Usai Membangun CU Lestari Wonosobo, Sr. Theresianne PMY Jadi Misionaris di Belanda (3)

0
548 views
Sr. Theresianne PMY - Usai membesut CU Lestari Wonosobo, lalu menjadi misionaris di Negeri Belanda. (Dok. Sr. Theresianne PMY)

NEGERI Belanda dulu jadi negara produsen ribuan misionaris ke Indonesia. Sama seperti mayoritas negara-negara Eropa lainnya, kini Nederland mengalami masa “larut malam” dalam hal panggilan hidup bakti menjadi religius.

Miskin panggilan. Banyak biara, susteran, bruder, gereja, pastoran sudah berubah dan mengalami alih fungsi peruntukannya. Jadi museum, kafe, hotel, dan lainnya.

Maka, agar tetap eksis menjaga “tradisi” eksistensi tarekat religiusnya, sejumlah tarekat terpaksa “mengimpor” tenaga kerjanya dari Indonesia -negeri yang dulu mereka pasok tenaga religiusnya.

Dan itu juga terjadi dengan Kongregasi Suster Puteri Yesus Maria (PMY).

Karenanya, setelah sekian lama berkarya di negerinya sendiri, Kongregasi PMY Provinsi Indonesia lalu mengutus Sr. Theresianne PMY berkarya di Negeri Belanda.

Menengok masa silam

Akhir abad 18, para religius misionaris dari Eropa terutama dari Belanda mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Masuk melalui Batavia. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan misi untuk berkarya di kota-kota dan bahkan di pelosok Nusantara. 

Tak terkecuali para suster biarawati Kongregasi DMJ (Dochters van Maria en Joseph) yang di Indonesia dikenal sebagai Kongregasi Puteri Maria dan Yosef yang berpusat di Den Bosch, Negeri Belanda.  

Kedatangan mereka ke Wonosobo terjadi tahun 1938 atas permintaan Vikaris Apostolik Keuskupan Purwokerto saat itu Mgr. Visser MSC. Diajak untuk membuka sekolah bagi anak-anak tuli.  

Di musim dingin pun, naik sepeda juga mengasyikkan. (Koleksi Majalah de Heeriaan)

Spesialisasi karya pembinaan difabel dan marjinal

Kongregasi PMY didirikan oleh Pastor Jacobus Heeren dan perempuan muda bernama Anna Catharina van Hees. Terjadi sudah 200 tahun yang lalu dengan membawa spritualitas Vincentian pada setiap karyanya.  

Karya mereka khusus bagi orang miskin dan terpinggirkan, serta orang cacat. Dilakukan dalam bentuk pendidikan bagi anak tuli dan buta, pelatihan ketrampilan bagi remaja putri, rumah sakit ortopedi, dan panti jompo.  

Namun saat ini semua karya tersebut harus diserahkan ke lembaga swasta. Dari 23 komunitas yang tersebar di beberapa kota di Belanda,  sekarang tinggal dua komunitas yaitu di kota Den Bosch dan Nuland.  

Di Negeri Belanda, naik sepeda itu hal biasa dan malah menjadikan Sr. Theresianne PMY lebih bugar dan sehat. (Dok. Sr. Theresianne PMY)

Menjadi misionaris di Nederland

Dengan keterbatasan tenaga suster yang semakin tua dan tidak adanya panggilan, maka sejak tahun 2007 Suster PMY dari Indonesia mulai membantu di Generalat PMY di Kota Den Bosch Belanda.  

Pada bulan Oktober 2010, Sr. Theresianne PMY mulai bertugas menjadi ekonom Generalat PMY. Ia menjadi suster PMY Indonesia kedua setelah Sr. Antonie PMY yang mendapat mandat penugasan membantu berkarya di Belanda.  

Setelahnya, beberapa suster Kongregasi PMY dari Indonesia secara silih berganti berkarya dan malah disekolahkan di Negeri Belanda, tempat dulu negiri produsen para misionaris.  

