
EMPAT negara Barat yakni Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal tanggal 21 September 2025 kemarin resmi mengumumkan pengakuan atas eksistensi Negara Palestina. Langkah politik keempat negara itu dirilis dengan alasan fundametal mereka yang ingin mendukung solusi dua negara. Pada saat yang sama, mereka juga menolak peran serta Hamas dalam tata kelola kenegaraan Palestina.
Keempat pemimpin negara Barat itu adalah PM Inggris Keir Stammer, PM Canada Mark Carney, PM Australia Anthony Albanese, dan PM Portugal Luís Filipe Montenegro Cardoso de Morais Esteves. Mereka berempat menegaskan, keputusan masing-masing pemerintahnya bersedia dan mau mengakui keberadaan Negara Palestina itu bertujuan mendorong perdamaian. “Sama sekali bukan merupakan ‘hadiah’ untuk terorisme,” begitu media internasional menyebut alasan fundamental di balik langkah mengejutkan bagi Tel Aviv ini.
Meski tidak menyebut secara langsung, namun ungkapan itu jelas mengarah kepada kelompok Hamas yang kini menguasai Jalur Gaza yang pada tanggal 7 Oktober 2023 secara massif menyerbu masuk permukiman Yahudi di Israel yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia. Atas kejadian ini, Pemerintah Israel melakukan penyerbuan massif disertai pemboman dan invasi pasukan darat ke Jalur Gaza sebagai balasan atas Serangan 7 Oktober 2023.
Menentang keras, nyatakan hal itu takkan pernah terjadi
Merespon kebijakan politik dan keputusan empat negara Barat mengakui keberadaan Negara Palestina tersebut, media internasional melaporkan tanggapan dan “serangan balik” Pemerintah Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin “Bibi” Netanyahu mengecam langkah tersebut. Ia juga ingin menegaskan bahwa pengakuan itu nantinya tidak akan mempan di lapangan alias “tidak akan (pernah) terjadi”.
PM Bibi Netanyahu bahkan merespon dengan lebih keras lagi bahwa Tel Aviv akan semakin memperluas wilayah permukiman Yahudi antara lain di Tepi Barat. Ia juga menambahi, respons resmi Pemerintah Israel akan segera dia umumkan setelah menyelesaikan kunjungannya ke Amerika Serikat dan berkesempatan untuk bertemu Presiden Trump di Gedung Putih pasca menghadiri Sidang Umum PBB di New York.
Yang menarik, gegap gempita langkah dunia Barat untuk mengakui keberadaan Negara Palestina ini justru “diveto” oleh Washington dengan “melarang” Otoritas Pemerintah Palestina c.q. Presiden Mahmoud Abbas bisa hadir di forum pertemuan Sidang Umum PBB di New York. Alih-alih boleh sampaikan pidato di hadapan para pemimpin negara di Sidang Umum PBB New York pekan ini, Presiden Mahmoud Abbas hanya bisa menyampaikan pidato resminya melalui daring. Lantaran Amerika membatalkan visa kunjungan mereka.
Langkah berbahaya dan pukulan keras terhadap Israel
Kementerian Luar Negeri Israel dan sejumlah tokoh politisi dari pihak oposisi mengecam langkah dan keputusan negara-negara Barat atas pengakuan itu sebagai langkah berbahaya. Mereka juga tidak ragu menuding sikap Barat itu layaknya sedang memberi “hadiah” kepada Hamas.
Forum Keluarga Sandera juga mengkritik langkah tersebut karena mengabaikan 48 sandera yang masih ditahan di Gaza.
Sementara itu, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menyambut baik keputusan tersebut sebagai langkah menuju perdamaian yang adil dan langgeng. Pengumuman ini dilakukan menjelang berlangsungnya Sidang Umum PBB di mana lebih banyak negara Eropa diperkirakan akan mengikuti.
Saat ini, sekitar tiga perempat anggota PBB sudah mengakui keberadaan Negara Palestina yang pada 2012 statusnya ditingkatkan menjadi “negara non-anggota” di PBB.
Melemahkan Hamas
Semetara itu, Presiden Perancis Emmanuel Macron menegaskan bahwa pengakuan Paris atas Negara Palestina bertujuan melemahkan Hamas dengan memberi rakyat Palestina alternatif politik yang kredibel.
“Kami tidak mengakui Palestina untuk menghadiahi kekerasan. Kami melakukannya untuk membuka horizon politik, terutama bagi mereka yang menolak Hamas,” ujarnya dalam wawancara dengan CBS Face the Nation.
Macron menegaskan Hamas tidak berniat membentuk Negara Palestina, melainkan menghancurkan Israel. Karena itu, pengakuan Negara Palestina disertai rencana perdamaian dipandang perlu untuk menghentikan perang, mengisolasi Hamas, dan memperkuat Otoritas Palestina.
Rencana Perancis, yang didukung Arab Saudi dan negara-negara kawasan di Timur Tengah, terdiri dari beberapa tahap:
- Gencatan senjata.
- Pembebasan sandera.
- Penyaluran bantuan kemanusiaan ke Gaza,
- Rekonstruksi Jalur Gaza pasca perang.
- Langkah menuju solusi dua negara.
Pemimpin Otoriotas Palestinas Presiden Mahmoud Abbas telah sepakat atas “gagasan” penting usulan Macron dan juga setuju mengecam “perilaku” Hamas, melakukan reformasi, dan segera menggelar pemilu.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam langkah Macron. Ia juga menuduh Perancis memicu antisemitisme; juga menegaskan Tel Aviv atas penolakan Israel atas negara Palestina.
Macron membalas bahwa ketidaksetujuannya dengan Netanyahu tidak berarti antisemitisme, dan menekankan Perancis tetap berkomitmen pada keamanan Israel serta pembebasan sandera.
Menurut Macron, operasi militer saja tidak akan menghancurkan Hamas, melainkan memperburuk reputasi Israel dan memperpanjang konflik. “Jika kita ingin membongkar Hamas, perang total bukan jawabannya,” kata Macron.
Ia menekankan diplomasi sebagai jalan keluar menuju perdamaian dan stabilitas jangka panjang.
Saat ini, 147 negara anggota PBB telah mengakui hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
PS: Sumber jaringan media internasional