DALAM percakapan sehari-hari, jarang sekali kita mendengar kata “Katolik” dan “patriot” disebut dalam satu tarikan napas.
Umat Katolik sering kali dipandang sebagai kelompok religius yang tenang, lebih sibuk dalam urusan internal gereja, doa, dan liturgi. Namun sejarah Indonesia membisikkan kisah lain. Di balik gema lonceng gereja dan bau dupa yang naik ke langit, ada denyut cinta tanahair yang membara.
Umat Katolik di Indonesia bukan hanya bagian dari keragaman, tetapi juga pejuang sunyi yang mewarnai perjuangan bangsa. Mereka bukan hanya pendoa, tetapi juga pelaku sejarah. Mereka adalah patriot dalam diam maupun dalam gempita.
Patriotisme umat Katolik tidak muncul dari kekosongan. Ia dibentuk oleh keyakinan mendalam akan martabat manusia, keadilan sosial, dan panggilan iman untuk mencintai sesama.
Menjadi orang Katolik di masyarakat
Dalam ajaran Gereja Katolik, tanahair bukanlah sekadar entitas geografis. Ia adalah tempat di mana umat manusia bertumbuh, saling melayani, dan menata dunia sesuai kehendak Allah. Dalam Gaudium et Spes, salah satu dokumen penting Konsili Vatikan II, Gereja menegaskan bahwa kebajikan patriotik cinta tanahair adalah bagian dari panggilan Kristiani.
Oleh karena itu, menjadi Katolik bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan justru masuk ke dalam dunia untuk mengubahnya dengan kasih dan kebenaran.
Sejarah Indonesia mencatat banyak nama Katolik yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Mereka bukan sekadar figuran, melainkan penggerak.
Sebut saja:
- Kolonel Ignatius Slamet Rijadi, pahlawan nasional yang memimpin pasukan dalam perang mempertahankan Republik Indonesia.
- Juga ada IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik dan perintis perumusan politik pangan nasional.
Mereka menempatkan imannya bukan di menara gading, tapi di tengah debu dan darah perjuangan. Salib di dada mereka berdampingan dengan Merah Putih di dada rakyat.
Patriotisme umat Katolik tidak selalu mendapat tempat yang nyaman. Ada saat-saat ketika identitas Katolik dicurigai, dituding sebagai antek asing, atau bahkan tidak cukup “nasionalis”. Kecurigaan itu muncul dari sejarah kolonialisme Eropa yang kebetulan sejalan dengan persebaran misi Katolik.
Tetapi asumsi itu gagal membedakan antara pewartaan iman dan dominasi politik. Gereja Katolik di Indonesia sejak awal abad ke-20 sudah menegaskan keberpihakan kepada bangsa Indonesia, mendukung kemerdekaan, dan berakar di Bumi Nusantara.
Banyak pastor dan suster memilih menjadi warga negara Indonesia dan ikut serta dalam membangun masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Fakta lain yang jarang diangkat adalah peran lembaga pendidikan Katolik dalam membentuk karakter patriotik generasi muda.
Sekolah-sekolah Katolik dari pelosok Flores hingga kota-kota besar di Jawa bukan hanya mengajarkan pengetahuan akademis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai tanggung jawab sosial, kedisiplinan, dan cinta tanahair.
Para guru dan rohaniwan di sekolah Katolik tidak hanya mendidik untuk sukses pribadi, tetapi juga membina kepedulian pada yang miskin dan tertindas, sebagai wujud cinta terhadap bangsa. Patriotisme umat Katolik juga terwujud dalam kehadiran mereka di garis depan dalam penanganan bencana, advokasi lingkungan, dan pelayanan kesehatan.
Banyak rumah sakit Katolik, seperti RS St. Carolus di Jakarta, RS St. Elisabeth di Semarang, dan RS Siloam di berbagai kota, menjadi tempat pengabdian kemanusiaan lintas agama.
