Uskup Mgr. Agustinus Agus: Patung Yesus sebagai Panglima Burung di Jagoi Babang, Bengkayang, Kalbar (2)

0
333 views
Uskup Keuskupan Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus dalam sesi paparan rencana membangun ikon simbol kekristenan di wilayah perbatasan Kalbar-Serawak di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalbar. Tampak di latar belakang (ki-ka): arsitek Yori Antar, seniman instalasi Teguh Ostenrik, dan fotografer sekaligus videografer Kynan Tegar dari Sungai Utik. (Samuel Bjp)

Patung Yesus, Panglima Burung

Konsep patung Yesus ukuran besar -sebagaimana telah dipaparkan oleh seniman Teguh Ostenrik- sudah semestinya harus dibuat sesuai dengan tradisi kultural lokal di Kalimantan.

Dan itu, kata Teguh, adalah wujud patung bertema Yesus sebagai Panglima Burung.

Teguh ingin menekankan elemen-elemen simbol budaya lokal dengan elemen-elemen konsep desain lain yang sangat khas Kristiani. Yakni, elemen-elemen seni beratmosfir simbol kasih dan kedamaian.

Teguh juga menjelaskan secara spesifik bahwa simbol tersebut akan dituangkan dengan estetik pada raut wajah patung Yesus. Mulai pada bentuk hidung, mata, dan mulut.

Selanjutnya, elemen-elemen lainnya dituangkan dalam wujud gestur gerak tubuh dan motif busana lokal di mana elemen-elemen simbol budaya lokal Dayak.

Sebagaimana diketahui, ikon-ikon utama di dalam budaya itu adalah penampilan seni tari, burung enggang, alat musik, dan baju adat.

Dalam kesempatan itu, Teguh juga menjelaskan kepada sejumlah tokoh masyarakat yang hadir terkait sketsa model patung bertema Yesus sebagai Panglima Burung.

Gereja etnik Baluk Dayak Bedayuh

Sementara, arsitek Yori Antar memaparkan kontruksi bangunan gereja yang nantinya akan dibangun menurut gaya etnik Baluk khas Dayak Bedayuh.

Baluk adalah tipikal rumah adat suku Dayak Bidayuh.

Yang menarik, kata Yori, bentuk rumah adat Dayak Bidayuh ini boleh dikatakan sedikit agak berbeda dibanding rumah-rumah adat tipikal suku-suku Dayak lainnya.

Baik itu rumah tradisi budaya lokal di Kalimantan Barat dan rumah-rumah senada dari kelompok suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan secara umum.

Rumah Adat Baluk ini nantinya akan dibangun di Dusun Sebujit, Desa Hli Buei, Kecamatan Siding. Jarak dari Ibukota Bengkayang menuju tempat ini tidak kurang sekitar 134 km.

Lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat dengan waktu tempuh sekitar 2-3 jam dari Kota Bengkayang.

Untuk ritual tahunan

Rumah adat ini biasanya digunakan oleh masyakat suku Dayak Bidayuh sebagai tempat di mana biasa dilangsungkan acara ritual tahunan (nibak’ng).

Ritual budaya ini biasa dilaksanakan setiap tanggal 15 Juni, usai musim menuai padi dan untuk menyongsong musim penggarapan ladang tahun berikutnya.

Rumah Baluk yang sudah ada ini berbentuk bundar, berdiameter kurang lebih 10 meter dengan ketinggian kurang lebih 12 meter.

Beban berat rumah ini biasanya disangga oleh sekitar 20 tiang kayu dan beberapa kayu penopang lainnya serta sebatang tiang yang utamanya berfungsun sebagai tangga menyerupai titian.

Ketinggian ini menggambarkan kedudukan atau tempat Kamang Triyuh yang harus dihormati.

Nyobeng dan Nambok

Nyobeng adalah kegiatan ritual suku Dayak Bidayuh di wilayah Sebujit, Desa Hlibeui, Kecamatan Siding.

Nyobeng sudah lama dilakukan secara turun temurun. Ritual ini merupakan upacara adat Hliniau. Yakni, berupa sebuah upacara adat untuk permohonan berkat, kondisi sejahtera, kedamaian, ketentraman dan lainnya.

Yang menarik, upacara adat budaya ini hanya diperuntukan bagi kaum pria. Sedangkan bagi kaum perempuan, bentuk ritual adat budaya tersebut dinamai Nambok.

