Wisanggeni, Anak Kecil yang “Disiya-siya”

0
687 views
Wisanggeni by ist

Puncta 14.08.21
PW. St. Maksimilianus Maria Kolbe, Imam dan Martir
Matius 19: 13-15

SETELAH mengalahkan Prabu Newatakawaca yang memberontak di Kahyangan, Arjuna diberi hadiah seorang batari yakni Dewi Dresanala.

Mereka hidup bahagia di Kahyangan. Dresanala mengandung seorang bayi.

Di lain pihak, Dewa Srani, anak Batara Guru, raja para dewa mencintai Dresanala. Ia minta agar Dresanala bisa jadi isterinya.

Batara Guru menyuruh para dewa agar mengusir Arjuna dan memaksa Dresanala mau menjadi isteri Dewa Srani.

Bayi merah yang baru saja lahir dari Dresanala dibuang oleh Batari Durga di kawah Candradimuka. Maksudnya supaya bayi itu mati dimakan api.

Tetapi bayi itu justru tumbuh berkembang menjadi anak yang gagah perkasa. Ia justru hidup dan menjadi kuat.

Oleh Semar, anak ini diberi nama Wisanggeni.

Ia disuruh Semar mencari tahu siapa ayahnya. Ia bertanya kepada para dewa di Kahyangan. Namun dewa-dewa tidak tahu siapa ayah anak ini.

Ia marah dan mengamuk di Kahyangan. Batara Guru pun takluk kepada Wisanggeni. Ia dibawa kepada Sang Hyang Wenang dan diberitahu siapa ayah sesungguhnya.

Batara Guru, Dewa Srani, dan Batari Durga serta para dewa di kahyangan minta maaf kepada Sang Hyang Wenang. Karena telah “mrewasa” anak yang tidak berdosa.

Mereka menghalangi sebuah kehidupan dalam diri anak kecil.

Para murid memarahi orang-orang yang membawa anak-anak kecil kepada Yesus. Namun Yesus justru memperingatkan murid-murid-Nya, “Biarkanlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku. Sebab orang-orang seperti merekalah yang empunya Kerajaan Surga.”

Anak-anak kecil yang jujur, polos, bersih, tak berdosa adalah pewaris Kerajaan Surga. Hati seperti anak-anak kecil itu menggambarkan suasana Kerajaan Allah.

Yesus mengasihi anak-anak yang berhati suci, bersih, penuh suka cita, tak ada rasa takut, jujur dan apa adanya.

Orang-orang dewasa seperti para murid itu justru merasa terganggu dengan kehadiran anak-anak kecil.

Orang dewasa justru menunjukkan sikap egoisme, merasa paling berhak, sok kuasa, menghalangi orang lemah kecil sederhana seperti anak-anak ini dekat dengan Tuhan.

  • Apakah sikap hidup kita seperti para murid itu, yang menghalangi berkat Tuhan turun kepada orang lain?
  • Apakah kita merasa paling berhak membagi berkat Tuhan?
  • Apakah kita menghalangi orang lain untuk bisa dekat dengan Tuhan?

Kalau mau tape ketan kita pergi ke Muntilan.
Manis dan legit tiada ada duanya.
Kasih Tuhan tak pernah membeda-bedakan.
Besar-kecil, tua-muda, kaya-miskin sama saja.

Cawas, hormati anak-anak kecil.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here