balai Karangan, dan kemudian Entikong, lalu lanjut ‘menyeberang’ ke Malaysia Timur.
Begitu pula, kondisi jalan rute dari Simpang Ampar menuju Ketapang. Atau, dari Simpang Ampar menuju Sosok kemudian Bodok dan Sanggau.
Jalan berkobang penuh bubur lumpur
Di banyak ruas jalan di wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Ketapang dan Keuskupan Ketapang, kondisinya jauh lebih ‘mengenaskan’.
Memang di beberapa titik sudah ada jalan mulus bernama Trans Kalimantan.
Namun, di beberapa ruas jalan yang sempat kami lalui akhir Desember 2016 dan kemudian akhir Juni 2018, praktis semua akses jalan negara, jalan provinsi , dan apalagi jalan kabupaten, dengus nafas “menahan derita” selalu terjadi di sepanjang rute berikut ini:
- Ketapang menuju Sandai di mana separuh jalan harus menerobos badan jalan yang belum beraspal. Kondisinya jalan tanah lumpur berbatu-batu dan penuh kobangan bubur lumpur di kala hujan.
- Sandai menuju Riam Dadap yang tidak menyediakan jalan aspal, selain “jalan perusahaan” dengan tekstur tanah liat pekat nan licin di kala hujan dan kabut debu di musim kemarau. Pada perjalanan turne pasca Natal 2016 lalu dan penulis ikut serta, maka rombongan Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi memilih menggunakan speedboat dari Sandai menuju Riam Dadap dengan cara menyusuri aliran Sungai Bihak. Itu pun juga dengan tantangan: banyak jebakan maut berupa riam-riam dan derasnya arus.
- Kendawangan menuju areal perkebunan sawit PT Cargill hingga kemudian ke Air Upas.
- Tanjung menuju Tumbang Titi di mana jalan beraspal hanya berkisaran 2-3 km saja, selebihnya jalannya ‘hancur-hancuran’.
- Tumbang Titi menuju Tembelina dalam kondisi hancur.
- Tembelina menuju titik persingguhan jalan dari Ketapang-Kendawangan: hancur.
Kalau mau jujur, sebenarnya kondisi jalan di wilayah Keuskupan Agung Ketapang, Keuskupan Sintang dan Keuskupan Sanggau ya sami mawon.
Turne ke Keuskupan Ketapang, Kalbar: Namanya Jalan Bauksit (4)
Begitu keluar dari jalan negara atau jalan provinsi beraspal, maka jalanan menuju kampung-kampung tidak ada bedanya dengan kondisi jalan yang sifatnya ‘campur-aduk’. Itu berarti, kondisi badan jalannya itu kadang baik dan namun itu pun hanya sementara waktu. Dan selebihnya, ya hancur-hancuran.
Maka tak heran bila para imam yang berpastoral di wilayah empat keuskupan di Provinsi Kalbar (Pontianak, Samggau, Sintang, dan Ketapang) biasanya memiliki armada mobil jenis 4×4 WD atau sepeda motor trail. Bukan untuk gaya-gayaan, namun untuk menjawab tantangan di lapangan.
Sejenak di Paroki Tanjung
Hujan sangat lebat masih mengguyur kawasan Kabupaten Ketapang, ketika mobil 4 x 4 WD yang dikemudikan Romo Bangun Pr baru saja meninggalkan ‘jalan perusahaan’ bernama Jalan Bauksit di wilayah agak sedikit keluar dari Air Upas.
Hujan yang begitu lebat itu tentu menjadi anugerah alam yang terindah bagi para petani dan peladang yang memiliki halaman dan kebun di mana aneka tetumbuhan telah tumbuh dan membutuhkan air untuk kehidupannya. Hujan adalah rahmat besar bagi mereka yang memilik areal pribadi untuk pohon karet atau tanaman keras lainnya.
Namun ketika guyuran air dari langit itu menimpa bumi dan terjadi pada malam hari di tengah ruas-ruas jalan berbatu dan berlumpur, maka hal itu menjadi sesuatu hal yang tidak mengenakkan. Hujan seperti itu mau tak mau bisa menghalangi pandangan mata ke depan dan itu telah menyulitkan Romo Bangun melakukan manuver berkemudi. Berkali-kali goncangan mobil untuk menghindari genangan air dan kobangan lumpur sungguh tak membuat perjalanan menjadi nyaman bagi pengemudi dan penumpangnya.