Karya di kalangan kaum migran 

Delapan tahun terakhir ini, Sr. Theresianne PMY mulai mengampu pastoral lain. Yakni, membantu mendampingi kaum tuna wisma dan kaum migran di rumah singgah (home care)

Pendampingan dilakukan setiap hari Minggu, mulai pukul 13.00 sampai pukul 16.00.  

Pada awalnya dirasa sulit sekali untuk bergaul dengan penghuni rumah singgah. Mereka berasal dari negara yang berbeda dengan karakter yang beragam, terkadang malah juga punya perilaku antisosial.  

Saat musim panas hanya ada empat orang yang tinggal di dalam, karena penghuni yang lain lebih suka berjalan-jalan di luar.  

Seorang pria Filipina yang selalu menyendiri di sudut ruangan dengan tangan terlipat dan mata tertutup. Pria asing lain dari India selalu berbicara sendiri sepanjang waktu.  

Ada pria Turki yang berperilaku sangat agresif. Lalu ada orang keempat dari Afrika dengan kondisi badannya yang kotor karena tubuhnya tidak terawat.  

“Terkadang di saat yang bersamaan, tiba-tiba keempatnya bersikap agresif. Hal ini membuat saya panik dan ketakutan. Keadaan ini menimbulkan tanya dalam dirinya: Apakah saya dapat terus bekerja di sini?,” cerita Sr. Theresianne PMY. 

Kemudian tiba-tiba, Suster lalu teringat akan seorang perempuan pengunjung atau tamu bernama Ros (sebelumnya Ros tinggal di rumah singgah, namun setelah empat bulan dengan persyaratan tertentu akhirnya mendapat rumah sosial dari pemerintah).

Dulu sekali, Ros sungguh sosok orang miskin dan mempunyai kesulitan dalam relasi sosial.  

“Ia selalu memaksa saya memberik kupon bungkus kopi merk Douwe Egberts. Ketika hanya diberi hanya dua kupon, maka dia menjadi sangat marah. Ia ingin bisa mendapat minimal empat kupon, karena kupon itu dapat ditukar dengan uang,” jelas Sr. Theresianne PMY.  

Kemudian suster menyarankan, untuk bisa mendapatkan beberapa kupon tambahan, maka Ros harus mau melakukan beberapa pekerjaan seperti melipat handuk, mengosongkan tempat sampah, dll.  

Ia setuju dengan saran tersebut dan terus bertanya apakah dia dapat membantu lebih banyak. “Dengan mendapatkan kepercayaannya, maka dia membuka diri dan mulai berbicara tentang hidupnya yang membuat saya terharu,” ungkap suster. 

“Di dunia ini,” kata Ros, “dia hanya berbicara dengan tiga orang yaitu ibunya, saudara perempuannya dan saya,” jelasnya. 

Rumah Singgah. (Dok. Sr. Theresianne PMY)

Dari pengalaman sederhan itu, maka Ros mulai mau menyapa orang. Terkadang disertai dengan senyum tersungging di sudut bibirnya.  

Ia juga mulai mau membantu melakukan pekerjaan rumah di rumah singgah. “Pada saat saya berulang tahun, Ros malah mau memberi ucapan selamat dan kado ulang tahun,” ungkap Suster.  

Ketika menyajikan teh dan kopi, suster lalu menyapa dan menuangkan kopi sambil berdoa dalam hatinya.  

“Semoga kopi yang dituangkan ini bisa membawa keberuntungan bagi mereka,” kenang Sr. Theresianne PMY. 

Dengan melakukan itu, hubungan ke tingkat spiritual terjalin lebih mendalam.  

Jawaban atas pertanyaan: Apa itu kebahagiaan? Siapa orang yang bahagia? Seberapa jauh saya bisa berkontribusi untuk kebahagiaan seseorang? – semua itu akhirnya terjawab.

“Saya sangat senang dengan pekerjaan ini dan merasa kita bisa membangun kehidupan bersama,” kata Sr. Theresianne PMY. 

