Usai Bangkrut, Sukses Merintis dari Nol dan Kini Bersyukur

0
430 views
Ilustrasi - Merintis usaha dari nol. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Jumat, 14 Januari 2022.

Tema: Melampaui batas.

Bacaan.

  • 1 Sam. 8: 4-7, 10-22a.
  • Mrk 2: 1-12.

“ROMO kami jemput ya. Kita pergi bersama sekeluarga makan siang,” terdengar suara dari telepon.

“Baiklah. Tapi jangan jauh-jauh ya.”

“Baik, Romo.”

Sebuah keluarga dengan empat anak dan dua asisten rumahtangga menjemput. Suasana begitu akrab. Kami saling mengenal seperti keluarga sendiri.

“Kita ke sebuah restoran yang ada taman ya. Anak-anak bisa bermain sejenak.”

“Oh itu bagus baik.”

Kami pun sampai di restoran. Memang ada taman bermain yang bagus supaya keluarga yang mempunyai anak kecil bisa sedikit lega. Di sekitar taman itu ada semacam meja kursi untuk sekedar duduk atau menikmati makanan kecil dan sebagainya.

Kami pun memesan makanan.

Ada yang menarik dan menyentuh hati saya.

Di satu meja yang cukup besar kedua anaknya duduk di antara orang tuanya. Sementara si ibu memangku anak yang ketiga; masih berumur empat tahun. Dan baby sitter mengendong anak yang keempat berumur satu tahun.

Mereka pun semeja dengan kami.

Nyonya berkata, “Mbak pesen sendiri deh makanan yang disukai.”

Cukup senang saya mendengar pernyataan itu. Saya melihat mbaknya dengan tidak sungkan membuka daftar menu. Dan memesan dengan bebas.

“Kami senang romo. Kami sangat dibantu oleh mbak. Mereka adalah anak dari asisten kami yang lebih dulu. Orangtua mereka sudah tidak kuat lagi bekerja. Anak mereka melanjutkan. Kami anggap sebagai keluarga kami sendiri.

Mereka gemati sekali (begitu sayang) dengan anak-anak kami. Kan kami dua-duanya kerja romo. Kami bersepakat. Begitu kami sampai di rumah sekitar jam 17.00, anak-anak sudah mandi. Ketika sampe di rumah, menyapa anak sebentar langsung kami mandi. Setelah mandi kami berkumpul dengan anak-anak.

Mbak-mbaknya kami bebaskan dan beristirahat. Waktu bebas bagi mereka.

Kami bersenda gurau dengan anak-anak. Entah di dalam kamar maupun di ruang tv. Itulah saat kami berkumpul sebagai keluarga.

Waktu untuk keluarga.

Kami menghabiskan waktu sore hingga malam hanya dengan anak-anak. Makan dan berbicara bersama. Kadang-kadang papinya  membantu belajarnya anak-anak. Saya bermain dengan yang kecil.

Sebelum tidur kami berdoa bersama dan memberi tanda salib di dahi anak-anak.”

“Wah sangat menyenangkan dan imani,” kataku mengiyakan.

“Kami pernah bangkrut. Sebelum mempunyai anak-anak, kami giat bekerja. Kami ingin anak-anak terlahir dengan cukup fasilitas dan bergizi.

Suatu saat, kami ditipu romo. Beberapa langganan tak bayar tagihan. Tak tahu rimbanya. Utang belanjaannya banyak. Kami kurang hati-hati. Kami mengajukan pinjaman bank terlalu berani; lalu gagal bayar. Sementara toko papa mama ikut terbakar.

Jadi, sebagian besar barang kami diberikan ke papa mama.”

“Papa mama tahu?”

Tidak. Papa mama buka usaha di luar kota.”

“Lalu?”

“Kami menjual toko kami. Sebagian untuk membayar hutang dan sebagian lagi kami belikan tanah di pinggir kota. Kami memulai sesuatu yang baru.

Cukup lama, kami baru berhasil bangkit kembali. Hampir 10 tahun romo.

Kami merintis dari nol.

Sekarang kami bersyukur Tuhan mengembalikan apa yang telah hilang. Terlebih Tuhan mempercayakan  kepada kami  empat anak.

Tiga puteri dan seorang laki-laki. Kami bahagia. Kami percaya Tuhan dekat. Ia mendengarkan cerita hati kami. Bahkan Ia memberi yang kami butuhkan, kendati harus bekerja keras.

Tuhan menjadikan kami berkat bagi yang lain.

Papa mama juga masih sehat. Tokonya juga berkembang.

Sejak saat itu, kami berjanji untuk tidak pernah melupakan Tuhan. Anak-anak diajak berdoa setiap malam. Sabtu sore kami ke gereja bersama. Hari Minggu, kami memang sengaja untuk keluarga. Dua pekan sekali ke rumah papa mama.

Kami pun mengingatkan mbaknya untuk sholat. Kami menganggap mereka sebagai keluarga sendiri.”

Melihat iman mereka, Yesus berkata, “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni.”

Mengampuni berarti menyadari bahwa keluarga adalah persekutuan kasih yang abadi. Ia melampaui batas sekat-sekat kehidupan.

Tuhan, biarlah keluargaku menjadi tanah yang subur. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here