Pipit berada di kabin depan, penulis bersama seorang OMK yang menjadi korban kecelakaan tunggal ada di kabin tengah, sementara kabin belakang sudah penuh berisi ransel dan aneka barang lainnya.
Kami berempat mula-mula mampir doan ke Paroki Tanjung. Di ini kami mengobati luka-luka di kaki aktivis OMK dari Tembelina. Sr. Elisa Petra OSA –bidan desa yang gagah berani menyusuri jalanan hutan dan kampung untuk membantu persalinan—bertindak sebagai ‘dokter’ dadakan.
Di pastoran ini, kami berjumpa dengan sejumlah imam diosesan Keuskupan Ketapang yang tengah istirahat usai menghadiri Misa Penerimaan Sakramen Imamat Diakon Mite Pr di Paroki Air Upas dan ingin bermalam di situ. Barulah esok harinya, para imam itu akan meneruskan perjalanan mereka ke parokinya masing-masing.
Karena lapar dan haus, maka sembarang makanan yang ada di meja makan segera kami santap di situ. Pipit tampak sungguh menikmati enaknya durian hasil panen matang di hutan yang tersaji bebas di meja makan.
Makan enak di Tumbang Titi
Lagi-lagi hujan deras kembali mengguyur bumi, ketika rombongan kami baru saja tiba di halaman Paroki Tumbang Titi. Sejumlah imam baru saja menyelesaikan makan malamnya di situ. Tanpa ba-bi-bu lagi, maka kami berempat pun lalu ikut ambyuk makan di ruang makan yang berlokasi di sisi samping.
Dengan wajah kuyu lantaran kecapean dan saking laparnya, kami berempat menikamati makan malam yang begitu enak.
Hujan deras belum berhenti, ketika kami memutuskan berpamitan kepada para romo di Tumbang Titi untuk selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Ketapang, sembari mampir di Tembelina untuk “menyerahkan’ OMK yang kecelakaan itu kepada keluarganya.
Horor di jalanan Mahawa Punuk
Baru saja kami meninggalkan kompleks Pastoran Tanjung, kami menghadapi hal yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Untuk Romo Bangun, segenap pastor dan suster yang sudah lama berkarya di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang, maka pemandangan ini sudah lumrah terjadi bagi mereka.
Namun bagi kami –saya dan Pipit—maka kemacetan di jalan depan itu merupakan ‘horor’.
‘Horor’, karena tiba-tiba laju perjalanan kami di jalanan penuh kobangan bubur lumpur dan pekat serta licin itu tidak bisa berlanjut lagi.
Dan itu akan menjadi kisah ‘horor’ sungguhan, kata Romo Bangun, ketika mobil sedan yang sudah terlanjur terperosok masuk ke dalam kobangan lumpur itu tidak mampu “mengangkat dirinya” keluar dari lobang lumpur sehingga harus menunggu bala bantuan datang.
Beberapa jam sebelum mobil kami tiba di titik simpang yang ‘full horor’ itu, puluhan mobil terpaksa menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan giliran bisa ‘menyeberangi’ ruas jalan berlumpur yang sangat pekat ini.
Kemacetan parah terjadi di dua arah berbeda.
Kejeblos kobangan lumpur
Malam itu, di depan kami dua buah truk sudah berhasil ‘menyeberangi’ jalanan bak lautan lumpur bubur yang sangat pekat. Mobil kami ada di barisan terakhir.
Di seberang sana, juga ada satu truk berhasil menyeberanginya. Lalu sebuah mobil sedan dan kemudian truk di belakangnya.
Romo Bangun mempersilahkan mobil dari “lawan arah” untuk maju terlebih dahulu menyeberangi jalanan full kobangan lumpur tersebut. Namun dari arah depan, mobil itu malah nge-dim memberi isyarat bahwa sebaiknya mobil kami bergerak maju duluan.
Romo Bangun memilih diam untuk memberi kesempatan mobil dari arah depan melakukan manuver terlebih dahulu.
Ternyata tunggu punya tunggu selama 10 menit, mobil itu tidak bergerak sama sekali. Tetap di posisi sama alias sudah tak mampu lagi jalan karena telanjur ‘kejeblos’ di lobang bubur lumpur.
Kami bertiga diam seribu bahasa. Saya dan Pipit agak gelisah, lantaran pemandangan seperti ini tidak ‘biasa’ bagi kami. Romo Bangun memilih diam, menunggu aba-aba dari arah depan kalau mobil sudah boleh jalan lagi.
Tunggu punya tunggu, tidak ada reaksi apa pun dari depan.
