U~turn

0
1,218 views

SETIAP hari Minggu atau Sabtu, saya bersama keluarga sering pergi ke gereja melewati sebuah perlintasan dengan rambu U~turn di dekat rumah kami.

Sebenarnya, perlintasan U~turn itu bukan satu~satunya jalan menuju gereja, namun jalan itulah yang terdekat. Kami memang harus selalu berhati~hati jika melewati U-turn itu karena ada tanda larangan belok dari jam 6 pagi hingga jam 10 pagi. Polisi lalu lintas biasanya menunggu di tikungan, dan memang beberapa kali kami diberhentikan karena dianggap melanggar rambu lalu lintas.

Kami selama ini selalu berhasil pergi tanpa harus kena tilang. “Maaf pak, kami mau ke gereja, jadi terburu-buru” dan polisi sejauh ini selalu mahfum. Kamipun tak berbohong.

U-turn itu bukan satu-satunya rambu lalu lintas yang kami jumpai dalam perjalanan ke gereja, namun bagi kami rambu U-turn itu adalah rambu yang terpenting bagi kami sekeluarga. Tanpanya kami harus menempuh jalan yang jauh untuk sampai ke gereja. Mungkin kami akan terlambat jika harus menempuh jalan yang lebih jauh.

Baik jalan lewat U-turn maupun jalan lain mengandung resikonya sendiri-sendiri. Keduanya mengarah ke tujuan yang sama, gereja.

Rambu U-turn menjadi simbol yang amat mengena buat saya akhir-akhir ini, setelah saya juga melakukan “U-turn”, berputar haluan dalam profesi, dari bekerja untuk media massa menjadi bekerja untuk bank. Betapa rambu U-turn memperlihatkan bagaimana saya berbalik arah, menempuh jalan yang berbeda.

Meski jalan berbeda, dalam bayangan saya tujuan tetaplah sama. Saya hanya berharap jalan yang saya ambil benar dan saya bisa lebih cepat sampai.

Keputusan untuk berbalik arah, berganti profesi memang punya banyak kemungkinan. Bisa saja salah, bisa saja benar. Bisa sukses, bisa gagal. Bisa saja saya berakhir dengan kehilangan orientasi dan arah dan tersesat. Itu resikonya.

Saya jadi ingat betapa ‘berbalik’ selalu mengandung makna yang mendalam dalam Kitab Suci. Sejauh pengetahuan saya yang sedikit, berbalik diwakili dengan kata metanoia, dan biasanya selalu dikaitkan dengan pertobatan. Banyak tokoh dalam Kitab Suci mengalami berbalik, berputar haluan, dalam hidupnya.

Musa berbalik dari pelariannya dari Mesir, untuk kembali ke Mesir dan membebaskan Israel dari perbudakan. Di dalam Perjanjian Baru, para murid yang pergi menuju ke Emaus meninggalkan kenangan akan guru mereka, Yesus yang mati di salib, berbalik untuk mengabarkan kabar suka cita kebangkitan.

Cerita Bapa Gereja perdana, Petrus,  juga diwarnai dengan berbalik. Ketika ia hendak melarikan diri dari pengejaran dan penganiayaan murid Yesus di Roma, ia dijumpai Tuhan dalam perjalannnya. Pertanyaan Petrus yang terkenal terhadap Yesus: quo vadis, Domine. Mau kemanakah Engkau, Tuhan. Jawab Tuhan, “Aku mau pergi ke Roma.” Roma adalah tanda penderitaan dan kematian, namun perjumpaan dengan Tuhan membuat Petrus berbalik dan kembali menyongsong kemuliaan sejati.

Saya bukan tokoh Kitab Suci, dan saya tidak ingin berpura pura seolah olah U-turn profesi yang saya jalani akan berjalan dan berujung seperti kisah para tokoh dalam Kitab Suci. Sama sekali tidak. Namun saya tentu berharap untuk dapat meneladan para tokoh Kitab Suci, yang senantiasa bersedia dan rela untuk selalu memperhatikan rambu rambu tuntunan Tuhan dalam hidup mereka, dan mengikutinya. Bahkan jika rambu itu berarti menyuruh mereka memutar haluan ketika mereka merasa sudah ada di jalan yang benar.

Tuhan yang telah yang meletakkan rambu-rambu di jalan hidup kita, Dia juga yang akan menunjukkan jalan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here