Urusan Nikah: Biarlah Pasangan yang Tentukan Masa Depannya Sendiri, Orangtua Cukup Kasih Restu

0
293 views
Ilustrasi - (Ist)

APERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Jumat, 30 Juli 2021.

Tema: Out of the box.

  • Bacaan Im 23: 1, 4-11, 15-16, 27, 34b-37.
  • Mat. 13; 54-58

BIBIT bobot bebet adalah tiga kata yang sering menjadi patokan, bila seseorang  ingin membangun keluarga.

Orangtua pasti mempertimbangkannya secara serius

Semua hanya itu demi kebahagiaan bagi putera-puterinya. Tidak ada maksud lain. Karena tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya bila kemudian membangun biduk rumahtangganya sendiri.

Tapi, benarkah itu patokan satu-satunya?

Manusia adalah pribadi yang berkembang dan bertumbuh. Ia punya kesadaran dan harapan dan juga nalar. Untuk  memampukan memilah-milah mana yang terbaik dalam hidupnya.

Bukankah kita tidak begitu saja percaya akan takdir.?Segala sesuatu bisa diubah. Tak ada yang tak mungkin.

Satu hal agak pasti,  hidup adalah sebuah pertarungan. Tidak hanya perjuangan antara hidup dan mati. Tetapi  sebuah pertempuran iman.

Karena apa yang terjadi dan bahkan yang tercapai di dunia ini hanya sementara. Sangat riskan dan tidak bijaksana, kalau pertimbangan, harapan akan hidup setelah di dunia ini tidak termasuk dalam pertimbangan.

Ikuti saja

Sepasang remaja yang sudah saling kenal akrab selama hampir dua tahun lamanya akhirnya memutuskan berpisah.

Kedua orangtuanya tidak setuju. Dasar “anak mama”,  mereka berdua sepakat mengakhiri hubungan. Mereka dipaksa dijodohkan, hanya karena pandangan  yang dianggap memenuhi syarat: bibit, bobot dan bebet.

Meski berpisah, keduanya tetap memelihara pertemanan. Lalu keduanya berhasil membangun biduk rumahtangganya masing-masing. Juga kedua tinggal di dua kota yang berbeda. Sudah tidak berhubungan satu sama lain.

Orangtua berbahagia melihat anak mantu dan cucu bergembira. Karena juga tidak ada kekurangan apa pun dalam hidup mereka. Terkesan baik dan bahagia dan memanglah demikian.

15 tahun kemudian ibu dari salah satu perempuan itu meninggal. Sedih bukan kepalang. Sementara, suaminya malah mulai bertingkah.

Karena merasa dijodohkan, demikian pikir suami, maka isterinya harus nurut tanpa syarat kepadanya. Ia merasa diatas angin.

Kesendirian dan kehilangan sosok yang dia cintai, ibunya, membuat sang  isterinya menjadi sasaran dan omelan. Batin mulai goncang dan hati pedih.

Dasar anak mami, ia pun tak sanggup lagi.

Mereka lalu pisah. Anak-anak ikut ibunya. Ia lalu membuka usaha,  warung kecil-kecilan untuk memenuhi nafkah. Mereka berjuang untuk bertahan hidup. Tidak banyak yang dihasilkan, tapi cukup untuk makan sehari-hari.

Sementara, sahabatnya yang dulu ternyata juga mengalami hidup yang tidak mulus. Ia ditinggal oleh isterinya yang sudah kawin dengan orang lain.

Ia terpuruk dan mulai suka mabuk-mabukan. Hidupnya jadi tidak karuan. Dan pada saat sedih-sedihnya, ia merasakan hidup kian merana.

Hatinya terluka, merasa pahit hidupnya ketika  mamanya meninggal. Sedih luar biasa ditinggal oleh orang yang dicintai. Tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Mencintai itu menyakitkan. Ia harus berani melupakan dirinya untuk membahagiakan yang lain. Ia pun harus banyak menahan keinginan, berpikir ulang tentang perasaannya sendiri. Itulah  pengorbanan.

Ada saatnya rasa cinta itu menipis tetapi pada saat yang sama, pelan dan pasti berubah menjadi mengasihi. Ia rela kehilangan arti dirinya sendiri.

Tiba-tiba mereka bertemu kembali dalam sebuah reuni sekolah. Terbukalah sejarah hidup mereka masing-masing.

Mereka saling menguatkan. Mereka tetap bersahabat dan saling membantu.

Yang puteri mengaku sangat traumatik akan hidup berkeluarga. Ia juga tidak berniat membangun keluarga kembali.

Ia ingin mendidik anak-anaknya. Ia tidak ingin melukai anak-anaknya. Anak-anaknya pun keberatan, bila maminya berkeluarga kembali.

Mereka tetap memilih bersahabat dan saling meneguhkan satu sama lain. Bagi mereka apa yang dulu pernah mereka rasakan, alami tidak akan pernah hilang. Mereka menyadari akan lebih berbahagia, bila tidak berlanjut pada jenjang perkawinan kembali.

Saya pernah mengajukan, kalau masih ada benih-benih kasih kenapa tidak bergabung.

Bukankah pengalaman pahit bisa menjadi kekuatan bagi hidup yang lebih baik? Sebuah daya yang merangkul lagi segala sesuatu dan membangun kemanusiaan yang baru.

Bermurah hatilah.

“Romo, bukankah perkawinan itu tidak dapat diceraikan?” protes mereka.

Tuhan, dalam jalan sepi menuju kebahagiaan, kuserahkan perkaraku sesuai rencana-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here