Penelitian-penelitian yang dilakukan guru selama ini masih minim karena guru kekurangan waktu meneliti akibat waktunya habis untuk mengajar, kata pustakawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rosa Widyawan.
“Penelitian yang sering ditemukan masih sebatas penelitian tindakan kelas (PTK), namun persoalan riil yang terjadi di kalangan siswa masih jarang,” katanya usai seminar “Membangun Pola Kemitraan Perguruan Tinggi-Sekolah”, di Semarang, Rabu.
Padahal, kata dia, persoalan-persoalan riil yang terjadi di kalangan siswa, seperti tawuran, perilaku anak-anak yang membolos justru lebih mengena dan membutuhkan langkah penyelesaian secara optimal melalui penelitian mendalam.
Ia menjelaskan, riset-riset yang dilakukan guru masih sebatas penelitian tindakan (action), namun penelitian yang sifatnya aplikatif belum banyak dilakukan sehingga akan memengaruhi prestasi belajar siswa di sekolah.
“Kalau secara kuantitas, sebenarnya ada sekitar 4.000 an hasil riset guru yang ada di LIPI, namun secara kualitas dan kontinuitas memang tidak banyak. Akibatnya, riset-riset guru ’mati suri’, tidak berkelanjutan,” katanya.
Rosa yang juga aktif meneliti kajian jurnal itu mengemukakan, hasil riset yang dilakukan guru seharusnya masuk dalam jurnal sebagai tempat mengomunikasikan hasil-hasil kajian dengan berbagai pihak untuk ditindaklanjuti.
Penanganan khusus
Menurut dia, gejala-gejala sosial yang terjadi di kalangan siswa, misalnya tawuran, perilaku bolos sekolah, prestasi akademik menurun memerlukan penanganan secara khusus yang tidak mungkin mengandalkan kemampuan umum guru.
“Sebagai contoh profesi dokter, penanganan penyakit diabetes tentunya tidak mungkin mampu dilakukan oleh seluruh dokter, namun dokter yang ahli di bidang itu. Demikian juga kondisinya dengan profesi guru,” katanya.
Karena itu, kata dia, dari hasil-hasil kajian terhadap gejala sosial di kalangan siswa nantinya diharapkan mampu membekali guru keterampilan-keterampilan tertentu untuk mengatasinya secara lebih efektif.
Persoalan yang terjadi di kalangan siswa sekarang sebagai generasi “digital native” yang lebih akrab dengan berbagai perangkat serba-digital, kata dia, tentu berbeda dengan generasi sebelumnya, yakni “digital imigrant”.
“Tentunya, masalah yang dihadapi akan berbeda dan semakin berkembang. Ini memerlukan riset guru untuk membantu menemukan solusi pemecahan masalah. Namun, yang terpenting untuk mengawalinya guru harus ’melek’ informasi,” kata Rosa.