Kami bertiga sudah mulai gelisah. Kami putuskan turun dari mobil menuju ke arah depan untuk sekedar tahu kondisi kejadian yang sebenarnya.
Hujan rintik-rintik masih saja terjadi. Romo Bangun menyuruh saya agar segera memakai jas hujan, namun saya memilih tidak memakainya. Yang saya pilih adalah senter bertenaga batu baterei yang terpasang di dahi kepala.
Saya dan Pipit memutuskan turun dan mendekati mobil di arah depan. Ternyata, mobil itu gagal melakukan manuver berkemudi sehingga benar-benar tidak mampu ‘mengangkat dirinya’ untuk melaju ke depan.
Pipit terkejut bukan kepalang, bahwa mobil yang terlanjur terperosok masuk ke dalam kobangan lumpur itu berjenis sedan minivan merek Nissan Juke dan metic lagi.
Wuzz maju ke depan dan gagal manih
Untuk yang tahu bagaimana mengemudikan mobil metic, medan jalanan di Kabupaten Ketapang bukanlah tempat yang baik untuk menjajal kebolehan mobil berpedal dua.
Begitu tahu Nissan Juke itu metic, maka Pipit memberi aba-aba agar posisi transmisi diarahkan pada tuas manual.
Saya kebagian tugas memberi aba-aba kepada pengemudinya agar mengarahkan roda depan digerakkan ke arah samping agar bisa mendapatkan pijakan tanah yang lebih keras supaya terdorong ke depan.
Dua orang pengemudi truk bersedia membantu memberi daya dorong lebih dari posisi belakang.
Satu-dua-tiga.. wuzz maju sedikit dan gagal.
Lagi, satu-dua-tiga … wuzz maju sedikit, gagal lagi, namun posisi sudah lebih “aman”.
Dikasih aba-aba sama Pipit agar posisi roda diarahkan ke kiri dan baru kemudian langsung lurus ke depan.
Lagi, satu-dua-tiga, wuzz mobil beringsut bisa maju dan sedikit terseok-seok selip di atas jalanan penuh lumpur dan kemudian berhasil meninggalkan jalanan penuh horor tersebut.
Saya terkena imbasnya. Semua lumpur yang tergerus oleh roda ban tiba-tiba menyemprot ke arah muka dan bagian depan tubuh sehingga dalam sekejap, wajah dan seluruh tubuh saya berlepotan lumpur sangat pekat.
Sukses keluar dari kobangan lumpur
Mobil itu sudah melaju selamat. Pengemudinya seorang bapak muda dan di dalam kabin itu ada isterinya dan dua orang anak mereka yang masih kecil-kecil.
Hebat juga bahwa kedua anak tersebut tidak menangis atau ngambek lantaran mobilnya baru saja kejeblos dalam kobangan lumpur pekat.
Begitu mobil itu sudah bisa berjalan, bapak tersebut mengacungkan jempolnya ke atas di balik jendela dan membunyikan klakson –tanda berterima kasih kepada kami dan dua pengemudi truk yang tidak kami ketahui namanya.
Tapi, mereka berdua tahu bahwa di balik kemudi mobil yang kami tumpangi itu adalah Romo Bangun dan mereka langsung menyapanya.
Legalah hati kami, begitu kami berhasil membantu orang kesusahan.
Tibalah saatnya saya mencari kobangan air untuk mencuci muka, baju, kacamata, dan sandal yang sudah telanjur “mandi lumpur”. Tidak berhasil menjadi bersih kembali . Terpaksalah saya mengurbankan satu botol air mineral sangu perjalanan agar bisa mencuci muka dan membersihkan kacamata. Berhasil, tapi juga hasilnya tidak bersih-bersih amat.
Horor di jalanan itu terus berlanjut di sepanjang rute Tumbang Titi-Tembelina-dan titik simpang Kendawangan menuju Ketapang.
Banyak mobil –termasuk mobil truk tanki berisi BBM— tampak tak berdaya dan sudah teronggok di jalanan.Untunglah, posisinya ada di jalur kanan. Dengan demikian, ruas jalan itu masih menyisakan ruang kosong untuk mobil-mobil lain sehingga bisa melaju ke depan. Namun ya itu tadi: haru merelakan mengurbankan bodi mobilnya sampai ikut bermandikan lumpur pekat, karena harus nyemplung masuk kobangan lumpur.
Inilah pengalaman horor meniti jalan-jalan panjang penuh tantangan di medan pastoral Keuskupan Ketapang, Kalbar. (Berlanjut).