Home BERITA  Wak Haji

 Wak Haji

0
Ilustrasi (Ist)

Renungan Harian
Jumat, 4 Maret 2022
Bacaan I: Yes. 58: 1-9a
Injil: Mat. 9: 14-15

BEBERAPA tahun yang lalu saya tinggal di pastoran darurat. Disebut darurat karena memang sebetulnya itu awalnya gudang yang kemudian dibersihkan dan menjadi pastoran. Bentuknya rumah kecil dan berada di tengah perkampungan penduduk.

Sebenarnya menarik pastoran ada di tengah penduduk yang cukup padat seperti itu; karena sosialisasi dengan masyarakat menjadi lebih terbuka dan lebih mudah. Tetangga-tetangga tahu kalau saya seorang pastor katolik, mereka memanggil saya romo.
 
Di depan pastoran; meski tidak persis; ada warung kelontongan milik seorang haji. Saya lupa persis nama beliau siapa, hanya saya biasa memanggil beliau Wak Haji.

Wak Haji dan isteri orangnya amat ramah, setiap kali saya membeli sesuatu ke tokonya, pasti memakan waktu yang cukup lama karena selalu ada obrolan yang panjang.

Ada saja yang menjadi topik pembicaraan. Kadang beliau bercerita tentang anak-anaknya. Kadang beliau cerita tentang pekerjaannya di masa lalu dan sering kali pembicaraan berkaitan dengan berita-berita di televisi atau media cetak.
 
Wak Haji adalah seorang muslim yang moderat dan amat toleran, terbukti beliau terbuka menerima saya, meski beliau tahu bahwa saya  seorang pastor Katolik.

Wak Haji meski semua pendidikan dilalui di pesantren, akan tetapi beliau tidak menjadi sosok yang tertutup. Amat menyenangkan ngobrol dengan beliau karena keterbukaannya.
 
Setiap Bulan Puasa tiba, selalu menjadi berkah bagi saya.

Pada awal saya tinggal di pastoran itu, ketika Bulan Puasa saat Wak Haji pergi ke masjid untuk sholat magrib, beliau lewat depan rumah dan kebetulan saya ada di depan; Wak Haji menawari apakah saya mau kolak pisang buatan isterinya, dan saya mengatakan bahwa saya mau sehingga sejak saat itu setiap sore mendapatkan kiriman.

Setelah setahun saya tinggal di situ, saat Bulan Puasa Wak Haji meminta saya kalau saya mau dan punya waktu diajak buka puasa bersama. Wak Haji tentu tahu bahwa saya tidak puasa hanya itu bentuk ajakan untuk makan bersama. Sehingga hampir setiap sore, saya makan di rumah Wak Haji.
 
Pada bulan Puasa, Wak Haji setiap hari Jumat selalu membagikan sembako ke warga dan menurut tetangga, itu sudah beliau lakukan sejak dulu.

Jadi, setiap habis sholat Jumat warga akan mengambil sembako di masjid. Di samping membagi sembako ke warga, Wak Haji juga membagi takjil untuk Jemaah di beberapa mushola di kampung kami.

Itulah kemurahan hati Wak Haji yang sudah dikenal oleh warga.
 
Suatu hari ketika buka puasa, saya bertanya kepada beliau: “Wak, kenapa Wak Haji tidak mengadakan buka puasa bersama seperti orang-orang lain itu?”

Wak Haji tertawa terkekeh-kekeh.

“Nak, nak, Uwak gak mampu untuk mengadakan buka puasa bersama seperti itu. Uwak gak punya uang untuk menjamu banyak orang. Dan lagi kalau Uwak mengadakan buka puasa berarti Uwak menunjukkan kepada semua orang bahwa Uwak sedang berpuasa.

Nak Romo, puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus tetapi menjaga diri dari segala nafsu yang tidak baik. Dan tidak kalah penting dalam puasa adalah memperbanyak amal, membangun kemurahan hati.”

Demikian jawab Wak Haji.
 
Betul juga kata Wak Haji bahwa bagian penting dari puasa adalah membangun kemurahan hati, hati yang penuh belas kasih.

Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Nabi Yesaya:

“Puasa yang Kukehendaki ialah: engkau harus membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk; membagi-bagikan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri.”

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version