MITING menjadi satu kosa kata baru bagi saya.
Kata ini pertama kali saya dengar muncul dari mulut Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi.
Itu terjadi usai Natal 2016. Saat itu, kami bertiga bersiap akan segera pergi bersama Pak Harun –pengemudi— hendak menyusuri rute trayek Ketapang menuju Paroki Sepotong untuk melakukan perjalanan turne ke kawasan pedalaman Keuskupan Ketapang.
Mgr. Pius Riana Prapdi sengaja menyebut kata ‘miting’ itu untuk memberi wawasan bahwa dalam perjalanan turne nantinya akan banyak menjumpai ‘miting’.
Itulah saatnya, ketika roda-roda motor dan mobil harus bersiap menyediakan diri bersikap ‘pasrah’ menyusuri dan meniti bilah-bilah papan kayu untuk bisa melaju ke depan di atas ruas-ruas jalan ‘hancur-hancuran’.
Solusi jalan
Benar saja. Miting menjadi solusi tepat, ketika di jalanan yang berkobang lumpur pekat itu, roda-roda motor dan mobil tetap bisa melaju jalan dengan mengandalkan kekuatan bilah-bilah kayu.
Miting menjadi solusi tepat ketika badan ruas jalan sudah berubah menjadi ‘kolam’ kobangan bubur lumpur sehingga tak bisa dilalui oleh jenis kendaraan apa pun.
Itulah saatnya orang mengikat bilah-bilah papan untuk kemudian dijadikan ‘jembatan penyeberangan’ agar roda sepeda motor dan mobil bisa melaju jalan ke depan menapaki dan meniti bilah-bilah papan ini.
Miting sudah menjadi kisah keseharian hidup dan menjadi ‘penyambung nyawa’ bagi para pastor, suster, aparat pemerintah, dan semua orang yang tinggal di wilayah Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Menapaki dan meniti miting itulah yang dilakukan para pastor dan suster, ketika berpastoral di wilayah pedalaman yang tak jarang jalannya sudah berubah menjadi ‘kolam-kolam’ kobangan penuh bubur lumpur pekat.
Miting juga sudah menjadi bagian keseharian para pengemudi motor dan mobil di sepanjang jalan di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang ini.
Tanpa miting, sudah pastilah perjalanan menyusuri jalan-jalan yang berkobangan dengan ‘isi’ bubur lumpur itu takkan bisa dilakukan.
Layaknya jembatan yang menghubungkan dua ruas jalan di atas aliran sungai, maka fungsi miting persis menjadi penghubung antara ruas jalan kategori ‘baik’ dengan ruas jalan berkategori ‘buruk’ hancur-hancuran.
Miting ibarat penyambung ‘nyawa’ para pengemudi motor dan mobil –termasuk di sini truk satu engkel—yang setiap hari melaju di jalanan di seluruh wilayah Keuskupan Ketapang, Kalbar.
Jangan anggap gampang meniti miting dengan mobil dan sepeda motor.
Sebagai rider dan sopir, saya dibuat sedikit ngeri setiap kali mobil yang kami tumpangi bersama Pipit dan Romo Bangun harus beberapa kali meniti miting pada malam hari.
Itu terjadi dalam perjalanan kami pulang dari Paroki Air Upas menuju Kota Ketapang melalui rute Tanjung, Tumbang Titi, Tembelina, akhir Juni 2018 lalu.
Giri rompal jatuh dari miting
Tentang ‘gawatnya’ berjalan meniti miting tersebut, Mgr. Pius Riana Prapdi mengisahkan bahwa banyak imam diosesan Keuskupan Ketapang sudah menjadi ‘korban’ kecelakaan tunggal saat melaju motornya di atas titian miting.
Romo Ir. Simon Yogatama Pr –Sekretaris Keuskupan Ketapang—menjadi salah satu contoh ‘korban’ meniti miting dalam sekali waktu melakukan perjalanan turne ke pedalaman.
Waktu itu, kata Mgr. Pius, miting berada di atas ketinggian sekitar satu meter di atas permukaan tanah. Di bawah miting tersebut, kondisi jalan dalam bentuk ‘hancur-hancuran’ alias penuh kobangan lumpur pekat dan tak mungkin motor jenis apa pun bisa melalui jalan di bawah miting tersebut.
Singkat cerita, Romo Simon akhirnya meniti jalan miting tersebut.
Badan jalan miting itu hanya selebar sebilah papan, cukup untuk roda motor. Sementara kedua kaki harus menginjak bilah-bilah papan lainnya.
Mungkin karena kurang menjaga keseimbangan, kata Mgr. Pius, Romo Simon akhirnya jatuh dari ketinggian miting tersebut.
Insiden itu membuat Romo Simon harus kehilangan beberapa gigi bagian depan karena rompal (patah hancur) terkena benturan keras di jalan di bawah miting.
Turne ke Keuskupan Ketapang, Kalbar: Horor di Jalan Rute Ketapang-Tumbang Titi-Tanjung (5)
Inilah sekelumit percikan pengalaman para imam dan suster yang berkarya di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalbar.
Ciri umumnya adalah fakta bahwa di medan lapangan kerjanya terdapat banyak tantangan alamnya, terutama jaringan transportasi dan komunikasi yang belum ada atau kalau pun ada kondisnya masih ‘hancur-hancuran’. (Berlanjut)