Tak sedikit suster, bruder, dan dokter Katolik yang bekerja tanpa pamrih di daerah terpencil. Mereka tidak membawa misi politik, tetapi cinta. Cinta pada kehidupan, cinta pada manusia Indonesia. Bukankah itu esensi dari patriotisme?
Lebih dalam lagi, umat Katolik membawa sumbangan penting berupa semangat universalitas. Dalam dunia yang terfragmentasi oleh identitas sempit, iman Katolik menawarkan perspektif yang mengakui semua manusia sebagai saudara.
Semangat persaudaraan universal
Ini bukan hanya doktrin, tetapi landasan untuk merajut kebangsaan yang inklusif. Dalam Ensiklik Fratelli Tutti, Paus Fransiskus menegaskan bahwa semua manusia dipanggil untuk membangun persaudaraan universal.
Semangat ini sangat relevan bagi Indonesia yang majemuk. Dengan semangat Katolik yang terbuka, umat diajak untuk tidak hanya mencintai yang serupa, tetapi juga merangkul yang berbeda.
Menjadi patriot tidak selalu berarti tampil di pentas besar. Banyak umat Katolik menunjukkan cintanya kepada Indonesia lewat kerja-kerja kecil yang konsisten: menjadi guru jujur, petani yang setia, bidan yang sabar, aktivis yang tangguh, atau mahasiswa yang tidak korup.
Mereka adalah patriot dalam arti sejati; mereka yang menghidupi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, tanpa pamrih, tanpa sorotan kamera.
Teruji dalam penderitaan
Patriotisme umat Katolik bukan sekadar retorika. Ia diuji dalam penderitaan. Ketika gereja-gereja menjadi sasaran teror, umat tidak membalas dengan kebencian. Ketika dituduh minoritas, umat tidak menuntut hak istimewa.
Sebaliknya, mereka terus bekerja, terus melayani. Iman mereka yang kokoh memberi kekuatan untuk tidak menyerah pada dendam atau ketakutan. Dalam perayaan Ekaristi, umat Katolik belajar bahwa pengorbanan adalah jalan menuju kebangkitan dan semangat itu mereka bawa dalam kehidupan bermasyarakat.
Di era digital dan globalisasi ini, patriotisme umat Katolik mendapat tantangan baru. Dunia maya dipenuhi oleh ujaran kebencian, politik identitas, dan sikap apatis terhadap bangsa. Namun justru di sinilah iman Katolik dipanggil untuk menjadi terang.
Menjadi patriot berarti menjaga martabat kebenaran, menyuarakan suara nurani, dan menolak manipulasi demi kepentingan sesaat. Dalam konteks ini, umat Katolik dipanggil untuk tidak hanya menjadi warga negara yang taat hukum, tetapi juga menjadi warga negara yang aktif membentuk budaya publik yang sehat.
Menjadi Katolik adalah menjadi patriot bukan karena simbol, tetapi karena isi. Karena iman Katolik sejati selalu bersanding dengan cinta yang konkret kepada sesama dan tanahair.
Salib bukanlah lambang keterasingan dari dunia, melainkan undangan untuk menyatu dalam penderitaan dan harapan manusia. Dalam terang itulah, umat Katolik terus berdiri, berjalan, dan mengabdi – sebagai anak bangsa dan sebagai anak Allah.
Menjadi patriot
Maka, jika ada yang bertanya, “Mengapa umat Katolik adalah patriot?”. Maka, jawabannya adalah:
- Karena mereka percaya bahwa mencintai tanahair adalah bagian dari mencintai Allah.
- Karena mereka tahu bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.
- Dan karena mereka meyakini bahwa dalam setiap tindakan kasih, sekecil apa pun, mereka turut membangun Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera.
Di antara gema lonceng gereja dan gemuruh lagu kebangsaan, umat Katolik terus menghayati dua identitas itu sekaligus: sebagai warga Kerajaan Surga dan warga Republik Indonesia. Tidak ada yang perlu dipertentangkan. Justru di situlah letak kekuatan mereka: dalam iman yang bersinar, dan dalam cinta yang membumi.