Kedua jenis adat budaya ini merupakan upacara adat baluk dan adat padi.

Atas dasar filosofi budaya lokal itulah, maka arsitek Yori Antar akan mengkonsep gagasan itu berdasarkan apa yang dia temukan di lapangan.

Apalagi, Yori sebagai arsitek sudah melalang buana membangun konsep rumah adat dengan prinsip “bottom-up”.

Artinya, berangkat dari budaya masyarakat lisan dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam pola budaya tulisan. “Bukan dari tekstual dan baru kemudian menjadi lisan,” begitu kata Yori yang disebutnya “top-down“.

Bangunan gereja dan bangunan lain guna mendukung berdirinya patung Yesus sebagai Panglima Burung ini akan dibuat dengan desain yang akan menyesuaikan dengan tata dan cara adat setempat.

Sudah pasti dalam hal ini adalah suku Dayak Bedayuh.

Simbol pembebasan

Kepada sejumlah tokoh masyarakat yang hadir itu, Uskup Mgr. Agustinus Agus memberi paparan tentang filosofi di balik elemen-elemen desain seni yang nantinya akan mengisi bangunan yang sarat dengan budaya Dayak lokal.

“Ini merupakan wujud ucapan terimakasih orang-orang Dayak yang mayoritas Kristiani kepada Yesus.

Maka, inilah kesempatan kita untuk menjadikan Jagoi Babang yang lokasinya berada persis di garis perbatasan anta dua negara ini dengan mendirikan simbol ini,” kata Uskup Agustinus.

Proses pembangunan Gereja Ayam Singkawang tahun 1925. (Dok. OFMCap)
Lima Bruder MTB perintis misi di Singkawang, Kalbar, mulai Maret 1921 — Dok Museum Misi MTB oleh Royani Lim
Pastoran Sanggau dan para imam serta bruder misionaris Kapusin. (Dok. Kapusin Pontianak)
Ilustrasi: Para imam misionaris Kapusin dari Swiss yang berkarya di Keuskupan Sanggau, Kalbar. (Dok. Ordo Kapusin Pontianak)

Uskup Agustinus juga menjelaskan bahwa tanpa adanya misionaris yang datang di Tanah Borneo, maka sangatlah besar kemungkinan masyarakat Dayak di kawasan pedalaman akan mengalami ketertinggalan.

Mgr. Agus menekankan betapa pentingnya kehadiran para misionaris asing tersebut. Karena kehadiran mereka beberapa dekade lalu membawa banyak perubahan dalam cara hidup menuju kebaikan.

Itu terjadi karena pertama-tama yang dibangun oleh para misionaris asing itu adalah sarana dan karya pendidikan, layanan kesehatan.

“Mereka mengajari masyarakat kita -orang-orang Dayak ini- antara lain pola hidup yang semakin cerdas. Disertai pengetahuan akan pengelolaan keuangan,” jelas Mgr. Agus yang juga seorang putera asli Dayak dari Dusun Lintang di wilayah Kapuas Hulu, Keuskupan Sanggau.

Ungkapan terimakasih

Oleh sebab itu, kata Mgr. Agus, sebagai tanda terimakasih orang Dayak kepada Yesus, maka salah satunya wujudnya adalah dengan mendirikan simbol keagamaan yang akan diletakkan di posisi strategis.

“Dan wilayah Jagoi Babang yang notabene mayoritas penduduknya umat Katolik menjadi pilihan lokasi yang paling tepat,” ungkap Mgr. Agus.

Uskup Agustinus menjelaskan, berdirinya patung Yesus sebagai Panglima Burung ini juga sekaligus juga bisa dimaknai sebagai simbol pembebasan dari segala bentuk ketertinggalan.

Dalam diskusi bersama tokoh masyarakat, Uskup Agustinus menggarisbawahi tentang budaya lokal jangan sampai hilang, namun tetap harus terlestarikan agar menjadi bekal di masa depan.

“Patung Yesus adalah tanda terimakasih masyarakat Dayak pada Yesus yang telah membebaskan kita semua dari segala ketertinggalan di bidang pendidikan maupun tingkat hidup.

Dan kemajuan ini dicapai berkat kehadiran paramisionaris,” kata Uskup Mgr. Agustinus di Kabupaten Kapuas Hulu pertengahan Januari 2022 lalu. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here