“Mutiara jalanan” 

Paus Fransiskus pernah berkata bahwa tunawisma dan pengemis adalah mutiara jalanan. 

“Awalnya saya tidak terlalu mengerti, tapi sekarang saya lebih mengerti. Sekarang saya dapat menghubungi mereka tanpa menghakimi dan membuat perbedaan di antara mereka,” tandas Sr. Theresianne PMY. 

“Saya sadar bahwa mereka juga  manusia yang diciptakan oleh Tuhan dan kita berdiri dan duduk sederajat. Ketika saya mengobrol dengan tunawisma, saya merasakan kebahagiaan luar biasa, karena fakta bahwa saya mungkin pernah mengalami hal yang sama dalam hidup.

Jika saya memikirkan para tuna wisma di rumah singgah, saya menjadi sadar bahwa mereka  sebenarnya adalah majikan dan guru saya. Pertemuan dengan mereka telah memberi saya wawasan tentang tugas saya sebagai ekonom,” jelas Sr. Theresianne PMY. 

Dan itu semua cocok dengan motto spiritual Kongregasi PMY: “In Omnibus Caritas’ – Dalam gegalanya adalah kasih. 

“Saya mencoba mempraktikkann dalam skala kerja yang sangat kecil danterbatas dan rasanya itu membuahkan hasil,” tandasnya.

Dibantu pemerintah

Sebagian besar kaum tuna wisma di Belanda sudah dengan sendirinya akan mendapat bantuan dana sosial dari pemerintah daerah. Itu secara otomatis diatur untuk pembayaran iuran kesehatan. Sisanya digunakan untuk biaya hidup.  

Dana sosial bantuan pemerintah itu  dipastikan tidak akan pernah cukup untuk membiayai kebutuhan agar para tuna wisma bisa bertahan hidup.

Karena itulah, mereka sering-sering mendatangi ke Rumah Vincentius atau Foodbank untuk mendapatkan makanan.  

Rumah singgah 

Pada malam hari, mereka dapat menginap di rumah singgah.

Rumah singgah ini juga menyediakan dokter yang datang sepekan sekali. Namun biaya obat yang dibutuhkan, sebagian harus ditanggung sendiri. Ini di luar pertanggungan asuransi.  

Atas kesulitan mendesak ini, pihak rumah singgah selalu mencari jalan keluar. Antara lain dengan menghubungi CvTB (Centrum voor Trajectenen Bemoeizorg) atau CAK (Central Administrative Kantor).   

Ini adalah lembaga yang membantu kaum miskin papa yang tidak memiliki asuransi kesehatan.

Namun, para tuna wisma masih saja tetap membutuhkan uang untuk membayar atas risiko hidup mereka sendiri. Karena tidak semua biaya pengobatan bisa diganti oleh pihak asuransi.  

Prakarsa Kongregasi PMY

Permasalahannya, mereka tidak bisa membayar risikonya sendiri.  

Untuk itu, Kongregasi PMY mulai mengumpulkan sejumlah dana untuk menutupi pengeluaran ini. Di antaranya bekerjasama dengan karya pelayanan Straatpastoraat.

Pastor yang menangani karya pelayanan bagi orang miskin jalanan ada di Den Bosch. Mereka akan mengatur kemungkinan berjejaring dengan institusi lain yang antusias seperti Family Vincentian Homeless Alliance.  

Karya sosial lain yang juga melibatkan Sr. Theresianne PMY adalah karya sosial yang telah dirintis Sr. Rosa DMJ bersama sejumlah ibu dari lingkungan Paroki Den Bosch. Harap tahu, rata-rata usianya sekarang sudah berumur 80-90 an tahun.  

Caranya dengan memberi keterampilan menjahit bagi kaum migran perempuan dan kursus bahasa Belanda. Tujuannya agar para migran mempunyai kemampuan berbahasa Belanda untuk mendapatkan pekerjaan.

Sumber: Wawancara dengan Sr. Theresianne PMY di Negeri Belanda

 
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here